Pendopo depan Pesanggrahan Langenharjo. |
Setelah ketentuan
terkait pandemi menjadi lebih longgar, saya memutuskan untuk jalan-jalan ke
Solo sekaligus bertemu dengan orang tua saya. Kebetulan, di suatu pagi, saat
kami sedang berpikir mau jalan-jalan ke mana, saya menemukan, di GoogleMaps, ada
suatu bangunan yang dikategorikan sebagai museum di dekat tempat kami tinggal.
Langsung saya dan ibu saya berangkat ke sana.
Tempat yang kami
tuju adalah Pesanggrahan Langenharjo yang dibangun oleh Sultan Pakubuwono IX. Tempat
ini dulunya adalah tempat peristirahatan dan pemandian keluarga raja Keraton Kasunanan
Surakarta di abad ke-19. Konon dahulunya keluarga keraton Kasunanan sering berwisata
di sini dan juga menjamu tamu-tamu penting. Tapi sekarang, tempat ini sudah
jauh berubah.
Lokasinya berada di
desa Langenharjo, tidak jauh dari perumahan Solo Baru, di tepi Bengawan Solo,
di tengah perkampungan penduduk. Tempat ini dikelilingi oleh tembok yang cukup
tebal, namun nampak tua. Walau saya tidak melihat ada coret-coretan vandalisme,
namun kerusakan akibat alam terlihat di sana-sini.
Kami parkir di
depan sebuah pendopo, yang terhubung dengan sebuah rumah beratap rendah yang
memanjang. Sementara pendopo terlihat lusuh dan nuansanya suram, rumah yang
disebelahnya itu terlihat cukup terawat, walaupun tampilannya lebih mirip seperti
tempat tinggal seniman. Di depan rumah itu, ada tempat duduk-duduk yang disusun
melingkar, dan di dekat situ ada beberapa set poci teh yang ditata seperti
barang dagangan. (Ya mungkin memang barang dagangan ya, soalnya di atas meja ada
daftar harga minuman juga.)
Ada seorang
bapak-bapak yang muncul, dan kemudian ibu saya bertanya apakah tempat ini
terbuka untuk umum atau tidak. Saya lalu menjelaskan bahwa saya menemukan
tempat ini di GoogleMaps dan datang kemari karena penasaran. Bapak yang menurut
saya gayanya cukup nyentrik ini lalu menunjukkan channel YouTube milik Pesanggrahan
Langenharjo. Dia lalu menawarkan untuk jalan-jalan masuk ke area pesanggrahan,
namun harus ditemani oleh abdi dalem yang menggunakan selempang khusus sebagai
tanda pengenal. Biaya masuk sukarela, bisa dibayar langsung ke abdi dalemnya. Ibu
saya sempat ragu, tapi saya sih oke-oke saja. Kan memang belum pernah datang
kemari.
Kami pun kemudian
masuk ke area pesanggrahan setelah ada abdi dalem yang menemani kami. Pendopo di
depan ternyata biasa digunakan untuk beberapa acara sosial dan menerima tamu. Di
tempat yang nampak tua ini ternyata ada tamu? Kata bapak yang pertama kami
temui, ada banyak orang yang datang ke sini. Mereka ke sini untuk melakukan
latihan atau olah spiritual. Singkat kata, orang datang kemari untuk meditasi.
Tempat ini dibangun
oleh Sultan Pakubuwono IX di tahun 1870. Namun konon, saat sebelum beliau
menjadi raja, beliau sudah sering datang kemari untuk menyepi. Bahkan ada yang
mengatakan beliau sempat tinggal di sini. Jadi, memang tempat ini awalnya
dipakai untuk bermeditasi. Hingga sekarang, tempat ini masih menjadi tempat
untuk bermeditasi.
Di masa pemerintahan
Sultan Pakubuwono X, tempat ini diperbesar dan menjadi tempat peristirahatan
kerajaan. Sultan dan keluarganya akan berwisata kemari, dan bisa jadi kegiatan
plesir bersama tamu-tamu juga dilakukan di sini. Itulah sebabnya, oleh warga
sekitar tempat ini dianggap sama seperti keraton, karena keluarga raja biasa
berkunjung kemari.
Di masa
pemerintahan Indonesia, tempat ini pernah menjadi tempat tahanan PKI, tempat
menyimpan senjata tentara, sampai kemudian dikembalikan ke keraton. Saat ini,
ada satu anggota keluarga keraton yang tinggal di sini. Rumah beratap rendah di
dekat pendopo mungkin rumahnya dia, karena terlihat terawat dan dihuni.
Kembali ke jalan-jalan
keliling pesanggrahan, masih satu gedung dengan pendopo, terdapat
ruangan-ruangan yang bisa dipakai untuk meditasi. Ruangannya ada yang cukup
besar dan ada yang lebih kecil. Yang jelas, nuansanya remang-remang di sini.
(Mungkin juga karena ini pagi hari dan tidak ada lampu yang menyala.)
Nah, melewati ruangan-ruangan
ini, kami tiba di halaman tengah. Walaupun halaman ini tanah berumput, namun
tamu tidak boleh mengenakan alas kaki. Jadi jalan di tengah halaman ini dengan
telanjang kaki ya.
Begitu keluar dari
bangunan, kami menemukan bekas kolam berbentuk lingkaran. Bapak abdi dalem
tidak menjelaskan apa-apa tentang kolam ini, namun menurut hasil browsing belakangan,
ternyata tempat itu adalah tempat mandi permaisuri jaman dahulu. Namun sekarang
tempat ini lebih mirip seperti pot raksasa yang kering.
Menempel pada
gedung utama/pendopo tadi, ada bangunan dua tingkat. Di tingkat atas adalah
kamar raja, dan di bawahnya adalah ruangan tempat sumur yang disebut sebagai Sumur
Bandung. Untuk mencapai kamar raja di atas, bisa menggunakan dua cara, pertama
lewat tangga di bagian belakang, kedua naik lift yang dikerek oleh para
pegawai. Tentunya yang naik lift manual ini hanya raja ya. Kalau saya lihat di
blog lain, ada yang diantar ke ruangan raja di atas. Tapi mungkin karena kami berdua
perempuan dan tidak berminat dengan hal-hal berbau mistik ya, jadi tidak diantar
ke sana. (Kan biasanya di lingkungan keraton ada area yang terlarang untuk
perempuan atau terlarang untuk laki-laki kecuali raja.) Kamar raja di atas
katanya adalah tempat favorit untuk bersemedi, apalagi kalau ada keinginan
khusus.
Ruangan tempat
sumur Bandung tempatnya cukup luas. Ada sebuah sumur dan ember yang tergantung
pada katrolnya. Pak Abdi Dalem menimba air sambil menawarkan kepada kami untuk
mencuci muka. Permukaan airnya tidak terlalu dalam, lho. Sebentar saja, air
sudah berhasil diambil. Airnya jernih dan segar. Padahal, di area kampung
sekitar sampai dengan perumahan di dekatnya, air sumur kualitasnya kurang baik.
Di dekat sumur, ada
sesajen, lengkap dengan kendi dan bunga-bunga mawar. Di dinding ada papan
petunjuk yang menginformasikan bahwa untuk yang mandi di sini dilarang menggunakan
sabun, shampoo, atau bunga. Walaupun nampak tua, namun ruangan ini terlihat cukup
bersih. Konon Sultan Pakubuwono IX biasa bersemedi di sini.
Di samping bangunan
bertingkat ini, ada bangunan lain yang disebut sebagai dapur. Kami nggak
kesana, karena sepertinya tempat itu masih dipakai. Mungkin kalau ada acara
atau perkumpulan, tempat ini jadi tempat mempersiapkan jamuan para tamu.
Di belakang areal
pesanggrahan, ada tempat pemandian. Katanya sih ada kolamnya, tapi saya
tengok-tengok kok nggak ketemu kolamnya di mana. Yang ada adalah dua sumur,
masing-masing dengan pipa penyalur air dan bangunan tempat mandi yang terdiri
dari kamar-kamar mandi, lengkap dengan bak mandinya.
Katanya, sumur yang
lebih tua sudah ada dari jaman Sultan Pakubuwono IX dan mengeluarkan air panas
yang mengandung belerang. Karena inilah keluarga sultan senang pelesir kemari. Air
panas belerang ini dianggap memiliki banyak khasiat. Tapi untuk beberapa waktu,
sumur ini tidak berfungsi. Di tahun 2020, sumur yang baru digali di sebelahnya
dan menghasilkan air belerang, tapi tidak panas.
Bangunan tempat
mandi terbuka untuk umum dan pengunjung bisa mandi di sini. (Harusnya bayar
tiket ya, tapi saya nggak tanya karena nggak minat juga.) Tapi ada satu ruangan
mandi yang tertulis hanya untuk wanita, dan ada satu yang tertulis hanya untuk
keluarga keraton.
Di halaman area
pemandian ini, ada pohon beringin dan pohon sulastri. Pohon sulastri ini konon
adalah pohon bertuah. Katanya, untuk yang masih single, kalau datang kemari dan
menemukan daun yang jatuh “terlentang” (maksudnya melengkung ke atas), maka
daun itu diambil lalu disatukan dengan daun yang jatuh “terlungkup” (melengkung
ke bawah). Katanya kalau saat mengatupkan kedua daun itu orang berdoa dan
berharap dengan khusyuk, maka jodoh akan datang. Benar atau tidak, ya tidak
tahu.
Menurut saya, yang
unik dari tempat ini adalah adanya sumur air jernih dan sumur air belerang yang
jaraknya hanya beberapa meter saja. Lebih unik lagi, semua sumur itu hanya seratus
meter dari sungai, yaitu Bengawan Solo. Dan air Bengawan Solo itu nggak bersih
ya. Mungkin yang harusnya tertarik dengan tempat ini adalah mahasiswa geologi.
Saya datang ke
Pesanggrahan Langenharjo ini tanpa tahu sejarah dan fungsi gedung ini. Soal
meditasi, apalagi ngalap berkah dan mencari jodoh, saya sama sekali tidak
mengetahuinya. Namun dengan berkunjung kemari, saya jadi mengetahui salah satu
aspek sejarah lokal kota Solo. Sejarah yang bukan hanya linimasa keluarga
penguasa, namun juga budaya dan nilai-nilainya. Semoga saja kedepannya bangunan
pesanggrahan ini lebih terawat dan tidak hanya dikenal orang sebagai tempat
meditasi, namun juga tempat belajar budaya dan sejarah.
0 Komentar:
Posting Komentar