Saya pernah menulis
tentang jalan kaki di sepanjang Jl Malioboro, Yogyakarta di blog ini. Tapi itu
sudah lama banget ya. Di pertengahan tahun 2022 ini, ternyata ada perubahan besar
di jalan paling populer di kota Yogyakarta ini. Jalan Malioboro ... terasa
lebih lega. Bukan karena jumlah orang yang lewat sedikit (walau mungkin ada
pengaruhnya juga, kan masih masa pandemi), melainkan karena sudah tidak ada
lagi pedagang kaki lima yang memenuhi lebih dari setengah trotoar di kiri kanan
jalan. Jadinya area pejalan kaki sekarang terasa lebih luas.
Waktu saya dan
keluarga datang ke Yogyakarta, kami penasaran dengan kondisi Malioboro saat
ini. Kebetulan hampir dua tahun kami tidak bepergian ke mana-mana. Jadi mumpung
sedang di Yogyakarta, kami kemudian mampir sebentar di Malioboro.
Tadinya kami berencana
makan siang di Jl Malioboro. Tapi bapak sopir taksi yang mengantar kami mencela
gagasan itu. Katanya, mahal dan rasanya biasa saja, kalau makan di Malioboro.
Kami jadinya mengkaji ulang ide makan di Malioboro, dan memutuskan untuk jalan
kaki sebentar saja sebelum pindah ke lokasi lain untuk makan siang. Padahal
kalau makannya di KFC, harga dan rasanya sih sama saja seperti di tempat lain ya
...
Kami turun taksi di
dekat Stasiun Yogyakarta. Dari situ, kami jalan kaki ke arah keraton. Kami
tidak bermaksud untuk jalan terlalu jauh, karena hanya ingin merasakan sebentar
“Malioboro yang baru”. Itu saja.
Sepertinya pemerintah
setempat memang ingin menata ulang area Malioboro. Di dekat stasiun ada tempat
parkir bertingkat. Lumayan juga mengurangi kendaraan yang parkir dan memenuhi bahu
jalan. Pedagang kaki lima tidak lagi berjualan di selasar toko. Mereka
dikumpulkan di dua tempat yang disebut sebagai Teras Malioboro. Saya nggak
masuk ke dalamnya ya, hanya melihat saja dari luar. Saya lihat Teras Malioboro cukup
ramai juga.
Malioboro tanpa PKL di selasar toko. |
Teras Malioboro 2. |
Trotoar dan juga
selasar toko di sepanjang jalan Malioboro terasa lengang. Di area trotoar
terbuka, bahkan terdapat bangku tempat duduk-duduk. Di tempat yang teduh,
bangku sudah penuh oleh orang-orang yang duduk-duduk sambil mengobrol. Di
beberapa lokasi, disediakan tempat sampah supaya orang-orang tidak buang sampah
sembarangan.
Jalan Malioboro
dibagi kedalam beberapa lima zona. Batas antara setiap zona adalah semacam gerbang
mini lengkap dengan penjaganya, patung prajurit ketanggung (pengawal keraton).
Katanya, di kondisi libur yang ramai, ada petugas yang membatasi jumlah orang
per zona guna mencegah penyebaran virus Covid-19. Saya kurang paham bagaimana
prakteknya ya, soalnya orang kan bisa keluar masuk toko atau datang dari salah
satu gang sesuka hati. Bagaimana menghitung pemenuhan kapasitasnya? Saat kami
datang kemari, kebetulan kondisinya tidak penuh sesak, jadi saya tidak bisa
melihat langsung sistem pengelolaan kapasitas zona ini.
Di beberapa tempat
di pinggiran jalan, becak dan andong (kereta kuda) parkir berjajar-jajar
menunggu penumpang. Menyenangkan juga melihat jajaran moda transportasi yang
sudah tidak pernah saya lihat lagi di Jakarta.
Tiba-tiba salah satu
dari kami mengusulkan untuk makan siang gudeg di daerah Plengkung. Dia juga
mengusulkan untuk naik andong ke Plengkung. (Daerah Wijilan, dekat bangunan
bekas gerbang yang disebut sebagai Plengkung, memang sudah menjadi sentra gudeg.
Di sini ada banyak penjual gudeg dengan berbagai resep khasnya.) Setujulah kami,
karena kami semua sudah lama tidak naik andong. (Saya rasa saya sudah sepuluh
tahun lebih tidak naik andong.) Setelah mendapatkan kesepakatan harga dengan kusirnya,
kami kemudian naik andong.
Pembatas zona di Malioboro. |
Naik andong. |
Sebetulnya, kalau
dari segi harga, biaya naik andong jauh lebih mahal dari biaya naik ojek motor.
Bukan apa-apa, motor cuma butuh bensin dan servis rutin. Di luar perawatan kayu
andong yang mudah rusak akibat cuaca dan alam, andong ditarik oleh kuda yang harus
dirawat dan diberi makan secara rutin. Belum kalau tiba-tiba kudanya sakit atau
ngambek nggak mau kerja. Jadi repot kan. Tapi untuk pengalaman, atau untuk
refreshing, bolehlah mencoba naik andong keliling area Malioboro.
Yah, begitulah
pengalaman saya lewat sebentar di jalan Malioboro. Cuma gitu aja? Ya iya, lah.
Kan cuma sebentar. Cuma 20 menit doang, sudah termasuk naik andong ke arah
Plengkung. Tapi walau hanya sebentar, kami sudah cukup puas jalan-jalan di Malioboro
setelah sekitar dua tahun terjebak pandemi, hanya lewat tempat yang itu-itu
lagi saja.
bener nih, dari pertama aku liat Mallioboro yang penuh sesak banyak penjual. Sekarang selasar toko jadi bersih dan rapi.
BalasHapusPernah coba jalan dari zona 2 sampai zona nyaman (BI) pegel juga, Hehe tapi suasana mallioboro emang selalu buat hati rindu.
Iya... Dengan atau tanpa penjual pernak-pernik di selasar jalan, Malioboro tetap tempat yang menyenangkan untuk jalan-jalan.
Hapusya emg ut kulineran, area maliboro bukan ide bagus hehe
BalasHapusAhaha... mahal ya.
Hapus