Tidak bisa
dipungkiri, saat ini negara kita sedang berusaha untuk menyeimbangkan antara
kesehatan dan perekonomian. Semakin tinggi mobilitas penduduk, semakin mudah
penyakit menulari orang lain. Semakin rendah pergerakan penduduk, semakin
lambat perkembangan ekonomi. Susah, kan.Makanya sekarang orang-orang sudah
mulai dapat bepergian, namun dengan harus mematuhi protokol kesehatan yang
ketat.
Seperti apa sih,
perubahan yang ada di tempat umum terkait dengan usaha pencegahan penyebaran
Covid-19 di Jakarta? Saya berusaha memberikan sedikit gambaran dari yang saya lihat
sendiri.
Tempat makan dapat melayani makan di tempat dengan
protokol ketat
Kini tempat makan
sudah mulai buka. Akan tetapi, tetap ada protokol yang harus dipatuhi.
Contohnya? Di setiap rumah makan selalu disediakan tempat cuci tangan dan hand
sanitizer. Pengunjung juga harus datang dengan mengenakan masker. Meja selalu
diatur supaya ada jarak, atau ada pembatas. Pramusaji harus mengenakan
pelindung diri seperti sarung tangan, masker, dan face shield.
Pembatas mika di meja makan di food court. |
Peneraan jarak antar kursi di rumah makan. |
Kalau kita datang di rumah makan besar, fast food chain, atau tempat makan di mall, bisa dikatakan protokol kesehatan ini dipatuhi. Kalau ada penyimpangan, antara lain kadang-kadang pramusajinya menggunakan face shield dengan tidak benar sehingga mukanya tetap terekspos ke pelangan. Kadang-kadang juga, walau kursi sudah ditata agar jarak pengunjungnya masing-masing satu meter, tetap saja ada orang-orang yang menggeser kursi agar bisa berdekatan. Paling bener sih, tempat makan yang lebih besar modalnya, mejanya diberi pembatas mika sehingga orang terpaksa tidak bergerombol.
Tapi, kalau kita
datang ke cafe yang lebih kecil, misalnya milik perorangan, atau rumah makan di
pinggir jalan milik keluarga, lebih sering protokol ketat ini tidak terlalu
dipatuhi. Misalnya, pramusaji menggunakan masker tapi tidak menutupi hidung.
Atau, tidak semua meja diberi tanda agar pengunjung menjaga jarak. Di
warung-warung, lebih tidak ada lagi protokol ini, karena saya bisa menemui
warung makan pinggir jalan yang penjaganya tidak menggunakan masker sama
sekali. Kalau ada pengamen yang bisa masuk, ya sama saja karena pengamen
umumnya tidak memakai masker.
Tapi ya semua
kembali ke diri masing-masing. Kalau mau relatif aman dan murah, ya beli makan
di warung (pakai masker, ya), tapi bawa tempat makan sendiri dan take away,
alias dimakan di kantor atau rumah. Terus, pilih makanan yang dimasak di tempat
seperti soto, capcay, atau nasi goreng. Lebih aman. Kalau memang ada uangnya,
ya cari tempat makan yang jelas-jelas menjalankan protokol kesehatan.
Museum dan tempat wisata membatasi pengunjung
Waktu saya lewat di
daerah Kota Tua, rencanaya saya mau memotong jalan lewat Taman Fatahillah. Eh,
dicegat satpam dan ditanya-tanya, mau kemana, mau melakukan apa ... Ternyata,
usut punya usut, tidak ada orang yang boleh berwisata di Taman Fatahillah, Kota
Tua. Orang hanya boleh datang ke situ untuk masuk ke dalam museum atau masuk ke
cafe. Berani foto-foto di luar museum, dijamin ada satpam yang meniup peluit
sambil mendatangi kita. Ternyata, memang daerah Kota Tua sedang dijaga agar
tidak banyak dikunjungi orang.
Museum Bank Mandiri sudah buka namun menerapkan protokol kesehatan ketat. |
Museum Bank Indonesia masih tutup. |
Beberapa museum sudah buka dengan menjalankan protokol kesehatan, namun ada juga yang memilih untuk tetap tutup sampai kondisi dirasa lebih kondusif. Untuk yang tetap buka, tentu saja tersedia tempat cuci tangan dan juga ada kewajiban menggunakan masker. Jalan pengunjung juga diatur agar pengunjung dari arah yang berlawanan tidak bertemu. Untungnya, umumnya museum yang sudah ditata secara modern memang sudah dari dulu menerapkan penataan koleksi berdasarkan alur tertentu sehingga pengunjung mau tidak mau berjalan mengikuti alur tersebut.
Moda transportasi mengurangi sentuhan tangan dan
perputaran uang
Sudah dari bulan
Maret, kalau tidak salah, kita sudah tidak bisa melakukan transaksi tunai
(misalnya top up kartu) di halte busway. Tentu saja, hal ini dilakukan untuk
mencegah penularan virus melalui uang. Tapi tidak dapat dipungkiri, bahwa tidak
semua pengguna Transjakarta memiliki rekening di bank yang punya kartu prabayar
atau uang elektronik, apalagi ada juga pengguna yang tidak memiliki rekening
bank. Jadinya, kesulitan top up kartu prabayar menjadi salah satu sumber omelan
orang-orang. Tapi sejak bulan Juli ini, di beberapa halte busway sudah
diperbanyak mesin pembelian dan top up kartu uang elektronik (KUE) JakLingko sehingga
pengguna bisa membeli dan menambah saldo di situ.
Sekarang bisa beli kartu uang elektronik di halte BRT. |
Lihat pedal warna kuning di pojok bawah? Itu digunakan untuk memanggil lift. |
Jelas, ya. Kursi yang ada tanda silangnya tidak boleh diduduki. |
Kalau ada yang pernah naik MRT atau ratangga di bulan Juli ini, pasti akan melihat bahwa lift masuk ke stasiun bisa dioperasikan dengan kaki melalui pedal yang ada di pinggir dinding. Pedal ini bisa untuk membuka/menutup pintu dan memilih lift untuk naik/turun sesuai dengan kebutuhan. Jadi maksudnya mengurangi sentuhan tangan di tempat umum.
Di luar ini, seperti
yang sudah pernah dibahas sebelumnya, ada juga tempat cuci tangan dan/atau hand
sanitizer di setiap halte BRT atau stasiun kereta. Kewajiban menggunakan masker
juga diterapkan, dimana saya sudah pernah melihat ada petugas Transjakarta yang
mengejar-ngejar seorang kakek-kakek yang tidak pakai masker dan menyelonong
masuk ke dalam halte.
Di dalam kendaraan
umum juga ada pengaturan tempat duduk dan jarak. Memang susah sih, kalau
penumpangnya ngotot. Saya pernah tahu sopir dan petugas yang capek hati
teriak-teriak tapi diabaikan oleh penumpang. Pernah juga ada penumpang yang
pakai masker hanya sampai masuk ke dalam bus. Begitu di dalam bus dan duduk,
eh, buka masker. Gimana, coba?
Walaupun protokol kesehatan sudah diterapkan, namun tetap saja kembali kepada seluruh penduduk untuk memperhatikan dan menaatinya. Kalau jumlah kasusnya semakin banyak, bukan tidak mungkin kita atau orang-orang yang ktia cintai jadi korbannya. Jaga kesehatan dan mengikuti protokol kesehatan tetap diperlukan jika kita akan keluar rumah untuk urusan apapun. Kalau tidak ada perlunya, sebaiknya tidak jalan-jalan, apalagi kalau tidak mengindahkan aturan pencegahan penyebaran penyakit. Kalaupun memang harus keluar rumah (seperti saya yang memang keluar rumah untuk bekerja atau berbelanja), ya pastikan memang sudah menaati peraturan yang berlaku. Kan itu semua untuk kebaikan diri sendiri juga.
tempat kami tetap buka, tetapi pengunjung biasanya anak sekolah sekarang gantian orang tuanya yang mengerjakan tugas :D, kalau jahitan alhamdulillah masih
BalasHapusSemoga kondisi segera membaik dan bisnis kembali normal ya. Mbak.
HapusJakarta memang salah satu propinsi yang paling ketat menjalankan aturan protokol kesehatan ya, mau naik busway sudah tidak melayani uang tunai, restoran atau cafe ada jarak antar pelanggannya.
BalasHapusTapi di daerah Serang sini masih biasa mbak, pedagang juga sebagian ngga pakai masker, alasannya apalagi kalo bukan karena pengap.
Terpaksa kita sendiri yang harus pintar pintar pilih pedagang yang kelihatannya aman, kalo penuh pembeli cari pedagang lainnya biarpun agak beda harganya.
Memang masih banyak yang belum sadar bahayanya penyebaran Covid-19 ya. Agak susah juga sih, karena penyakit ini seperti musuh yang kasat mata.
HapusSetiap tempat memang harus disediakan tempat cuci tangan, ya untuk meminimalisir penyebaran covid-19
BalasHapusIya. Bahkan sekarang dibeberapa mall juga wajib cuci tangan sebelum masuk ke mall.
HapusSetuju mbak, kita harus punya kesadaran untuk mentaati protocol.
BalasHapusSip, Mbak. Kita sependapat.
Hapuskalau di Malaysia...mesti ikut SOP..
BalasHapusbuat penjarakan fizikal , semak suhu badan dan buat rekod sama ada guna buku atau scan guna phone
Iya, hanya keluar rumah jika perlu. Tetapi tidak dapat dipungkiri, bisnis tidak jalan kalau semua orang hanya di rumah. Mau tidak mau, kegiatan operasional tetap jalan dengan mengikuti protokol kesehatan yang ketat.
Hapus