Karena sekarang nggak bisa
kemana-mana, jadinya saya bongkar-bongkar foto-foto lama untuk dijadikan
inspirasi. Eh, tiba-tiba baru nyadar kalau saya belum pernah menulis tentang
Museum Bank Mandiri. Padahal saya termasuk orang yang cukup sering ke sana,
lho.
Museum Bank Mandiri letaknya persis di seberang halte busway (BRT) Kota, yang beralamat di Jl. Lapangan Stasiun No. 1 Jakarta Barat. Kenapa disebut jalan Lapangan Stasiun? Karena sebelum dibangun halte busway, area di depan Museum Bank Mandiri adalah lapangan merangkap halaman Stasiun Kota. Buat catatan, bangunan ini mulai dipakai di tahun 1933, yang mana waktu itu daerah Kota adalah pusat bisnis dan politik Belanda. Jadi lokasinya strategis banget.
Jendela kaca patri yang menjadi salah satu daya tarik Museum Bank Mandiri. |
Lokasi gedung ini sangat strategis.
Tentu saja, karena dulunya gedung museum ini adalah kantor dari Nederlandsche
Handel-Maatschappij (NHM) yang merupakan perusahaan dagang swasta milik
pemerintah Belanda yang mengelola kegiatan bisnis antara Kerajaan Belanda dan
Hindia Belanda. Kedengarannya seperti pekerjaannya Vereenigde Oostindische
Compagnie atau VOC, ya? Tepat sekali, karena memang NHM ini hampir bisa
dikatakan merupakan penggantinya VOC, hanya saja tidak memiliki otoritas bagaikan
negara seperti VOC. Tak heran bisa punya gedung mewah; kekayaan Kerajaan Belanda
saat itu termasuk ditentukan oleh faktor keberhasilan bisnis NHM.
Museum Bank Mandiri sendiri
didirikan di tahun 1998. Museum ini adalah milik Bank Mandiri. Pada saat itu,
Bank Mandiri baru saja berdiri sebagai hasil merger beberapa bank akibat
restrukturisasi perbankan. Untuk yang belum tahu, tahun 1998 adalah tahun dimana
perekonomian Indonesia dan dunia jatuh, yang mana sering juga disebut sebagai
Krisis Moneter. Selain banyak perusahaan bangkrut, termasuk perbankan,
huru-hara dan tindak anarkis juga sempat terjadi di tahun ini. Saat beberapa
bank digabung menjadi Bank Mandiri, asetnya (termasuk gedung) juga menjadi
milik Bank Mandiri.
Banking hall yang klasik. |
Gedung museum ini tadinya milik Bank Export Import, dan begitu menjadi milik Bank Mandiri, fungsinya langsung dialihkan menjadi museum. Jujur saja sih, menurut saya pengalihan fungsi menjadi museum adalah hal yang sangat tepat. Bukan apa-apa, gedung cagar budaya ini tidak bisa sembarangan direnovasi, tidak kompatibel dengan perkembangan jaman (termasuk perkembangan ketentuan mengenai khasanah bank, kegiatan operasional transaksi, dan juga perkembangan teknologi), apalagi lokasinya di daerah di mana pajak tanah mahal. Kalau dijadikan cabang operasional bank, kayaknya nggak menguntungkan juga ya? (Eh, ini pendapat saya pribadi ya.)
Saya pertama kali masuk ke Museum Bank
Mandiri di awal tahun 2000-an. Waktu itu, penataan museumnya tidak seperti
sekarang. Semuanya dibiarkan apa adanya. Semua tangga dan pintu di area museum
bisa dilewati. Jadi, dulu sering banget saya mondar-mandir melewati tangga yang
ruangannya gelap dan pengap, terus melewati daerah khasanah (brankas) yang
udaranya lembab. Barang-barang macam tropi, emblem, dan penghargaan bank-bank
yang bergabung menjadi Bank Mandiri dipajang seadanya di etalase kaca. Komputer
dan mesin kuno yang dulunya dipakai di bank-bank ditaruh begitu saja di atas
meja atau etalase kaca.
Dulu, yang paling saya suka adalah berjalan-jalan
di dekat meja-meja makan mewah tempat direksi bank sebelumnya makan, dan juga
mengintip ke kamar mandi khusus direksi yang ukurannya hampir sebesar unit
apartemen! Sedangkan daerah yang paling horor untuk dilewati adalah sebuah
tangga kecil yang masuk ke sebuah lorong gelap serta sempit dari daerah brankas
ke area transaksi di bagian samping. Sekarang semua area yang saya sebutkan ini
sudah tidak bisa dilewati sembarangan.
Area back office di tahun 2020. |
Area back office di tahun 2012. |
Oh ya, dulu daerah brankas juga apa adanya saja. Pertama kali saya masuk ke daerah brankas, ruangannya remang-remang, beberapa lemari terlihat kumuh, dan ada bau-bau lembab yang tidak menyenangkan. Kesannya seperti masuk ke tempat shooting film horror. Terakhir saya kemari adalah di bulan Februari 2020. Waktu ini, daerah brankas sudah terang benderang, rapi, dan tidak berasa lembab. Orang juga suka foto-foto di sini untuk diposting di medsos. Jaman awal museum ini buka, orang biasanya lewat saja dan buru-buru ke daerah ruang layanan nasabah (tempat nasabah membuka safe deposit box) karena nggak enak banget berada di ruang khasanah. Boro-boro foto-foto.
Oh ya, terakhir saya datang di bulan
Februari 2020 itu, saya juga melihat adanya tambahan diorama kegiatan
perekonomian, dimana ada bagian yang menggambarkan kedatangan VOC, Cultuurestelsel
(tanam paksa), dan pendirian Bank Mandiri. Jadinya rasanya sama seperti di
Museum Bank Indonesia yang penataannya cukup modern.
Gedung museum ini memiliki halaman
di tengah-tengah gedung. Saat ini, taman tengah ini dijadikan tempat kegiatan
dan aktivitas sosial. Dulunya sih cuma tempat terbuka dimana pengunjung bisa
jalan-jalan sambil terkena sinar matahari. Sebetulnya menarik juga desain gedung
dengan taman di tengahnya begini. Bisa dikatakan semua bagian gedung terkena
sinar matahari jadi tidak mudah lembab.
Nah, buat yang belum pernah datang
ke Museum Bank Mandiri dan ingin berkunjung, apa yang bisa diharapkan untuk
dilihat di sana? Yang jelas, kita bisa melihat sejarah singkat perkembangan perekonomian
nasional dan sejarah perkembangan Bank Mandiri. Bank Mandiri sendiri saat ini
adalah bank terbesar di Indonesia dalam hal jumlah aset. Selain itu, kita juga
bisa melihat perkembangan teknologi yang digunakan oleh perbankan. Dari buku
jurnal yang besar banget, mesin hitung semi otomatis, sampai komputer IBM yang harus
dioperasikan dengan disket berisi program DOS.
Mesin ketik yang pernah dipakai di bank jaman dahulu. Foto tahun 2020. |
Area pameran mesin ketik tahun 2012. |
Buat yang ingin mempelajari tentang
perkembangan produk perbankan seperti perubahan bentuk bilyet giro, deposito,
dan juga uang dari masa ke masa, museum ini adalah tempat yang tepat untuk
dikunjungi. Bukan apa-apa, kita bisa melihat contoh nyatanya di sini. Walaupun
untuk hal uang, koleksinya tidak secanggih museum Bank Indonesia, tapi untuk koleksi
contoh lembar cek dan giro, bukti deposito, bahkan bukti kepemilikan saham jaman
dulu, museum ini masih oke.
Pertama kali pengunjung masuk,
mereka akan diarahkan ke banking hall,
yaitu tempat utama transaksi, dimana nasabah bertemu dengan teller atau
customer service. Di balik meja teller (atau kasir) terdapat ruangan yang cukup
luas, dimana dulunya staf back office (maksudnya tenaga administrasi pendukung
transaksi) bekerja mencatat dan memeriksa transaksi yang dilakukan di depan.
Setelah melewati banking hall, pengunjung akan diarahkan
untuk ruang diorama dimana pengunjung bisa melihat gambaran kondisi sejarah
perekonomian negara, dari jaman Hindia Belanda hingga sekarang. Setelah itu,
pengunjung bisa turun menuju ke ruang khasanah atau brankas.
Pintu masuk ruang brankas. |
Brankas jaman Belanda yang besar banget di bawah tanah tadinya adalah tempat penyimpanan uang, emas, barang berharga lain, dan juga menjadi tempat safe deposit box bagi nasabah. Ruang khasanah ini gede banget, seperti ruang khasanah bank sentral. Wajar sih, kan NHM dulu perannya plus minus seperti bank sentral sekarang. Dari situ, pengunjung bisa naik ke tempat pameran lain.
Lantai dua adalah tempat pameran kontemporer.
Terakhir saya berkunjung, di situ saya melihat pameran replika karya Leonardo Da
Vinci. Saat naik tangga, pengunjung akan bisa melihat stained glass window, alias jendela kaca patri yang besar banget
dan indah. Ini adalah area yang paling sering dipakai untuk foto-foto di museum
ini. Nah, kalau datang lantai dua, bisa melihat lorong ke arah kiri dan kanan
yang ujungnya dipagar teralis. Dulunya sih pengunjung suka mondar-mandir di
lorong itu. By the way, lorong itu mengingatkan saya pada salah satu adegan di film
Gundala. Hahaha.
Lorong di lantai dua. |
Sayang sekali foto-foto saya jaman dulu sudah tidak bisa dibuka lagi. (Fotonya disimpan di CD dan sekarang CD-nya sudah tidak bisa digunakan lagi.) Jadi saya sudah jarang memiliki foto-foto Museum Bank Mandiri jaman dulu. Padahal kalau ada, bisa dibandingkan foto jaman dulu dan sekarang. Tapi yang jelas, museum Bank Mandiri, meskipun gedung tua, saat ini sudah tidak ada kesan horror dan kuno. Nuansanya malahan terkesan tua namun mewah. Mungkin karena terawat ya.
Untuk yang ingin datang ke Museum Bank Mandiri setelah wabah corona selesai, bisa datang ke mari setiap hari, kecuali hari Senin. Khusus Sabtu dan Minggu museum ini buka sampai jam 18:30. Tapi dengan catatan corona sudah berlalu ya. Semoga wabah ini segera berakhir dan kita bisa jalan-jalan lagi. Kalau kondisi sudah normal lagi, jangan lupa jalan-jalan ke museum ya. Biar kita tidak lupa sejarah.
Unik penataan koleksi mesin tiknya tuh, didekor seakan pada nempel bertebaran ..
BalasHapusDari dulu berkali2 aku lewat museum di seberang stasiun Jakarta Kota ini tapi kok entah punya rasa deg2an duluan, jadinya selalu ngga jadi.
Dilihat dari foto, kesan muramnya masih kerasa.
Mungkin karena bangunannya lama, ya. Pemilihan warna jaman dulu memang lebih muram.
HapusJadi kangen Kota Tua Jakarta, ngunjungi satu demi satu museum yang ada di sana, dan saat udah capek, istirahat di Taman Fatahillah sambil liatin orang-orang.
BalasHapusWah... Kayaknya udah ada yang beda ama Museum Bank Mandiri, jadi penasaran pengen ngunjunginya lagi.
Kalau sudah lama banget nggak berkunjung kemari, bakalan kerasa bedanya. Sekarang museum Bank Mandiri sudah lebih modern.
HapusWah ada mesin ketik.. saya belajar ngetik awal dari barang jadul ini..
BalasHapusWahahaha ... saya SD mengetik laporan study tour pakai mesin tik.
Hapussaya suka saya suka ke tempat2 begini nih trs tanya2 sejarahnya gmn... Tadinya kepikiran bank mandiri kan baru, kok udh pny museum hehe.
BalasHapusDari bekas bank eksim ternyata dan mandiri kan gabungan 4 bank kalo gak salah
Iya, benar! Bank Mandiri adalah kumpulan bank-bank tua, jadi wajar kalau punya gedung kuno di mana-mana, termasuk di Kota, Jakarta.
Hapus