Beberapa minggu yang lalu, saya,
adik saya, dan ibu saya berencana untuk jalan-jalan bareng di kota Surabaya.
Supaya hemat cuti, jalan-jalan ini hanya dilakukan di akhir pekan. Karena kami tinggal
di kota yang berbeda, maka perjalanan menuju Surabaya dilakukan
sendiri-sendiri; yang penting ketemu di Surabaya.
Saya dan adik saya naik kereta dari
Jakarta dan akan turun di stasiun Surabaya Pasarturi (atau biasa disebut
stasiun Pasar Turi). Sementara ibu saya naik kereta dari kota Solo dan akan
turun di stasiun Surabaya Gubeng (atau biasa disebut stasiun Gubeng). Gimana
ketemunya nanti? Karena saya dan adik saya sampai di Stasiun Pasar Turi terlebih
dahulu dibandingkan ibu saya sampai stasiun Gubeng, jadi saya dan adik sayalah
yang akan menemui ibu saya di stasiun Gubeng.
Mejeng dulu di stasiun Surabaya Pasarturi. |
Tadinya sempat berpikir, naik taksi
atau sewa kendaraan online untuk membawa kami ke stasiun Gubeng. Tapi waktu cek
di GoogleMaps, ternyata jalan kaki antara kedua stasiun kereta itu hanya 45
menit! Pikir punya pikir, dari pada duduk-duduk bengong, mendingan kami berdua jalan
kaki saja. Lumayan untuk menghabiskan waktu. Dan, dimulailah perjalanan kami: jalan
kaki dari stasiun Pasar Turi ke stasiun Gubeng.
Stasiun Pasar Turi terletak di Jl.
Semarang no.1, Surabaya. Stasiun ini melayani kereta yang tiba di Surabaya
melalui jalur utara, termasuk yang datang dari Jakarta atau Semarang. Stasiun
ini cukup besar dan memiliki fasilitas yang lengkap. Selain toilet di dalam dan
luar stasiun, ada juga mushola, toko kelontong, penjuala oleh-oleh, dan tempat
makan. Yang jelas ada AlfaExpress, Roti O, dan Solaria.
Persis keluar dari gerbang stasiun,
di tepi jalan raya, kami mampir ke penjual sate kelapa. Penjual sate gerobakan
ini mangkal di dekat parkiran motor stasiun Pasar Turi. Sate kelapa adalah
hidangan khas Surabaya, yaitu sate yang ditaburi parutan kelapa. Rasanya tentu
saja gurih. Sate ini diberi bumbu kacang dan kecap biasa, jadi setelah dicampur
dengan bumbunya bentuknya tidak jauh berbeda dengan sate biasa.
Setelah mencicipi sepiring sate
kelapa berdua (ceritanya hemat), kami lalu memulai perjalanan kami ke stasiun
Gubeng. Dari Jl. Semarang, kami memasuki Jl. Raden Saleh. Ini daerah pertokoan
yang tidak terlalu menarik. Hanya ada, antara lain, toko besi dan toko
peralatan berat. Trotoar juga hampir-hampir tidak ada. Di sini terlihat ada
satu dua bangunan yang terlihat sudah lama. Karena kami melewati jalan ini jam
7:00 pagi, jalanan relatif sepi dan toko-toko masih tutup semua. Walau masih
jam 7:00 pagi, tapi jalan ini terasa panas, karena jarang pohon.
Salah satu lajur di Jl. Bubutan. Pepohonan di kiri foto adalah pembatas jalan di tengah jalan. |
Berhenti sebentar memotret manhole cover di pinggir Jl. Bubutan. |
Kemudian, sampailah kami di Jl.
Bubutan. Konon kabarnya, daerah Bubutan adalah sisa gerbang masuk keraton
Surabaya di jaman Majapahit. Sayangnya yang tersisa hingga sekarang, ya hanya sekadar
nama. Nah, jalan ini cukup besar dan ramai. Di jalan ini ada dua lajur yang
dibatasi dengan pembatas jalan yang hijau. Di sini mulai terasa kota Surabaya
sebagai kota yang rindang. Ada banyak pohon.
Kami menyeberang jalan dan melewati
deretan pertokoan yang masih tutup dan rumah penduduk. Yang sudah menunjukkan
aktivitas barulah Indomaret dan SPBU (Pom Bensin) Pertamina. Di sebelah SPBU
Pertamina, kami masuk ke Jl. Temanggungan II. Ini gang kecil yang melewati
perumahan penduduk. Daerahnya hijau dengan banyak tanaman di sana-sini. Jalan
kaki di gang ini mengingatkan saya pada kampung hijau di daerah Banjarsari,
Jakarta Selatan.
Kemudian, tibalah kami di Jl.
Baliwerti. Eh, ini juga daerah pertokoan padat penduduk. Tidak salah juga,
karena saya berjalan kaki dari dua stasiun kereta api yang sudah dibangun dari
jaman Belanda, sudah pasti kami akan melewati pusat-pusat bisnis kota Surabaya.
Mau beli kunci rumah, gembok, tegel? Semua ada di sini. Tapi saya cuma lewat
sebentar saja, ya. Soalnya kami berdua langsung berbelok menembus sebuah
kompleks ruko yang membawa kami ke Jl. Gemblongan.
Jl. Gemblongan sepertinya termasuk
jalan utama di Surabaya, mungkin dari jaman dahulu kala. Begitu kami keluar
dari kompleks Ruko, kami langsung disambut oleh kantor PLN UP3 Surabaya Utara.
Bangunan kantor ini menarik. Walau nampak modern, tetapi lebih terlihat sebagai
hasil renovasi dari bangunan tua. Nggak salah juga, karena bangunan ini aslinya
sudah ada sejak tahun 1908. Jl. Gemblongan adalah jalan yang cukup besar dan
ramai. Walau toko-toko di kiri kanan jalan masih tutup, tapi motor dan mobil
sudah ramai berkeliaran di sini.
Kantor PLN di Jl. Gemblongan. |
Bangunan tua berwarna putih di persimpangan jalan. |
Lorong di gedung Siola. Sayangnya saya lupa memoret keseluruhan gedungnya. |
Kami jalan terus sesuai dengan arah
kendaraan dan tiba di persimpangan yang membingungkan. Kami harus menyeberang
ke sisi satunya, tapi peredaran kendaraan membuat kami harus ekstra hati-hati.
Di persimpangan ini saya melihat beberapa bangunan kuno. Wah, saya dan adik
saya langsung bersemangat. Ada bangunan tua dengan tembok putih, dan berseberangan
dengan itu ada bangunan tua hasil renovasi dengan tembok berwarna merah.
Setelah kami berhasil menyeberangi persimpangan tersebut dan mengikuti jalur
yang tepat sesuai yang ditunjukkan oleh GoogleMaps, kamipun tiba di gedung yang
berwarna merah. Ternyata bangunan yang berwarna merah ini adalah gedung
Siola.
Siapa sangka, gedung Siola ini
adalah gedung pemerintahan tempat Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap dan juga
Museum Surabaya. Gedung ini sudah ada sejak tahun 1877, namun yang sekarang
berdiri adalah hasil renovasi total karena sempat dibakar saat perang. Nantinya
kami akan jalan-jalan ke sini juga. Tapi sekarang, karena belum jam 8 pagi, kami
hanya bisa mengintip-intip isinya melalui kaca. Di luar gedung Siola ini, ada
model lokomotif tua, meriam, dan patung pejuang. Ternyata, dengan tibanya kami
di gedung Siola ini, kami juga tiba di Jl. Tunjungan yang termahsyur itu. Dari
ujung jalan saja kami sudah melihat deretan bangunan-bangunan tua yang sudah
berdiri sejak jaman Belanda.
Setelah melewati bagian bawah dari
jembatan antar gedung di atas Jl. Tunjungan yang dipenuhi dengan tanaman, kami
mendapati jalan yang cukup ramai yang dihiasi dengan bangunan-bangunan kuno.
Jalan-jalan di Jl. Tunjungan ini menyenangkan karena trotoarnya bagus.
Maksudnya, kita bisa jalan kaki dengan nyaman. Buat yang suka foto-foto
bangunan kuno, pasti nggak puas-puas ambil foto di sini. Tepat di seberang Toko
Tjantik (yang saya juga kurang tahu jualannya apa), kami berbelok memasuki Jl.
Genteng Besar.
Beberapa langkah kami berjalan di
sini, barulah kami tahu, Jl. Genteng Besar adalah tempat toko-toko oleh-oleh
khas Surabaya. Dari penjual almond crispy, kue lapis Surabaya, sampai bandeng
asap ada di sini. Toko-toko oleh-oleh berjajar dan bisa kita pilih sambil
berjalan kaki menikmati suasana kota Surabaya. Di jalan ini juga terdapat pasar
Genteng Baru yang merupakan pasar tradisional yang menyediakan berbagai kebutuhan
pokok.
Jembatan antar gedung di Jl. Tunjungan yang dipenuhi tanaman. |
Salah satu gedung kuno di Jl. Tunjungan. |
Tiba di ujung Jl. Kali Genteng, saya
menyeberang sungai. (Itu nama sungainya Kali Genteng? Saya cari namanya di peta
kok tidak ketemu, ya.) Jalan terus, dan kamipun melewati Balaikota Surabaya. Di
depannya, di tepi jalan, ada air mancur di mana anak-anak bermain-main di situ.
(Tapi saya tidak memotret anak-anak itu. Belum minta ijin ke orang tuanya,
soalnya.) Melewati Balaikota, kami terus berjalan melipir Grand City Mall
Surabaya.
Dari Grand City Mall, kami berjalan lewat
di bawah ujung flyover Jl. Mayjend. Prof. Dr. Moestopo yang mana di sisi bawah
jalannya ada tulisannya Anno 1915. Usut punya usut, ternyata ini termasuk
bagian asli dari flyover (dulunya disebut viaduk atau jalan layang) Jl.
Mayjend. Prof. Dr. Moestopo yang lewat di atas rel kereta api di dekat stasiun
Gubeng. Jalan layangnya sih kelihatannya modern, tapi ternyata sudah ada sejak
tahun 1915. (Jalan layangnya ada dua, masing-masing satu arah ya. Yang jalan
layang jaman Belanda yang lebih pendek.) Ternyata warga Surabaya menyebut
flyover ini viaduk Gubeng.
Melewati bagian bawah viaduk Gubeng,
kami melanjutkan perjalanan sampai menemukan persimpangan, dan belok kiri masuk
ke Jl. Surabaya Gubeng. Tak perlu terlalu lama mencari, kami tiba di stasiun
Gubeng. Karena posisinya agak susah, waktunya terbatas, dan baterai hape
sekarat, saya tidak sempat mencari sudut yang bagus untuk memotret gedung
stasiun kuno ini.
Tadinya saya sempat heran. Stasun
Gubeng disebut-sebut sebagai stasiun kereta api terbesar di Jawa Timur, namun
kenapa gedungnya sempit sekali. Cuma ada satu cafe dan satu counter kecil
warabala CFC. Walau memanjang, tapi tetap saja tidak dapat dikatakan besar.
Pertanyaan saya terjawab sudah ketika ibu saya yang sudah turun dari kereta
menelepon dan menginformasikan bahwa dia sudah keluar stasiun. Lha? Kok kami
tidak melihatnya? Ternyata ... ibu saya keluar di stasiun Gubeng Baru, yang
letaknya di seberang rel.
Taman di pinggir jalan depan Balai Kota dengan air mancurnya. |
Bagian dari viaduk Gubeng yang sudah ada sejak tahun 1915. |
Bagian depan stasiun Gubeng Lama. Bangunannya kelihatan model kuno. |
Jadi stasiun Gubeng punya dua pintu
keluar, di timur rel dan di barat rel. Gedung barunya ada di timur rel,
sedangkan gedung peninggalan Belanda ada di barat rel. Total jendral ukuran
stasiun Gubeng, sudah pasti luas banget. Bagian depan stasiun tentu saja
bangunan baru. Jadi otomatis penumpang diarahkan untuk keluar di gedung stasiun
baru. Paniklah kami, anak-anaknya, yang berada di stasiun lama. Soalnya kalau
harus jalan kaki ke gedung stasiun baru, harus memutar jauh dan butuh waktu
lama. Untung ibu saya diperbolehkan petugas untuk masuk lagi dan menemui kami
di gedung stasiun lama. Drama salah memahami peta GoogleMaps ini berakhir
dengan baik.
Saya mulai jalan kaki meninggalkan
area stasiun Pasar Turi jam 7:25 pagi dan tiba di stasiun lama Surabaya Gubeng
jam 8:40. Jadi total perjalanan kami adalah 1 jam 15 menit. Lama ya? Tapi kan
kami berjalan santai dan banyak berhenti foto-foto. Belum lagi, kami cukup
berhati-hati untuk, antara lain, menyeberang jalan dan mencari belokan yang
benar, sehingga membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan kalau sudah terbiasa
jalan di sini.
Menurut saya, jalan kaki dari
stasiun Pasar Turi ke stasiun Gubeng termasuk wisata kota yang menyenangkan.
Selain bisa melihat bangunan cantik dan bangunan modern kota Surabaya, saya
juga berkesempatan untuk mempelajari beberapa potong sejarah kota Surabaya. Paling tidak saya mendapatkan pengalaman berbeda dari kunjungan saya ke Surabaya sebelumnya. Ada
yang mau mencoba wisata alternatif di Surabaya, jalan kaki dari stasiun Pasar
Turi ke stasiun Gubeng juga?
Referensi:
Seru juga ya ternyata menyusuri jalanan kota Surabaya :D 45 menit yang bermanfaat karena jadi tau banyak hal yang mungkin nggak diketahui sebelumnya~ by the way, seumur-umur saya baru 1x ke stasiun Gubeng, jadi penasaran sekarang bentukan dalamnya seperti apa :D
BalasHapusYang jelas sekarang pasti lebih banyak yang jual makanan. Hahaha...
HapusJd berasa seru ya karena jalan kaki? bisa dpt pengalaman yg byk kan? :D
BalasHapusIya banget. Jalan kaki membuat lebih sadar dengan bangunan dan orang-orang yang dilewati.
HapusEnaknya jalan kaki ya itu mbak. Bisa eskplor2 tempat2 yang keren selama perjalanan. Kalau naik mobil kan gabisa. Hehe
BalasHapusBetul banget!
HapusYa ampun ternyata seru juga ya kak jalan-jalan tengah Kota Surabaya gt. Aku pun prrnah coba dr TP menuju Delta, tapi hitunganya itu masih deket sih 😂😂👌 dan malem juga karena kalo siang panas banget. Ini keren banget bisa jalan jalan pas siang hari
BalasHapusKalau malem nggak terlalu kelihatan bentuk gedungnya ya. Tapi lampu-lampunya cantik dong ya.
HapusItu angka '1' dari anno 1915 unik juga ya, di bagian bawah mlintir ke kanan, jadi seperti huruf 'L'.
BalasHapusNgomong-ngomong, akur sekali, dengan banyak jalan kaki menembus area yang bukan daerah wisata, kultur lokal jadi lebih mudah kita rasakan. :)
Iya ya? Baru nyadar ama bentuk angka 1-nya. Yang jelas, kalau jalan kaki, lebih mudah mampir untuk jajan. Hahaha...
HapusBener bagus sih tapi lucunya pakai kereta 😂😂😂😂
BalasHapusEh? Emangnya kenapa pakai kereta?
HapusTerimakasih mba, mengingat bulan februari lalu saya setelah buka tulisan mba saya mempraktekkan nya. Karna tujuan ingin ke jember dan harus transit di gubeng akhirnya saya mengikuti gaya mba "berwisata dengan jalan kaki antar stasiun pasarturi-gubeng" dan jujur itu sangat menyenangkan mbaa. Dengan melihat sekeliling jalan sambil menikmati udara di surabaya feel free sekaliiii...
BalasHapusWah, saya udah lama nggak jalan-jalan nih. Belum pernah ke Jember. Jadi pengen.
HapusKalo tengah malam.di atas jam 12. Dari stasiun pasar Turi kstasiun gubeng naik apa? Adakah becak atau ojek online
BalasHapusHarusnya ojek online ada, Kak. Tapi kayaknya jalan agak jauh dulu ya. Kan biasanya ojol dilarang di dekat stasiun.
HapusTerimakasih catatan nya kak, kalo jalan kaki malam² di jam 23-24 WIB aman gak ya? Soalnya dari jakarta nyampe SBI jam 23 dan mau lanjut ke Ketapang lewat stasiun Gubeng jam 01.20 WIB
BalasHapusWaduh, kalau malam daerah Pasar Turi kayaknya sepi deh. Kalau daerah Gubeng kayaknya mendingan. Kalau malam, saran saya, cari alternatif lain selain jalan kaki.
HapusJalan Gentengkali, Mbak 😁 bukan Kali Genteng. Salam dari warga Surabaya yg sudah satu semester tinggal di tanah kelahiran 😊
BalasHapusHiks.. jadi kangen kota 🥲
Nah, itu yang saya penasaran. Itu nama jalannya kan Jl Kaligenteng. Kalau kalinya namanya apa?
HapusNama jalannya Gentengkali. Di jalan itu banyak bangunan instansi besar, di antaranya kantor Dinas Pendidikan provinsi, kantor Perhutani, Taman Budaya Jawa Timur, sampai Mal Pelayanan Publik yg bertempat di eks Gedung Siola (waktu saya kecil, Siola adalah pusat belanja terkenal)
BalasHapusSetiap nama jalan di Surabaya yg ada unsur kali-nya, artinya ada sungai di sekitarnya.
Kali ini bisa di akhiran nama jalan (Gentengkali, Semutkali, Ketabangkali), tapi ada juga yg di depan (Kalikepiting, Kaliwaron, Kalidami, Tanah Kalikedinding, dsb)
Tidak semua sungai ada namanya. Kalau jalan Gentengkali yg berdekatan dgn Ketabangkali, sungainya adalah Kalimas
Nama jalan lain yg ada kali-nya, tapi sungainya tidak bernama, banyak juga. Contohnya, ya itu tadi (Kalikepiting; mungkin dulu banyak kepiting di situ. Kaliwaron, dst)
Begitu, Mbak 😊
Ahaha ... ternyata peta buta di Surabaya nggak semudah baca GoogleMaps. Terima kasih informasinya.
HapusJd kangen kota jember😁
BalasHapusTerakhir pulkam sebelum covid
Kalo jalan ke gubeng..sebelahnya nya ada kali mas..dan monumen kapalselam
BalasHapusOh iya... pas udah ketemu ibu saya, kami melewati monumen kapal selam itu. Tapi cuma lewat depannya saja. Nggak mampir. Menarik juga ya, ada monumen kapal selam di situ.
HapusSenang sekali mendengar narasi Anda yang sangat2 bagus, lengkap dan detail, seperti saya ikut dalam rute perjalanan Anda. Saya belum pernah ke St. Gubeng. Karena selalu dan sering saya turun di st Pasarturi jika ke Surabaya, untuk menengok cucu dan Anak. Terima kasih infonya.
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya.
Hapus