Setelah beberapa waktu mengelola
blog pribadi dengan niche travel, dan juga blogwalking ke travelblog
lain, saya mengambil kesimpulan bahwa mencari ide tulisan travel itu tidak
mudah. Isi artikel di dalam blog travel sudah pasti harus terkait dengan suatu
perjalanan. Bisa berupa tujuan wisata, pengalaman saat perjalanan, tips yang
terkait dengan persiapan perjalanan, atau juga promosi aplikasi/media yang
membantu kegiatan wisata.
Masalah utamanya adalah, artikel
yang sifatnya umum biasanya tidak semenarik artikel yang memberikan sentuhan
pribadi (terutama pengalaman pribadi) di dalamnya. Lha, kalau menulis artikel
travel berdasarkan pengalaman pribadi, berarti penulisnya harus sering
jalan-jalan, dong. Ya iya, lah! Kalau isinya cuma nyontek Wikitravel, ya
mendingan langsung buka artikel aslinya.
Jadi travel blogger? Ya harus jalan-jalan. |
Saya sendiri, dalam menulis artikel
tentunya juga harus memberikan sentuhan pribadi, yang umumnya saya terjemahkan
dalam penulisan pengalaman pribadi, walau hanya sepintas lalu. Artinya, kalau
saya menceritakan suatu tujuan wisata atau kisah perjalanan, tentunya saya juga
harus terlibat di dalamnya dong. Paling tidak, saya harus sudah pernah ke
tujuan wisata itu, jadi yang saya ceritakan memang sesuai dengan pengalaman
pribadi.
Sialnya, bepergian tidak segampang
itu. Kalau kita jalan dengan orang lain, ada banyak tawar-menawar di dalamnya.
Kadang, hal-hal yang sebenarnya menarik untuk ditulis lebih dalam, tidak bisa
diamati dengan detil, karena tour guide
sudah menarik-narik baju kita untuk pindah ke tempat lain. Giliran jalan dengan
teman sendiri, rekan travelling kita lama memilih-milih baju di pasar. Kita
yang bingung karena kegiatan yang bisa menghabiskan waktu satu jam lebih itu
tidak mudah dijadikan artikel travelling.
Tapi, kalau setiap saat kita pergi
sendirian, kok boros ya? Bepergian sendiri lebih mahal karena kita tidak bisa
berbagi biaya penginapan, biaya makanan, dan biaya transport. Kalau jalan-jalan
ke kota besar seperti Hong Kong atau Singapura, biaya jalan sendiri dan
barengan mungkin selisih sedikit. Tapi kalau jalan-jalan ke New Zealand atau ke
Kepulauan Kei? Masa iya sewa mobil van atau sewa kapal sendiri? Ya kali, kalau
situ artis Hollywood.
Di luar itu, pengalaman waktu
perjalanan juga tidak semuanya terasa layak diceritakan. Ada kalanya juga, kita
nyasar waktu jalan sendirian, jadinya tidak bisa mengunjungi tempat wisata yang
menarik. Atau buru-buru, sehingga sepertinya foto-foto yang diambil jelek semua
dan tidak layak upload. Atau, sakit
perut sehingga tidak bisa menikmati pemandangan alam yang katanya seperti
surga. Lha, pas menulis, tidak bisa banyak cerita soal pemandangannya karena
tidak konsen waktu di sana. Ahaha ...
Suka bingung juga mau nulis apa. |
Yang saya kagum, travel blogger profesional selalu bisa
menceritakan berbagai kisah perjalanan mereka, meskipun kalau kita sendiri yang
mengalaminya rasanya dangkal banget dan nggak layak diceritakan. Ada yang bisa
cerita tentang kegagalan mengambil foto obyek tertentu, ada yang cerita
kesialan yang dialami saat jalan-jalan, ada yang cerita tentang pengalaman
nyasar ... dan saya kadang bertanya-tanya, dari mana ide menulisnya sehingga
hal-hal (yang hina) itu bisa menarik untuk dibaca.
Nah, pernah saya berpikir, mungkin
saya susah membuat artikel yang menarik seperti penjelasan di atas karena saya
tidak bisa melawak, eh ... maksudnya membuat lelucon. Tapi, berhubung gaya
bahasa saya cenderung formal, mungkin memang agak susah untuk memasukkan
lelucon, ya. (Di dunia nyata sehari-hari, gaya bicara saya juga semi formal,
lho. Mungkin karena dari kecil selalu diajarkan untuk menggunakan Bahasa
Indonesia yang baik dan benar di rumah.) Pada dasarnya, gaya berbicara dan gaya
menulis orang berbeda-beda. Kalau saya paksakan untuk menggunakan gaya
penulisan orang lain, pasti jadinya jelek dan garing. Ya jadinya, berusaha
mengembangkan yang ada saja.
Kalau menulis artikel travel banyak
kendalanya, kenapa bikin blog travel? Ya jelas, kalau saya, karena saya suka
jalan-jalan. Mau jalan sendiri, bareng keluarga, bareng teman, ikut tour, ikut
open trip, semuanya oke. Saya sendiri umumnya kalau jalan-jalan berusaha untuk
tidak memiliki ekspektansi yang tinggi, jadi apapun yang ditemui atau dialami
di jalan, disyukuri saja. Untuk saya, yang namanya jalan-jalan pasti
menyenangkan. Dan, blog pribadi saya ini adalah semacam buku catatan
perjalanan.
Paling, kalau sudah pulang ke rumah,
bingung mau menulis apa. Rasanya, kok kemarin nggak lihat ini, nggak tanya soal
ini, di tempat itu terlalu sebentar, atau nggak mengamati detil yang ini ...
apa yang bisa ditulis, dong? Tapi terus dalam hitungan detik, saya pikir, ya
sudahlah. Kalau rejeki, ntar balik lagi ke sana. Tulis yang ada saja. Detil
yang kelewatan, bisa dicari di internet. (Ini beneran. Makanya artikel soal
bangunan tua atau bersejarah biasanya saya sertai dengan penjelasan yang
diambil dari Wikipedia. Kan, kadang kita nggak kepikiran untuk mencari
sejarahnya atau detil lukisannya waktu di TKP.)
Galau? Ya udah, jalan-jalan lagi. |
Waktu menulispun, kadang saya juga
suka galau. Menuliskan keseluruhan perjalanan kadang terasa terlalu panjang.
Kalau disingkat, kesannya seperti iklan tour. (Ini contoh artikel perjalanan yang malahan dikira iklan tour.) Kalau ditulis secara detil dan berjilid-jilid,
rasanya jadi panjang banget dan orang bosan bacanya. (Ini contoh artikel pertama dari satu serial perjalanan yang lumayan panjang.)
Bisa juga, yang dituliskan adalah
obyek tujuan wisatanya. (Ini contoh artikel tentang obyek tujuan wisata.)
Artikel seperti ini, enaknya tidak terlalu panjang dan tidak perlu
berjilid-jilid. Tidak enaknya, sentuhan pribadinya kurang terasa, karena kesannya
terlalu informasi biasa. Pastinya ada banyak artikel dari ahli arkeologi atau
arsitektur atau agen wisata yang bercerita jauh lebih lengkap dan mendalam dari
blog kita. Belum lagi kalau kita harus bersaing dengan Wikipedia. Tidak mungkin
...
Mungkin juga, menuliskan opini. (Ini contoh artikel yang isinya opini.) Tapi travelblog nggak mungkin isinya opini
terus-terusan dong. Harus ada artikel deskriptif tentang perjalanan atau tujuan
wisata. Kalau tidak, jadinya blog pribadi biasa saja. Bisa juga isi blog adalah
artikel daftar. (Ini contoh artikel yang isinya daftar.) Tapi, walaupun artikel
tipe ini konon disukai Google Search, saya pada dasarnya kurang menyukai
artikel daftar karena kadang tidak personal. Artikel seperti ini, bisa jadi
hasil ramuan aduk-aduk berbagai bahan dari internet, jadi kadang tidak ada kesan
personalnya.
Yang untuk blog saya benar-benar
menaikkan traffic adalah penjelasan
tentang jalur Transjakarta. (Ini contoh artikel tentang jalur Transjakarta.) Buat
saya, ini termasuk artikel tentang travel. Isinya memang tidak personal. Tapi
kalau menulis artikel seperti ini, harus siap-siap get personal di bagian komentar. Apa pasal? Orang akan banyak tanya
tentang jalur busway dan saya (penulisnya) harus bisa menjawabnya dengan baik.
Ini adalah artikel yang nggak mungkin saya tulis, kecuali kalau saya sudah
beberapa kali menggunakan bus Transjakarta di sekitaran situ. (Dan kadang saya
bertanya, kenapa sih orang yang bertanya nggak nge-twit ke akun twitter
Transjakarta saja? Jawaban adminnya sudah pasti akurat dan dalam hitungan
detik.)
Walaupun galau dalam menulis, saya
tetap semangat kok. Soalnya menulis artikel di blog membuat saya merasa
menciptakan sesuatu. Lebih senang lagi, kalau ada yang berkomentar. Lebih baik
lagi, kalau ada yang bilang bahwa artikel saya berguna. Wah, itu adalah reward terbaik untuk saya sebagai
blogger amatir.
Itulah suka dukanya saya jadi
blogger dengan niche travel. Masih banyak lagi sih, yang mau dicurhatin. Tapi
kalau kepanjangan, yang baca bosen yah. Saya juga bosan mengetiknya. Nah, buat
yang juga punya blog, ada pengalaman yang menarik nggak, selama jadi blogger?
Kadang suka kagum sama blogger-blogger yang ngambil tema travel di blognya. Soalnya di benak ane mereka pasti jalan-jalan terus wokwokwokowkow.
BalasHapusPengalaman selama nge-blog? Sering banget kehabisan ide, meskipun blog saya temanya bukan travel. Kadang ide itu muncul cuma sesekali, langsung hilang. Ya, ibarat ombak gitu mba. Kalo udah lupa, pusing udah mau nulis apa. Sementara itu, ide muncul di detik-detik akhir deadline posting harus up (di Sabtu jam 7 malem wkwokowkowok :v)
Kehabisan ide tuh, bencana banget buat blogger, ya. Sampai sekarang juga masih mencari cara untuk "nyetok" artikel dan ide.
Hapuskalau jadi blogger travaler cost nya besar sekali mbak hehe kalau emng udah banyak duit ya ga apa sih.
BalasHapussaalam kenal mbak pertama singgah
Wah, hasil menabung lah Kak. Salam kenal juga.
HapusSebagai sesama blogger, gw tau rasanya bingung-mau-nulis-apa. Jangankan travel blogger, blogger sinting kaya gw, yang sebenernya tinggal cerita kehidupan sehari-hari aja suka bingung mau nulis apa. Kadang nulis kepanjangan nanti orang pada males baca. Nulis kependekan nanti orang ngira kita gak niat nulis. Serba salah jadinya. Akhirnya yaudah, dinikmati aja apa yang ada, wkwkwkwk.
BalasHapusIya... bisanya nulis apa, ya udah gitu aja. Asumsinya, kalau sering menulis harusnya semakin terlatih ya.
Hapusini pengalaman saya banget.apa adanya sajaaaa..hiks
HapusSAya belum pernah bepergian sendirian kecuali urusan dinas ke Jakarta. Jadi lom pny cerita solo travel kayak mb Diah yang udah melanglang buana sendiri. Keren mba
BalasHapusWah, saya malahan nggak pernah dapat kesempatan dinas kantor, Bang. Pasti Bang Day ini orangnya pinter sampai sering dikirim kemana-mana ya.
Hapusah jangan suka menuduh gitu dong wkwkwkw
HapusHebat..salut & angkat topi buat mba, blogger cwe yg sdh brani menjelajah.. Sya sbg cwo jd malu klo hnya bpergian dket2 & hnya bsa pergi jauh ktika dtugaskan kantor..hehe
BalasHapusSuka bpetualang tp terkendala waktu & biaya..apalgi tmen jlan..
Klo ada yg mau ngajak jlan ..hub sya di wa 087738367451 y..mb..
Lha saya malah nggak pernah dikirim tugas kantor. Terpaksa keluar uang sendiri.
Hapusmenulis memang harus dimulai dari apa yang kita suka. begitu sih teorinya. tapi ya kadang teori susah juga diaplikasikan. Blog travel menarik karena memberi gambaran penting bagi orang yang hendak bepergian. Tapi kadang blogger traveler suka melebih-lebihkan dalam menulis sebuah tempat. Banyak juga sih yang jujur. hehehe
BalasHapusSaya jujur lho, Kak. Nggak dilebihkan dan nggak dikurangi. Tapi kadang, bumbu-bumbu menambah minat orang membaca. Makanya suka ada tambahannya...
Hapushahahaha..saya juga kesulitan menuliskan soal perjalanan kemana.ntah kenapa.mungkin karena nggak ngamatin detail bangunan atau tempat wisata tersebut. jadi sesekali aja deh nulis perjalanan.
BalasHapusmasalah lain adalah jarang jalan2..hahaha kasian deh. kalaupun jalan karena urusan pulang kampung ajah.hahaha.
btw, makasih pencerahannya yaa
Lha, saya juga kebanyakan jalan-jalannya waktu pulang kampung lho. Sama, lah ... tetap jalan-jalan.
HapusCatatan penting: hal-hal 'hina' kadang lebih diminati. Kira-kira berlaku untuk saya juga tidak ya?
BalasHapusWah ... apa itu ya?
HapusMangkanya dari semenjak awal membuat blog, aku sudah mencoba menghindari label 'travel' di benakku. Karena takutnya jadi beban, ehehe.
BalasHapusPadahal, ga selalu harus melancong jauh juga sih. Cuma ya gitu, tetap saja harus keluar... Tapi bagus tuh konsepnya om Barraba : Traveller Paruh Waktu. Karena sebagai pekerja 9 to 5, kita biasanya cuma bisa travel di sela sela waktu luang kan ya.
-Fajarwalker.com
Iya, konsep traveller paruh waktu tuh oke. Tapi saya penginnya sih full-time. Hehehe...
HapusKarena menulis adalah hobi, aku sih senang aja menulis pengalaman pribadi ketika lagi makan2, jalan2 ya sepitar ini sih plus kesehatan juga. Karena kan intinya kalau ga sehat, susah mau jalan2 dan makan enak hihihi. Pembaca percaya dengan tulisan kita apalagi ditambah foto2 pendukungnya. Yuk, jalan2 lagi! :D
BalasHapusYuk... ayo jalan-jalan!
HapusYa Allah mbak Dee, kau mewakili isi hatiku banget. hahahaha
BalasHapussebagai travel blogger kelas ceremende, aku merasakan hal sama.
Tos dong...
HapusBlog saya juga ada segmen travelnya, tapi mungkin kontennya ga sedetail tulisan para blogger travel murni :D Tapi bener juga, pengennya sih menyajikan pengalaman travel dengan detail tapi apa daya, karena kalau gitu liburannya jadi beban karena terus kepikiran gimana nanti isi konten blognya heu2
BalasHapusBetul banget! Padahal jalan-jalan liburan kan harusnya senang-senang, nggak terlalu mikir. Tapi buat para travel blogger professional, jalan-jalan itu kerja juga kali ya.
HapusIya, jadi inget komentar teman2 ttg foto yg saya sharing di medsos, 'wah enak ya kerja sambil jalan2' haha, padahal disini lagi pusing mikir kerjaan :D Tapi ya bener juga, dari situ saya mulai mengapresiasi tiap perjalanan. Karena bukanlah tujuan yang terlalu difikirkan, tapi menikmati perjalanan jauh lebih penting.
HapusIya. Orang mengapresiasi foto itu oke. Tulisan blog dibaca banyak orang itu oke. Tapi merasa senang waktu jalan-jalan itu priceless.
HapusTerimakasih infonya, sukses terus mbak..
BalasHapusSama-sama!
Hapus