Siapa orang Indonesia yang tidak
pernah mendengar nama Multatuli atau Eduard Douwes Dekker? Penulis buku Max
Havelaar ini dulunya pernah menjabat sebagai asisten residen di daerah Lebak,
dan bekerja di Rangkasbitung. Walaupun jalan hidupnya cukup berliku dan tidak
bisa dikatakan manis, Eduard Douwes Dekker berhasil menuliskan karya yang
sangat berpengaruh pada dunia sastra di Indonesia. Bahkan, salah satu bagian
dari bukunya, yaitu mengenai kisah kasih antara Saidjah dan Adinda, menjadi
salah satu kisah cinta tragis klasik di Indonesia.
Patung Multatuli sedang membaca buku, didampingi Saidjah dan Adinda, menyambut pengunjung museum. |
Satu kompleks dengan museum ini,
terdapat Perpustakaan Saidjah Adinda, yang mana gedungnya berwarna cokelat kayu
unik, dengan pendopo besar yang digunakan untuk berbagai kegiatan pemuda. Kalau
waktunya cukup, saya pasti sudah langsung masuk ke dalam perpustakaan ini.
Sayangnya saya tidak bisa lama-lama di sini. Jadi saya buru-buru masuk ke
Museum Multatuli.
Museum Multatuli adalah museum
modern yang lebih menekankan pada pemahaman dibandingkan sekadar pameran barang
kuno. Museum ini ditata sesuai dengan alur cerita yang mudah dipahami dan
penataan interior yang cantik. Tak heran banyak pengunjung yang menggunakannya
untuk tempat selfie. Tapi di luar penataan ruang yang menarik, informasi yang
disampaikan padat dan tepat sasaran. Di museum ini, kita bisa belajar tentang
kondisi politik dan ekonomi daerah Lebak di jaman penjajahan dan juga kronologi
pergerakan kemerdekaan serta peristiwa penting yang terjadi di Lebak.
Salah satu instalasi pameran di dalam Museum Multatuli. |
Salah satu bagian dari Museum Multatuli. |
Di luar museum, juga terdapat spot
yang tak kalah menarik, yaitu patung Multatuli sedang membaca buku, sambil
duduk di dekat sebuah lemari. Patung ini terletak di atas semacam panggung,
jadi pengunjung bisa berfoto-foto dari sudut yang berbeda-beda. Sepertinya area
patung ini memang dibuat untuk tempat foto-foto pengunjung.
Untuk yang berminat berkunjung kemari, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan. Museum tutup di hari Senin. Di hari lain, buka jam
08:00 pagi dan tutup jam 16:00, tapi kalau hari Sabtu dan Minggu buka jam
09:00. Setiap hari, museum ini ditutup pada jam 12:00 sampai jam 13:00 untuk
istirahat pengelolanya. Khusus hari Jumat, pengelola museum istirahat dari jam
11:30 sampai dengan jam 14:00. Jadi jangan datang dekat-dekat jam makan siang,
karena di waktu istirahat seluruh pengunjung akan diminta meninggalkan gedung
museum, dan baru bisa kembali setelah jam istirahat selesai.
Dari Museum Multatuli, kami iseng
mencari tahu di mana letak bekas rumah tempat tinggal Eduard Douwes Dekker saat
menjabat sebagai Asisten Residen Lebak. Setelah tanya ke sana-sini, ternyata
rumah yang dulu ditinggali oleh Asisten Residen Lebak masih berdiri sampai
sekarang. Dengan penuh rasa penasaran, kami lalu menuju ke tempat yang
dimaksud.
Rumah Multatuli yang nampak reyot tak terurus. |
Rumah Multatuli sudah menjadi cagar
budaya. Artinya, bangunan ini tidak boleh dirusak ataupun sembarangan direnovasi.
Mungkin karena ijin renovasinya susah atau karena modalnya kurang, rumah
Multatuli ini kini hanya tinggal rumah reyot yang tak terurus. Saya yakin
dulunya rumah ini cukup mewah dan berada di antara barisan rumah-rumah dupleks
khas jaman Belanda yang cantik. Tapi apa boleh buat, jaman berubah. Kini yang
hilir mudik di sekitar rumah reyot ini adalah pasien, petugas rumah sakit, dan orang-orang
yang akan besuk ke rumah sakit.
Melihat kisah perjalanan sejarah
daerah Lebak di Museum Multatuli, dan kemudian membandingkannya dengan kondisi
Rumah Multatuli saat ini, saya tersadarkan bahwa kemewahan itu sifatnya semu.
Di dalam museum, saya belajar bahwa kolonialisme bersanding dengan korupsi dan
pemerasan terhadap rakyat – dan salah satu kebanggaan pejabat kolonial pada
masa lalu itu, rumah dinas, kini tinggal bangunan reyot di tengah gedung rumah
sakit yang ramai. Siapa tahu apa yang terjadi di masa depan?
Pesan Multatuli yang tak lekang dimakan jaman. |
menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya... mbak semangat
BalasHapusSemangat juga!
HapusSayang bener ya, rumah yang sangat kokoh di zamannya itu ga dirawat, atau dialihfungsikan saja biar ga roboh gitu
BalasHapusKatanya sih, ada wacana untuk renovasi. Tapi entah kapan dijalankannya.
HapusSalah satu liburan yg kusuka berkunjung ke museum :)
BalasHapusBtw kalau kesini free atau ada HTMnya mba?
Kemarin saya masuk, gratis sih Mbak.
HapusAku ikut lega setelah baca rumah milik Multatuli sudah ditetapkan sebagai cagar budaya ....
BalasHapusSangat disayangkan kalau suatu rumah atau bangunan punya nilai historis tinggi tapi ditelantarkan atau juga dipugar.
Iya... Sayang juga kan. Rumahnya juga bisa jadi museum kecil.
HapusBetul, kak.
HapusBangunan bersejarah seperti ini sudah semestinya segera masuk dalam daftar cagar budaya dan secara kontinyu dirawat misal dicat ulang tapi tanpa merubah bentuk asli bangunannya.
Setuju. Yah ... perjalanan masih jauh untuk pengelolaan cagar budaya di Indonesia.
HapusInstalasi pamerannya bagus sekali ya sederhana tapi ada sentuhan moderennya, pesan Multatuli di foto terakhir ini juga cukup sederhana tapi maknanya dalam dan setiap orang punya pandangan berbeda ttg hal ini
BalasHapusBetul, Mbak. Kata "manusia" itu artinya dalam, tapi jarang ada orang yang berusaha memahaminya.
HapusSayang sekali rumah peninggalam Douwes Dekker dibiarkan begitu saja, padahal bisa menjadi napak tilas buat belajar sejarah yang bagus. Rumah itu mengingatkan saya sama banyak rumah dinas guru di SD Inpres yang juga bernasib serupa.
BalasHapusEh iya, Pak. Banyak rumah dinas tahun 80-an yang sekarang tak terawat. Entah mengapa.
HapusSayang yah rumah yg jadi bagian sejarah negeri kita kurang mendapat perhatian dari pemerintah
BalasHapusIya, Pak. Tapi masih mending, daripada dibongkar untuk dijadikan mall.
Hapusiya juga sih. Smg ada perhatian dari pemda dki, jadi bisa dikembangkan jadi wisata edukasi
HapusKisah yg menarik..sya suka smaa sejarah jg :)
BalasHapusSama, dong...
HapusAku pernah baca kisah multatuli ini di majalah anak2 ananda dulu. Meski nonpri tapi dia ikut berjuang untuk indonesia
BalasHapusIya, dia menulis buku yang membela rakyat Indonesia.
HapusBeruntung dibangun Museum Multatuli, setidaknya namanya tetap dikenang Bangsa Indonesia.
BalasHapusBukunya benar benar menyadarkan orang-orang di negaranya, dibalik negaranya yang indah, ada orang orang yang tertindas karena terjajah.
Iya. Berani ya, menulis begitu. Saya belum tentu berani.
HapusDan baca ini bikin saya penasaran pengen baca karya2 beliau..
BalasHapusBetulnya saya juga gak pernah baca Max Havelaar. Tapi kalau Saidah dan Adinda, pernah. Ada filmnya juga kok.
Hapuswah ternyata keren juga ya. kapan kapan ah nyoba mampir ke museum ini di rangkasbitung. makasi infonya ya mba Dyah:)
BalasHapusSama-sama!
Hapus