Artikel ini dibuat sebagai bagian dari BPN 30 Day Blog
Challenge
Waktu saya masih kecil, saya tinggal
di Solo. Solo juga bukan kota yang kecil-kecil amat ya. Tapi jelas jauh lah,
dengan Jakarta yang sudah masuk kategori metropolitan. Waktu saya kuliah, saya
diterima di universitas di Depok, Jawa Barat. Jadi, saya kemudian tinggal di Depok sampai
awal-awal masa kerja. Setelah saya menemukan kos-kosan yang harganya masuk
akal, saya kemudian pindah ke Jakarta. Sejak saat itu, saya belum berpindah
lagi dari kota Jakarta.
Monumen Nasional atau Monas, salah satu landmark kota Jakarta. |
Sebagai orang yang bekerja di bidang
personalia, saya sudah sering merekrut orang dari luar Jakarta untuk kemudian
bekerja di Jakarta. Mereka kemudian menjadi pendatang baru di Jakarta.
Berkali-kali saya melakukan interview dan juga mendengarkan curhat orang-orang
yang datang ke Jakarta. Ternyata, ada beberapa hal yang saya rasa berbeda
antara orang yang datang ke Jakarta setelah kerja dan ketika masih kuliah.
Waktu saya pertama kali datang ke
Jakarta, masa orientasi di kampus meliputi naik KRL (commuter line) ke kampus
dan juga mengenali angkot di sekitar kampus. Selain itu, sebagai mahasiswa yang
punya waktu cukup untuk kumpul-kumpul, saya bisa tiba-tiba diajak main ke rumah
teman naik angkot atau bus. Saya ingat suatu hari, tiba-tiba jam 4 sore ada
teman yang mengajak menonton film gratis di PPHUI Kuningan jam 6 sore. Saya
tidak tahu caranya ke Kuningan dari Depok. Tapi teman saya yang asli Jakarta
langsung menyeret saya naik KRL dan, viola,
sampailah kami di PPHUI. Sejak saat itu, saya bisa ke GOR Sumantri (juga di
Kuningan) sendiri tanpa teman.
Sementara waktu saya sudah kerja,
saya menemukan ada seorang pegawai baru yang bilang gajinya nggak cukup untuk
hidup di Jakarta. Alasannya, transportasi mahal. Dia kemana-mana naik taksi.
Lha? Ternyata dia takut naik kopaja atau metromini, dan cuma berani naik
Transjakarta di sekitaran Sudirman-Thamrin. Terus, karena dia tidak berjiwa
petualang, dia tidak berani coba-coba bepergian sendiri. Lebih parahnya, tim
kerjanya dia mayoritas sudah berkeluarga dan begitu jam 5 sore langsung pulang.
Jadi dia benar-benar nggak punya teman yang bisa memperkenalkannya pada
transportasi umum di Jakarta. Beda banget dengan saya, ya.
Waktu pertama-tama saya ke Jakarta, saya
sempat bingung bagaimana caranya mengisi waktu luang di akhir pekan. Tapi,
karena hidup di lingkungan kampus, saya biasa melihat pengumuman kegiatan kemahasiswaan
sampai tumpang tindih di papan. Saya bisa ikut dua sampai tiga UKM sekaligus di
awal masa kuliah saya. Lama-kelamaan, cuma satu yang bertahan – dan teman-teman
di situ masih jadi teman hingga sekarang. Dari teman-teman di UKM dan teman di
kuliah, saya dapat kesempatan untuk ikut kegiatan sosial, tahu jadwal pemutaran
film gratis di pusat kebudayaan, sampai tahu acara-acara gratisan yang
diselengarakan kementerian. Lama-kelamaan saya harus berpikir keras bagaimana
caranya membagi waktu untuk semua kegiatan saya. Tiba-tiba jadi nona sibuk.
Waktu sudah kerja, saya tinggal
melanjutkan hobi saya saja. Saya pernah ikut Indonesian Heritage Society, pernah
ikut Toastmasters, pernah kursus bahasa Jepang, Perancis, Mandarin, Rusia, dan bahasa
isyarat Bisindo. Belum lagi kursus singkat yang entah dari mana informasinya. Dan
di antara teman-teman dari semua tempat itu, masih ada yang tetap berteman
sampai sekarang. Sekarang saya sudah tidak ikut kegiatan apa-apa lagi, namun
tiba-tiba aktif ngeblog. Eh, dapat teman juga lho, dari ngeblog.
Sementara saya menemukan rekan-rekan
yang datang ke Jakarta ketika sudah kerja, temannya ya orang kantor atau teman
kerja suami/istri. Ada juga yang berteman dengan teman SMA atau kuliahnya. Tapi
jarang yang menambah teman baru di luar itu, kecuali referensi temannya.
Sementara saya cukup beruntung karena bisa dapat kenalan dan informasi kegiatan
begitu saja, ada juga yang nggak tahu mau ngapain di akhir pekan. (Kecuali yang
suka ikut pelayanan di gereja ya, karena biasanya dapat banyak teman di situ.)
Jadi, kesimpulan saya, kalau jadi
pendatang di sebuah kota baru – Jakarta, misalnya, perlu ada usaha lebih untuk
mengenal lingkungan tempat tinggalnya. Kalau datangnya setelah bekerja, mungkin
tidak bisa mengandalkan teman kantor. Mau tidak mau harus coba-coba sendiri
mencari teman-teman di luar lingkungan kantor. Bisa saja ikut kegiatan di luar kantor yang membantu memperkenalkan diri dengan lebih banyak
orang lagi. Jakarta ini kota besar, sayang kalau kita cuma tahu sedikit bagian
darinya. Nggak rugi kok, ikut kegiatan macam-macam itu, selain menambah
pengetahuan, juga menambah kenalan.
Apalagi kalau gaul sama komunitas blog yang membernya ada yang menetap di Jakarta. Nambah lebih banyak teman, di luar teman kantor kan, Kak :D
BalasHapusMenetap di Jakarta dan luar Jakarta. Tambah luas lagi dong temannya...
Hapus