Pertunjukan sendratari di Museum Nasional Kamboja. |
Tanggal
16 Juni 2018. Kami tiba di hotel kami di Phnom Penh sekitar jam 4 sore. Setelah
perjalanan dengan bus sekitar 6 jam, berbaring di atas tempat tidur adalah
salah satu kenikmatan tiada tara. Bahwa kamar kami ada di lantai 3 dan tidak
ada lift, tidak masalah buat kami. Yang penting kami punya tempat untuk
meregangkan otot kaki. Nah, sambil istirahat dan bersih-bersih, kami mulai
merancang kegiatan yang akan dilakukan selama di Phnom Penh. Karena kami ingin
wisata yang bahagia dan menghindari pemandangan horror, kami sengaja tidak
menjadwalkan kunjungan ke Museum Genosida Tuol Sleng maupun ke Ladang
Pembantaian Choeung Ek. Mungkin kalau suatu saat nanti ada kesempatan kemari,
saya akan mengunjungi tempat-tempat bersejarah itu.
Berhubung
hotel kami jaraknya cuma selemparan batu dengan Museum Nasional Kamboja (National Museum of Cambodia), maka sore
itu kami mencoba ke sana untuk mengecek jadwal buka. Eh, kami malah menemukan
loket penjualan tiket pertunjukan sendratari dari Cambodian Living Arts. Karena
penasaran, maka kami bertiga memutuskan untuk membeli tiket pertunjukan yang
akan dimulai jam 7 malam nanti.
Cambodian
Living Arts, adalah organisasi seni yang memelihara budaya tari tradisional
Kamboja. Salah satu pertunjukan rutinnya adalah sendratari yang diadakan di
Museum Nasional Kamboja, setiap hari jam 19:00. Sendratari yang akan kami
tonton ini diperkenalkan sebagai tarian tradisional Kamboja yang dicampur
dengan gambaran kondisi kontemporer di Kamboja saat ini.
Museum Nasional Kamboja. |
Posisi
penonton di pertunjukan tari ini hampir sama dengan posisi penonton di
pertunjukan Sendratari Ramayana di Prambanan, Yogyakarta. Penonton duduk di
bangku kayu yang agak pendek yang disusun seperti tangga. Semakin mahal
tiketnya, semakin baik posisinya. Karena kami beli tiket yang harganya kelas
menengah, maka kami dapat posisi yang agak belakang, tapi bisa di tengah. (Soal
menonton sendratari sih, nggak masalah duduk di mana saja. Yang jadi masalah
sebenarnya adalah nyamuk yang berterbangan di sekitar kaki.)
Pertunjukan
sendratari berlangsung selama kira-kira satu jam. Selama satu jam itu kami
disuguhi kisah mengenai legenda rakyat di Kamboja dan juga gambaran kehidupan
rakyat pedesaan saat ini. Tarian-tariannya dibawakan dengan profesional dan
menarik. Di layar di atas panggung, ada sedikit penjelasan mengenai alur
cerita, namun tidak banyak. Ada beberapa detil tarian yang saya tidak mengerti maksudnya.
Tapi nggak masalah sih, yang penting kan menonton tariannya.
Sebagai
orang yang sebelumnya menghabiskan waktu tiga hari tiga malam di Siem Reap dan
sudah puas keliling candi-candi di sana, kami sudah berkali-kali melihat ukiran
apsara di tembok candi. Apsara adalah bidadari menurut mitologi Hindu, yang
juga diterima oleh budaya Kamboja sebagai bidadari yang jago menari. Seorang
penari di sendratari yang memerankan Dewi Moni Mekhala, betul-betul sesuai
dengan gambaran saya tentang apsara. Selain cantik, dia juga jago menari dengan
gerakan-gerakan yang seperti yoga, sama persis dengan yang ada di ukiran candi.
Pokoknya, khusus si mbak-mbak penari yang satu itu, gerakannya seperti bidadari
banget!
Mbak-mbak yang mirip apsara. Sayang ngak bawa kamera DSLR, jadi nggak jelas fotonya. |
Buat yang penasaran. Ini contoh ukiran apsara di Angkor Wat. |
Secara
keseluruhan, sendratari ini menarik dan layak ditonton. Tapi memang, harga
tiket yang paling murah USD 15, itupun duduk di kursi belakang. Buat
backpacker, ya bisa dianggap mahal. Apalagi kalau untuk turis Indonesia,
biasanya pertunjukan seperti ini dilewatkan karena dianggap membosankan.
Padahal, dengan menonton sendratari ini, saya mendapatkan gambaran baru
mengenai kepercayaan penduduk Kamboja. Sama seperti Sendratari Ramayana di
Indonesia, sendratari ini menunjukkan kuatnya pengaruh mitologi India di dalam
sejarah budaya setempat.
Di
akhir pertunjukan, pendiri Cambodian Living Arts maju ke panggung dan
bercerita, bahwa di masa kekuasaan Khmer Merah, seluruh seni tradisional
dilarang dan para seniman ditahan, bahkan dibunuh. Seni yang boleh hidup
hanyalah seni yang membawa propaganda penguasa. Akibatnya, ada satu generasi
penduduk yang tidak kenal lagu-lagu tradisional dan tarian daerah
masing-masing. Setelah Khmer Merah kalah, Bapak Arn Chorn-Pond, pendiri dari
Cambodian Living Arts, mengumpulkan para seniman tradisional untuk mengajarkan
seni pada generasi baru.
Pak Arn
Chorn-Pond sendiri bercerita bahwa saat dia masih muda, dia sempat dimasukkan
ke tahanan anak-anak oleh rezim Khmer Merah karena dia berasal dari keluarga
seniman. Setelah dia berhasil melarikan diri, dia lalu dibantu oleh seorang warga
Amerika sampai dewasa. Saat dia kembali ke Kamboja setelah Khmer Merah bubar,
dia kaget karena anak-anak hanya tahu lagu-lagu propaganda, tapi tidak ada yang
tahu mainan anak-anak tradisional yang dulu biasa dia mainkan. Selain itu,
tidak ada lagi yang tahu tarian-tarian tradisional. Bahkan, legenda rakyat juga
banyak yang sudah hilang. Itulah yang mendorong dia untuk membangun Cambodian
Living Arts untuk mengumpulkan dan mempertahankan budaya asli Kamboja.
Ini yang penari pria, di bagian dimana Dewa Wisnu melerai pertikaian antara Dewa dan Raksasa. |
Cambodian
Living Arts ini sendiri tidak hanya menyelengarakan pentas tarian-tarian
tradisional, namun juga punya research
center yang meneliti sisa-sisa budaya tradisional dan mengumpulkan
orang-orang tua yang memiliki ingatan terhadap budaya di masa lampau.
Sebagai
orang yang tinggal di Indonesia, negara yang merdeka sendiri (bukan pemberian
negara lain) dan masih bisa mempertahankan budaya sendiri, saya bersyukur bahwa
saya masih sering mendengar cerita tradisional dan juga lagu-lagu tradisional. (Lagu
tradisional ini maksudnya yang seperti Ampar-Ampar Pisang atau Gundul-Gundul
Pacul, ya. Bukan yang jenis lagu-lagunya Didi Kempot.) Nggak kebayang kalau suatu
saat nanti ada suatu rezim yang hanya mengijinkan satu macam budaya dan
kebiasaan yang berlaku bagi seluruh penduduk negara Indonesia.
Pesan untuk
semua yang membaca nih, yuk kita bantu kelestarian kesenian, cerita rakyat,
legenda, dan juga sejarah bangsa kita, dari Sabang sampai Merauke. Walaupun
aneh, susah dipelajari, kuno, atau terkesan seperti kisah serangan alien, kan
semua legenda dan budaya itu merupakan dongeng dan kebiasaan yang pastinya
berguna di masanya. Kalau sekarang dianggap sebagai hiburan belaka, (menurut saya
pribadi) juga tidak salah kan. Sama seperti puisi lokal yang menyelamatkan
warga Pulau Simeulue dari amukan tsunami di tahun 2004, siapa tahu legenda dan
kisah kuno bisa menjadi catatan sejarah yang membantu kita mempersiapkan masa
depan.
Untuk
yang ingin tahu lebih lanjut tentang Cambodian Living Arts, bisa berkunjung ke https://www.cambodianlivingarts.org/
Cambodian Living Arts ini keren ya, selain ada pertunjukan, juga punya pusat penelitian! Pusat penelitian seni ini yang bisa banyak tumbuh juga di Indonesia karena setiap wilayah punya budaya/adat dan seninya masing-masing.
BalasHapusBetul sekali, Mbak. Dan, sekarang semakin banyak kelompok seni dan budaya di Indonesia. Cuma mungkin mereka lebih menjadi sarana kumpul para seniman. Kalau perkumpulan yang lebih ilmiah dan membahas seni tradisional secara mendalam, sepertinya saya belum pernah dengar.
HapusNonton pertunjukkan sendratari selama 1 jam cukup ya mbak nggak terlalu lama dan nggak terlalu cepat.
BalasHapusBenar ... kalau disuruh menonton pertunjukkan wayang kulit semalaman, baru seperempat jalan saya pasti sudah tidur.
HapusWih bagus bangeeeeet. Aku suka nih pertunjukkan kayak begini. Seruuuu. Mayan nanti kalo ke Thailand, udah tau yg beginian :D
BalasHapusEh lah... kamboja.. kok jadi thailand -_-
BalasHapusEh? Hahaha ... Iya, ini di Kamboja.
Hapuswah, lg ada di Kamboja ya? byk pertunjukan kesenian ya disana?
BalasHapusSudah pulang, Kak. Ini oleh² saja. Pertunjukan kesenian ada banyak di Kamboja. Tapi sebagian besar ditujukan untuk turis.
HapusKalo budaya indonesia sih sbnernya udh filestarikan scr masif. Suka keselnya kalo negeri tetangga asal kliam saja gitu. Kaya reog, kuda lumping, dan yg terbaru silat.....
BalasHapusHadehhhh.
.
Btw bisa tau banyak tentang sejarah kamboja gitu pasti riset utk nulis artikel ini lama ya mbak???
Keren!!
Iya... makanya kita sebagai orang Indonesia harus mempertahankan kelestarian budaya kita.
HapusRiset lama? Enggak, kok. Cuma memperhatikan setiap penjelasan aja pas jalan. Hehe...
Keren mbak..
BalasHapusSaya dulu ke Kamboja malah ke tuol sleng sama mabok doang, wkwkwk
Gila jauh-jauh ke sana malah isinya dugem doang
Ahaha... selera orang beda-beda ya. Tapi menonton pertunjukan tari di negara yang berbeda ada sensasinya sendiri-sendiri.
Hapus