Jakarta,
dulunya Batavia, adalah salah satu kota yang memegang peranan penting pada masa
penjajahan Belanda. Selain menjadi pusat pemerintahan, kota ini juga menjadi
pusat perdagangan. Tentu saja, salah satu hal yang membuatnya menjadi penting
bagi pemerintah saat itu adalah karena Batavia merupakan kota pelabuhan. Nah,
sampai sekarang pun, kota Jakarta tetap merupakan kota pelabuhan yang cukup
aktif. Jadi, wajar dong, kalau Jakarta punya museum yang menyimpan kisah dan
kenangan yang terkait dengan bahari atau kelautan.
Museum Bahari, di Jakarta Utara. |
Museum
Bahari, sesuai dengan namanya, menyimpan barang-barang yang terkait dengan
kelautan Indonesia, dari Sabang hingga Merauke. Letaknya juga sangat dekat
dengan laut, yaitu di daerah Pelabuhan Sunda Kelapa. Belum masuk ke dalam
museum saja, kita sudah bisa merasakan angin laut dan mencium bau ikan. Kenapa?
Soalnya posisi museum ini memang dekat dengan pasar ikan.
Beberapa
bulan yang lalu, saya berkesempatan untuk mengunjungi Museum Bahari. Ini adalah
pertama kalinya saya menginjakkan kaki di sini, pasca kebakaran museum di
sekitar bulan Januari 2018. Yang saya dengar dari berita, beberapa barang
simpanan museum habis dilalap si jago merah. Kunjungan saya kali ini sekaligus
juga untuk melihat sejauh mana kepulihan Museum Bahari.
Museum
Bahari terletak di Jl. Pasar Ikan no. 1, Jakarta Utara. Bangunan yang digunakan
sebagai museum ini dulunya adalah gudang pelabuhan. Yang terutama disimpan di
sini adalah rempah-rempah. Sejak tahun 1977, bangunan ini menjadi museum. Tapi
sebetulnya ada satu area yang agak terpisah dari museum utama, namun masih
menjadi bagian dari Museum Bahari. Area yang dimaksud adalah Menara Syahbandar.
Pemandangan dari Menara Syahbandar. |
Menara Syahbandar
letaknya persis di dekat jalan raya. Kalau turun dari angkot, maka yang
langsung terlihat adalah menara ini. Walau sekarang jaraknya lumayan jauh dari
garis pantai (sekitar 1 kilometer), dulunya Menara Syahbandar ini terletak
persis di tepi pantai. Menara ini dibangun untuk memantau keluar masuknya kapal
di pelabuhan, sekaligus menjadi tempat bea cukai. Tentunya bangunan ini dulunya
adalah bangunan penting yang dijaga ketat oleh pemerintah Belanda.
Menara
Syahbandar sendiri juga menjadi museum, dimana di sini disimpan beberapa
perlengkapan yang umum digunakan di kapal. Hal yang paling disukai oleh
pengunjung adalah naik ke lantai teratas dan mengamati pemandangan di sekitar
museum. Di menara Syahbandar ini juga terdapat prasasti penanda titik 0 kota
Batavia. Prasasti kuno yang menunjukkan posisi titik 0 kota Batavia ini ditulis
dalam aksara cina.
Oh ya,
bangunan menara ini sebenarnya menarik. Konon kabarnya, dari menara ini ada
lorong bawah tanah yang bisa membawa kita sampai ke Museum Fatahillah (dulunya
Stadhuis) dan Masjid Istiqlal (yang dulunya adalah Benteng Frederik Hendrik).
Sayangnya pintu masuk lorong ini sudah ditutup.
Dari
Menara Syahbandar, saya berjalan ke gedung utama Museum Bahari. Kelihatan sih,
kalau gedung ini dulunya gudang. Bangunannya panjang dan memiliki banyak
jendela. Kalau yang disimpan rempah-rempah, sudah pasti harus bagus aerasinya.
Bagian
bawah bangunan utama menyimpan contoh bentuk-bentuk kapal dan juga bebagai
perlengkapan kegiatan pelabuhan dan pelayaran. Tapi yang menarik bagi saya
adalah replika gambar kota Batavia dari atas. Kelihatan banget kalau kota Batavia
dibangun dengan perencanaan kota yang matang dan teratur. Semuanya rapi.
Gambar Batavia jaman dahulu. |
Buat
yang memang ingin belajar sejarah bahari Indonesia, pasti suka dengan penataan
papan penjelasan sejarah bahari di lantai satu ini. Lengkap dan cukup detil.
Bisalah, dilihat sebagai usaha pengelola museum untuk menyajikan data dan ilmu,
bukan hanya tempat foto-foto cantik.
Lantai
dua bangunan utama berisikan diorama tokoh-tokoh kelautan. Masing-masing
diorama punya tema sendiri-sendiri, misalnya pedagang yang datang ke Batavia,
kisah peperangan di Sunda Kelapa, perdagangan rempah-rempah, eksplorasi pelaut
dari Eropa, dan lain-lain. Kalau ke sini, jangan lupa menengok ke ruang
rempah-rempah. Baunya wangi banget, soalnya di situ memang disimpan berbagai
rempah-rempah.
Saya
jalan-jalan di lantai dua ini seorang diri. Lumayan serem juga, ruangannya
remang-remang, dan di semua tempat terdapat patung-patung seukuran manusia.
Untung di setiap diorama ada buku panduannya yang menyajikan kisah lengkap dan
detil mengenai tokoh atau peristiwa yang digambarkan. Keingintahuan akan
sejarah mengalahkan rasa takut.
Sayangnya,
bangunan yang menyimpan barang hanya bangunan utama ini. Soalnya bangunan yang
lain masih dalam tahapan perbaikan sebagai akibat dari kebakaran itu. Seingat
saya, dulu ada lebih banyak replika perahu, tapi mungkin ikut terbakar semua.
Sayang juga.
Lantai atas museum, diorama. |
Bangunan
di belakang adalah kantor dan juga ruang pertemuan. Waktu saya datang, sedang
ada meeting pengurus museum. Saya sempat menguping, ada pembahasan tentang
kesejahteraan pengurus museum. Tapi karena hari panas dan juga saya tidak ada
hubungannya dengan tema ini, saya terus berlalu.
Buat
yang ingin berkunjung ke Museum Bahari, bisa ambil mikrolet dari depan Museum
Mandiri, dekat halte busway Kota. Kalau tidak salah ingat, mikroletnya nomer 15
(lupa mencatat). Tapi demi amannya, tanya saja ke sopirnya, jurusan mana yang
lewat Museum Bahari.
Dari halte
busway Kota ke Museum Bahari saya naik angkot. Tapi kembalinya saya jalan kaki.
Lumayan lho. Tidak terlalu jauh. Tidak sampai setengah jam juga sudah kembali
ke halte busway Kota. Kalau minat jalan kaki, bisa sekalian melihat-lihat
suasana daerah Kota Tua dan juga lewat Jembatan Kota Intan. Jadi bertambah deh,
tempat kunjungan wisatanya.
Yuk,
mari ke museum!
Wah tambah bagus museumnya, dulu saya pergi ke sini tahun 2013-an kalau nggak salah. Pernah foto pula di depannya :D cuma musti cari lagi ini d mana kah foto itu berada. Dan untuk edukasi anak-anak memang paling asyik kalau mainnya di museum. Sambil main, jalan-jalan, dan belajar.
BalasHapusBetul Mbak. Museum adalah sarana untuk belajar keluarga. Tahun 2013 masih ada replika kapal phinisi yang besar. Awal tahun 2018, waktu museum kebakaran, replika itu ikut kebakar juga.
HapusHaaaa??? Iya emang waktu itu ada replika kapal itu ... saya baru tahu kebarakan :( kenapa ya ini. Sering sekali kebarakan. Macam di NTT saja sudah kebakaran berapa kali itu yang di Pulau Komodo, yang di kampung adat Gurusina di Bajawa, juga yang di Pulau Sumba. Sedih.
HapusMungkin Indonesia sedang panas cuacanya. (Ini literal, bukan kiasan.)
HapusYa, mungkin ya ...
HapusWhuaa saya aja yang orang Jakarta belum pernah ke sini... Btw jadi kepo juga nih sama kesejahteraan pengurus museumnya, hihii..
BalasHapusSebetulnya saya kepo juga. Tapi gak mungkin nguping terus kan...
Hapuswow....
BalasHapusterima kasih mau berbagai
Sama-sama!
HapusAsyik memang kalo pergi ke museum, kita bisa tau sejarah masa lalu. Saya sih blum pernah ke sini....tapi tertarik dgn ruang rempah2nya, baunya pasti sedep deh.
BalasHapusIya ... baru rempah-rempahnya menyenangkan. Nggak kebayang kalau dulu gudang-gudang di Jakarta berisi tumpukan pala kering yang mau dibawa ke Belanda. Gimana pegawainya nggak mabok yah, nyium bau pala setiap hari.
HapusJadi kebayang ya kehidupan di zaman dulu, mabuknya bukan minuman keras tapi mabuk rempah2 hihihi...
HapusSering lewat pasar ikannya, dan barusadar belum pernah masuk ke museum bahari-nya :(
BalasHapusWahahaha ... tapi baunya sama saja kok, Pak!
Hapusdatang ke suatu museum selalu ada bahan pengetahuan baru yang menarik,
BalasHapuspenasaran dg menaranya
Setuju. Makanya sayang sekali kalau ada museum yang kurang terawat.
HapusJangankan ke jakarta, keluar dari sumatera aja aku belum pernah.. 😫😫
BalasHapusIni lagi nabung mbak, moga aja suatu saat kesampean kesana.
Amin!
Hapussudah hampir 2 tahun merantau dijakarta tapi belum pernah ke museum ini hehe, but udh tau habis baca artikel ini thaks ya :)
BalasHapusNah... tinggal meluncur aja nih.
HapusHahaha .. aku dulu beberapakali cuma lewat depan museum Bahari yang letaknya tepat di pinggir kali ini, tanpa pernah mencoba masuk ke dalamnya,kak.
BalasHapusEntah, bawaannya saat itu terasa seram saja duluan [ seperti saat aku belum ke museum kareta di Jogja ], jadinya belum pernah sama sekali masuk ke museumnya.
Sekarang nyesel, pengin kesana setelah lihat post kak Dyah ini.
Dilihat foto suasana lantai 2 nya kok kesannya agak gimana gitu ya,kak ...
Saya museum jarang iklannya, ya. Jadinya orang nggak tertarik untuk cari tahu lebih lanjut, apalagi bela-belain mengunjungi.
HapusIya,betul.
HapusGaung berita lokasi wisata museum masih minim kedengaran ..., yang banyak mengulas ya cuma para blogger.
Selebihnya minim pemberitaan.
Museum Bahari ini yang beberapa bulan lalu terbakar ya mbak?
BalasHapusSayang sekali ya padahal museum ini aset nasional bangsa Indonesia.
Sedih lihat tayangannya di tv banyak koleksi museum yang ikut terbakar.
Benar banget! Waktu saya datang, bangunan yang terbakar belum direnovasi. Mungkin belum ada dana, ya.
HapusSaya tinggal di Depok dekat Jakarta malah belum pernah ke museum ini hahahahaha
BalasHapusWah ... kalau di Depok, ada museum yang lebih dekat lagi: Museum di Tengah Kebun di Kemang. Sayangnya itu museum pribadi yang nggak bisa sembarangan masuk.
HapusSayang banget ya kebakaran.
BalasHapusSaya suka banget mengunjungi tempat-tempat bersejarah kayak gini.
Next kalau ke Jakarta wajib mampir deh :)
Idem, kak. Saya juga suka mengunjungi museum begini. Semoga segera selesai renovasinya.
Hapus