Pelabuhan nelayan Cilincing. |
Setelah
wisata produksi makanan, kami lanjut ke wisata budaya. Ya, daerah Cilincing
sebetulnya adalah daerah dimana berbagai agama sudah hidup berdampingan sejak
ratusan tahun yang lalu. Seperti Indonesia pada umumnya, dimana tempat ibadah
letaknya bisa cukup berdekatan satu sama lain. Di Cilincing, kami mengunjungi
pura, masjid, dan vihara dalam satu hari.
Selanjutnya
kami menuju ke Krematorium Cilincing. Krematorium Cilincing adalah tempat
pembakaran jenazah untuk berbagai agama. Di sini juga ada tempat penyimpanan
abu jenazah. Kompleks tempat pembakaran ini cukup luas, dan pilihan ruangannya
juga banyak. Tempat pembakaran jenazah bentuknya seperti oven besar. Yang
paling sering dipakai sekarang adalah yang paling modern dan paling cepat
selesai, yang letaknya di dalam aula. Tapi ruangan pembakaran yang lama di
pinggir juga masih dipakai. Ada yang masih model dibakar pakai kayu, lho. Entah
berapa lama baru bisa selesai pembakarannya.
Ruang bakar krematorium. Ini yang lama ya. Yang modern di dalam aula. |
Krematorium
letaknya sudah dekat dengan Pura Segara. Tempat ibadah ini adalah tempat
istimewa bagi umat Hindu di Jakarta karena pura ini adalah satu-satunya pura
yang letaknya di tepi pantai. Jadi, seluruh upacara yang terkait dengan laut, tentunya
dilakukan di sini. Saat kami tiba di sini, Pura Segara sedang dipenuhi oleh
umat yang hendak merayakan Upacara Melasti. Upacara Melasti adalah upacara
pembersihan diri untuk persiapan menjalani hari raya Nyepi, yang memang
dilaksanakan di tepi laut. Berhubung penuh, kami tidak jalan-jalan, apalagi banyak
foto-foto. Apalagi Bapak Gubernur ikut datang memberikan kata sambutan. Kami
bahkan tidak bisa bergerak beberapa lama karena kami kebetulan berdiri di jalan
yang dilewati rombongan Gubernur. Yang bisa saya ceritakan hanyalah bahwa pura
ini cukup besar, ada gedung utama yang besar, dan punya pelataran yang luas dengan
semacam pendapa yang mungkin memang terkait dengan upacara adatnya.
Dari
Pura Sagara, kami berpindah ke Masjid Jami Al Alam Cilincing. Seperti yang
sudah disebutkan di atas, masjid ini adalah masid bersejarah karena sudah
sangat lama dibangun. Umurnya kira-kira 400 tahun. Kebetulan sekali kami mampir
ke mari, karena yang hendak sholat bisa beribadah dan yang mau istirahat saja
bisa duduk-duduk sambil melihat-lihat bagian dalam masjid. Masjid ini bagian
luarnya sudah dibangun dengan tembok sehingga hampir sama dengan masjid lainnya.
Perbedaan yang mencolok hanyalah atapnya yang berbentuk limasan. Tapi yang
menarik adalah bagian dalamnya yang masih pakai kayu. Konon bagian dalamnya
inilah bangunan masjid yang aslinya. Berada di dalam bangunan kayu membuat siang
hari di Jakarta Utara terasa lebih adem.
Salah satu masjid tertua di Jakarta. |
Oh ya, Masjid
Jami Al Alam terletak di dekat Pelabuhan Cilincing. Pelabuhan yang dimaksud
adalah pelabuhan nelayan tradisional dengan deretan kapal-kapal kayunya yang
berwarna-warni. Kalau daerah pelabuhan di dekat kampung nelayan yang tadi saya
sebutkan adalah daerah industrial, tempat kapal-kapal yang berukuran sedang.
Dari
masjid kami bergerak menuju ke Vihara Lalitavistara. Vihara ini adalah
kelenteng tertua di area Batavia, yang didirikan di sekitar abad ke-16. Vihara
yang masih aktif ini sebenarnya masih satu kompleks dengan Sekolah Tinggi Agama
Buddha “Maha Prajna”. Tapi saya tidak melihat kompleks sekolahnya ya, saya
langsung saja masuk ke dalam vihara.
Tempat ibadah
Vihara Lalitavistara dipenuhi oleh altar untuk dewa-dewa yang berbeda-beda. Karena
saat saya datang itu baru sebulan setelah Imlek, lilin-lilin merah raksasa dan banyak
dupa gantung memenuhi ruang doa. Nampaknya juga ada persiapan upacara karena
ruangan juga dipenuhi dengan kuda-kudaan kertas yang tingginya hampir satu
meter dan juga kapan-kapalan kertas yang cukup besar. Semakin penuhlah ruangan
yang juga dipenuhi asap ini.
Salah satu bagian dari vihara. |
Pagoda tujuh tingkat, dilihat dari Resto Babe Seafood. |
Di
sebelah vihara, ada tempat penyimpanan abu jenazah juga. Satu kompleks dengan
tempat penyimpanan abu, ada sebuah pagoda yang terdiri dari tujuh tingkat.
Pagoda tua ini adalah satu-satunya pagoda di sekitaran Cilincing. Karena cukup
tinggi, bangunan ini juga cukup mudah dilihat. Dulu orang bisa masuk ke dalam
pagoda. Akan tetapi, karena bangunan semakin lama semakin miring, maka bangunan
ini ditutup untuk umum.
Dari
vihara, kami lanjut makan siang yang terlambat di Resto Babe Seafood. Letak restoran
ini cukup dekat dengan vihara, jadi tidak membuat perut keroncongan lebih lama
lagi. Bangunan restoran ini terdiri dari tiga tingkat, dan tingkat paling
atasnya terbuka. Dari sini kita bisa melihat pemandangan di sekitar Cilincing.
Lumayan untuk foto-foto dengan latar belakang kampung nelayan.
Waktu
kami sedang makan, hujan turun dengan derasnya. Beberapa anggota tour yang
berminat balik ke pura untuk melihat kegiatan Melasti pun membatalkan niatnya.
Kabarnya, biasanya upacara Melasti dilakukan berdekatan dengan waktu matahari
tenggelam, namun mungkin karena hujan, di hari kami bertandang ke Cilincing,
upacara sudah selesai sekitar jam empat sore.
Persiapan Upacara Melasti di Pura Sagara di siang hari. |
Makan-makan
bersama ini mengakhiri kegiatan kami wisata di daerah Cilincing. Buat yang
berminat ke Cilincing dan pakai tour, bisa menghubungi Jakarta Good Guide.
Kontaknya bisa cari di Internet ya. Buat yang mau jalan-jalan sendiri, ya
hati-hati saja. Jakarta Good Guide memang sepertinya punya kerjasama dengan
pemerintah setempat untuk mengembangkan wisata di daerah sini, jadi tak heran
mereka bisa membawa kami mondar-mandir di kampung nelayan. Kalau disuruh
jalan-jalan sendiri, saya mungkin juga mikir-mikir. Mana jalan kampungnya
muter-muter, bisa-bisa malah nyasar. Hehehe ...
(Selesai.)
Menarik sangat wisata budaya Cilincing. Banyak cerita sejarah dan budaya. Aku belum pernah ke sana. Satu kali pengen banget deh
BalasHapusDan ternyata ada banyak tempat bersejarah di sini. Nggak nyangka juga sih.
HapusIni disatu tempat yg sama? Ada 3 tempat ibadah?
BalasHapusDiluar itu, saya agak merinding saat masuk pembahasan"pembakaran mayat" hehe
Bukan di gedung yang sama, ya. Letak ketiga tempat ibadah ini berdekatan. Jarak ke masing-masing tempat hanya jalan kaki 5 menit.
HapusLengkap ya di cilincing,, dekat juga dari priuk
BalasHapusIya, dekat. Makanya di Cilincing ada SMK yang bidangnya adalah Kelautan/Pelayaran, yang mana lulusannya tentunya bisa kerja di, antara lain, Tanjung Priuk.
HapusSalut dengan toleransi beragama disana.
BalasHapusLokasi ketiganya berdekatan dan saling menghormati 👍
Itu sayang ya pagodanya kok mulai miring bangunannya ya,kak.
Semoga cepat di renovasi.
Iya ... pagodanya mulai miring. Makanya sudah tidak boleh dimasuki lagi. Tapi jadinya seperti punya Menara Pisa sendiri, spesial Jakarta Utara. Hehehe...
HapusHehehe .. iya bener .. kayak menara Pisa jadinya.
HapusSemestinya ada tehnik penyangga seperti yang dilakukan di menara Pisa sana ya .. bangunan dibiarkan tetap miring,tapi ngga rubuh.
wow clincing salah satu lokasi yg bisa dicontoh dimana semua agama bisa hidup berdampingan beratus2 tahun yg lalu. menarik !!
BalasHapusTepat sekali!
HapusBatu tau deh aku di Cilincing itu ada tempat beribadah dan resto enak. Ternyata daerah tersebut termasuk wilayah perindustrian ya. Kapal2 nelayan bewarna-warni menghiasi sepanjang pantai. Bisa jadi kapan2 aku kunjungi soalnya penasaran ada apa lagi ya di sana hehehe tq infonya :)
BalasHapusSip, Mbak. Cilincing adalah salah satu area hunian tertua di Jakarta. Jadi nggak heran ada banyak tempat bersejarahnya.
HapusMelasti. Sepertinya substansinya sama dengan kata Dzikir dalam Islam.
BalasHapusKeberadaan tempat ibadah dengan varian cara ibadah dan konsistensi hidup berdampingan, semakin meyakinkan saya bahwa betapa damainya Indonesia.
Warisan agung ini, tentu harus tetap kita jaga.
Mba Dyah, terima kasih sudah menyajikan referensi tempat yang menakjubkan Cilincing. Meski saya jauh dari sana, tetapi semangatnya harus saya tularkan di desa saya.
Dan yang pasti, semoga suatu saat saya dapat ke sana.
Iya... pada dasarnya semua agama mengajarkan perdamaian. Hidup berdampingan antar agama kan sebetulnya bagian dari budaya Indonesia sejak jaman dahulu.
HapusBetul kata kak Dyah.
HapusHidup berdampingan antar agama adalah budaya Indonesia dan hal itu harus terus dijaga.
Tetap rukun hidup antar umat beragama & jangan mudah dihasut 👍
wisata memang menarik untuk di lawati..
BalasHapusmoga saya rezeki untuk jalan-jalan
Mari kita saling mendoakan supaya masing-masing dapat rejeki untuk jalan-jalan, Mas.
HapusIndonesia beragama budaya dan agamanya, keren aja hehe
BalasHapusBetul!
Hapussering denger namanya, sering juga lewat-lewat doang, tapi belum pernah sengaja berkunjung ke cilincing
BalasHapusNah... berarti sekarang punya alasan untuk mampir ke Cilincing.
HapusPas baca kata Cilincing pun ingatan saya langsung ttg rumah kremasi, karena dulu murid2 saya banyak yang Chinese. Keren mba, jadi banyak paham ttg wisata sejarah kayak gini.
BalasHapusIya, Mbak. Ada banyak tempat wisata budaya di Jakarta. Cilincing ini salah satunya.
HapusSalut sama persatuan dalam perbedaan di cilincing.. Kapan2 kalau ke Jakarta lagi pengen deh tour bareng Jakarta Good Guide..
BalasHapus-Traveler Paruh Waktu
Jakarta Good Guide ternyata punya banyak program. Saya juga mau ikut lagi tuh, kalau ada.
HapusKita Bineka Kita Indonesia, wah jauh tertinggal saya, orang Jakarta Utara tapi tidak familiar dengan tempat-tempat seperti ini. #kagum dengan jiwa petualangannya. salam hangat selalu
BalasHapusSalam juga, Pak! Kadang kita melihat jauh ke tempat wisata lain tanpa sadar kalau di dekat kita ternyata menarik. Saya juga sering begitu, kok. Makanya terus sering tengok kiri-kanan siapa tahu ada tempat wisata yang sebetulnya dekat tapi nggak nyadar ...
HapusCilincing...sesuatu deh. Keunikan Cilincing adalah saat truk-truk kontainer pada keluar kandang, ya ampyun macet dimana-mana....
BalasHapusItu bukti pentingnya Cilincing bagi perekonomian ibu kota. Kalau soal macet, memang Jakarta rajanya ...
Hapus