Dulu, waktu saya
baru saja lulus kuliah, yang namanya pergi keluar rumah adalah untuk janjian
dengan teman-teman. Setelah kelompok jalan-jalan di Kota Tua booming, saya jadi sering ikut berbagai
kegiatan jalan-jalan di sekitaran Kota. Sampai-sampai saya pernah bosan banget
dengan daerah Kota. Nah, ada juga masanya di mana saya memilih untuk ikut
kegiatan yang tujuan utamanya tidak jalan-jalan, namun bisa membawa saya untuk
berada di tempat-tempat (baik itu museum, rumah orang, atau cafe) yang
sebelumnya tidak pernah saya datangi.
Bahasa isyarat, yang menggunakan gerakan untuk menyampaikan konsep atau ide. |
Nah, beberapa
hari yang lalu, saya juga ikutan pertemuan sebuah kelompok yang dinamai Polyglot
Indonesia, chapter Jakarta. Saya cukup tertarik dengan kelompok ini karena saya
suka belajar bahasa, dan juga karena pertemuannya selalu diselengarakan di
tempat yang berbeda-beda. Pernah di cafe, restauran, dan pernah juga di co-working space. Pertemuan minggu lalu,
di sebuah cafe di Gedung BTPN Mega Kuningan, ternyata membahas tentang bahasa
isyarat. Jadinya itu adalah untuk kedua kalinya saya bertemu dengan Bisindo.
Bisindo, atau
kepanjangannya adalah Bahasa Isyarat Indonesia, adalah bahasa isyarat yang
digunakan oleh kaum tuna rungu di Indonesia. Selain Bisindo, ada juga SIBI
(Sistem Bahasa Isyarat Indonesia), yang diajarkan kepada siswa-siswa tuna rungu
di sekolah. Namun saat ini semakin banyak kelompok pendukung tuna rungu yang
mendorong perkembangan Bisindo, karena menurut mereka SIBI tidak terlalu
membantu kaum tuna rungu dalam memahami informasi yang disampaikan kepada
mereka.
Saya tidak akan
banyak membahas tentang sejarah ataupun konsep-konsep dalam Bisindo yang saya pelajari.
Saya lebih ingin membahas tentang pengalaman pribadi saya waktu mempelajari
bahasa isyarat ini.
Saya bahkan masih menyimpan buku pelajarannya, lho! |
Menemukan (dan
lalu) memahami lelucon dalam Bisindo, untuk saya, rasanya menyenangkan. Sama
seperti waktu saya ternyata bisa tahu lucunya omongan seorang artis waktu menonton acara
gosip di TV5Monde. Dan tiba-tiba tahu arti beberapa gerakan waktu melihat para
guru Bisindo membahas sesuatu, sama mengejutkannya seperti dulu, ketika saya
sudah beberapa tahun kursus bahasa Jepang, tiba-tiba sadar bahwa saya tahu arti
dari refrain lagu Truth-nya Arashi (sebuah boyband Jepang). Padahal waktu itu
baru mendengarkan lagunya dua-tiga kali. Seperti menemukan dunia yang baru.
(Yang sampai sekarang belum lancar, adalah membaca postingannya Sergey Lasarev
di Instagram. Mungkin karena mata saya sering siwer waktu baca huruf-huruf
cyrillic itu.)
Dulu, waktu saya
pertama kali ikut kursus Bisindo, para guru dan rekan di kelas menunjukkan muka
heran, ketika saya berkata bahwa saya belajar Bisindo karena saya senang
berlajar bahasa. Mayoritas orang saat itu ikut kursus Bisindo karena ingin
membantu keluarga/teman/tetangga/kenalan yang tuna rungu. Waktu itu pun, saya
juga merasa aneh sendiri karena kok, kesannya egois sekali, belajar bahasa
hanya karena suka – bukan untuk melayani sesama. Tapi waktu ikutan pertemuan di
Polyglot Indonesia minggu lalu, hehehe ... baru nyadar, ternyata mempelajari
bahasa hanya karena penasaran adalah hal yang umum. Temannya banyak.
Belajar bahasa isyarat sama seperti belajar bahasa asing. |
Untuk pengguna
bahasa isyarat, raut muka sama seperti intonasi pada bahasa biasa. Gerakan yang
sama, dengan wajah senyum atau raut muka sedih, artinya bisa jauh banget. Sama
seperti kalau kita bertanya, “Kamu marah?” Kalau nadanya meningkat dengan tajam
di kata “marah”, atau nadanya menurun di suku kata “rah”, atau ketika suku kata
“rah” diucapkan dengan nada menurun lalu naik dengan lambat, maknanya agak berbeda kan.
(Monggo, dicoba ...)
Nah, gerakan
tangan dan badan lainnya sama seperti kosa kata yang kita gunakan sehari-hari.
Teman-teman yang belajar bahasa Italia mungkin sudah terbiasa dengan pemahaman
bahwa gerakan tangan adalah bagian dari kosa kata. (Ngebayangin sedang bilang,
“Perfetto!” sambil menggerak tangan kanan dari kiri ke kanan, dengan jari-jari
yang membentuk kode OK.) Bahasa Indonesia juga punya beberapa gerakan sebagai
bagian dari kosa kata, namun penggunaannya sangat informal. Contohnya adalah
“tepok jidat”. Semua orang Indonesia pasti tahu maksudnya, misalnya, ketika di
tengah pembicaraan tiba-tiba ada salah satu orang yang “tepok jidat”.
Nah, kalau di
dalam bahasa isyarat, seluruh kosa katanya adalah gerakan tangan dan tubuh.
Selain tepok jidat (Iya, gerakan ini ada artinya di Bisindo!), ada menggoyang
telapak tangan di depan dada, ada menggerakkan tangan di atas kepala, telapak
tangan menghadap ke atas, ke bawah, dan lain-lain. Semuanya adalah bagian kosa
kata yang digunakan sehari-hari. Susah dong belajarnya? Ya kalau mau bisa, ya
sama seperti kalau kita mau belajar bahasa asing. Harus mulai menghafalkan kosa
katanya. Seperti kalau mulai belajar bahasa Inggris: harus tahu bedanya good afternoon, good evening, dan good night.
Belajar dari yang paling dasar: abjad. |
(Selesai.)
Catatan: Semua
yang saya tulis di sini adalah pendapat pribadi. Saya sendiri bukan ahli bahasa
dan tidak punya latar belakang pekerjaan ataupun pendidikan di bidang bahasa. Kalau
ada kesalahan konsep atau representasi, mohon diinformasikan.
Benar mbak, waktu saya missa (ibadah) hari Minggu di Katedral Jakarta, entah bulan berapa saya lupa. Jujur saya kagum dengan saudara-saudari yang komunikasinya via isyarat. Saya kagum karena mereka saling memahami. Jujur yang ambil bagian dalam komunitas ini adalah pelayanan dan relawan yang tangguh. Salut dan kagum dengan pengalamannya. Walau hanya sejenak namun memberi pengalaman baru. Nice post mbak. Salam hangat selalu
BalasHapusTerima kasih telah berkunjung, ya. Memang relawan untuk saudara-saudara yang berkebutuhan khusus adalah orang yang luar biasa. Tidak cuma belajar bahasa, mereka juga harus memahami perasaan saudara-saudara itu. Pengorbanan yang luar biasa.
HapusSiang mba..salam kenal gimana cara daftar untuk bahasa isyarat mba...makasih
BalasHapusWah, saya sudah tidak belajar lagi. Harus cari di internet tuh. Maaf ya...
Hapus