Setelah dirancang dari dua tahun yang lalu, disertai
dengan banyak browsing tempat-tempat wisata, menabung, dan juga menghitung
cuti, akhirnya tahun ini saya dan teman-teman bisa jalan-jalan ke Perancis.
Jujur saja, ini adalah perjalanan yang paling jauh yang pernah saya jalani
sampai saat ini. Harapannya sih, tahun-tahun berikutnya masih ada yang lebih
jauh lagi. Hehehe ...
Sebetulnya, dulunya, saya dan teman-teman alumni
CCF Indonesia (Centre Culturel Français d’Indonésie), yang sekarang namanya
sudah berubah jadi IFI (Institut Français d’Indonésie), punya rencana untuk
ramai-ramai berwisata ke Perancis. Kan sudah kursus bahasa Perancis selama
sekitar empat tahun lebih, masa tidak pernah berkunjung ke negaranya. Cuma, berhubung
keterbatasan gaji dan cuti, rencana ini selalu tertunda. Apa boleh buat, baru
bertahun-tahun kemudian, tepatnya dua tahun yang lalu, kami mulai mengatur
rencana untuk berangkat ke Perancis. Karena berbagai hal, akhirnya dari empat
orang, cuma dua yang berangkat. Plus, kami ketambahan satu orang pecinta seni
yang dulunya malahan belajar bahasa Italia. Jadinya kami bertigalah yang
berangkat ke Perancis.
Demi melihat langsung Menara Eiffel! |
Berdasarkan perhitungan biaya dan waktu, kami
memutuskan untuk menjelajahi kota Paris dan satu daerah yang tidak terlalu
luas. Setelah memilih-milih antara daerah Normandy, sekitaran Alsace, dan
pantai-pantai di Perancis selatan, akhirnya diputuskan untuk berkunjung ke
daerah Alsace. Alasannya, jaraknya tidak terlalu jauh dari Paris, jadi biaya
transportasi bisa ditekan. Selain itu, di sini ada banyak lokasi wisata yang
cantik-cantik.
Karena kami bertiga, maka saat melakukan pemesanan
hotel, yang dicari adalah kamar untuk tiga orang. Sengaja kami tidak mau
mencari kamar untuk dua orang plus extrabed, supaya semua orang bisa istirahat
dengan nyaman. Semua hotel dipesan secara online, dan baru dibayar di tempat.
(Kecuali satu, yang otomatis memotong kartu kredit seminggu sebelum check in.)
Itinerary kami bongkar pasang dari awal tahun
sampai sekitar dua minggu sebelum berangkat. Tadinya tidak mau mampir ke
Strasbourg, jadi dari Paris langsung ke Colmar. Terus pas mau mengajukan visa,
Strasbourg dan Kehl di tambahkan, kunjungan ke Colmar dipersingkat. Setelah
visa didapat, kunjungan ke Colmar diperpanjang lagi, dan masa tinggal di Paris
dikurangi. Jadinya hotel-hotel kami sebetulnya baru dibooking satu bulan
sebelum berangkat.
Andalan untuk jalan-jalan antar kota di Perancis: TGV. |
Untuk transportasi antar kota, kami mengandalkan
TGV, jaringan kereta cepat di Perancis. Semua tiket dibeli secara online dari
Indonesia. Selain agar harganya lebih murah, juga untuk membuat kami lebih
tenang karena pasti dapat tiket. (Sebetulnya, beli tiket kereta di tempat juga
bisa, tapi mencari petugas stasiun yang bisa bahasa Inggris dengan cukup baik
itu ternyata PR besar buat turis.) Oh ya, beli tiket TGV lebih deg-degan
dibandingkan booking hotel. Soalnya, tiket promo TGV cepat habis. Waktu kami
baru mau mengajukan visa, tiket TGV dari Paris ke Strasbourg yang jam 10-an
masih ada harga diskonnya. Pas visa sudah ditangan, yang ada harga diskonnya di
hari yang sama, tinggal yang jam 8-an. Terpaksa siap-siap berangkat pagi di
hari itu.
Khusus untuk tiket pesawat, kami sudah cari-cari
info dari setahun sebelumnya. Pada dasarnya, tiket pesawat ke Eropa tidak
terlalu fluktuatif seperti tiket pesawat domestik. Artinya, beli setahun
sebelumnya dan dua bulan sebelumnya, harganya sama saja. Kecuali ada promo,
biasanya harga tiket tidak akan berubah. Jadi kami tidak buru-buru membeli
tiket pesawat. Karena pekerjaan kami semua terkait dengan deadline kantor masing-masing (tanggal gajian, tanggal tutup buku,
tanggal proyek berakhir), jadinya kami nggak mungkin mengejar promo gila yang
memungkinkan pergi ke Eropa PP dengan tiket lima jutaan ya. Biasanya tanggalnya
tiket murah nggak cocok dengan primbon ...eh, jadwal kantor. Tanggal sudah
relatif fixed, jadi tinggal tunggu,
tiket yang paling murah di hari itu maskapai apa.
Saat mengajukan visa, kami juga hanya menggunakan
bukti booking tiket pesawat Qatar Airlines saja. (Saat itu, kita memang lebih
berharap pakai Qatar Airlines karena jadwalnya pas: berangkat jam 00:20 dari
Jakarta, sampai di Paris jam 13:35, jadi di hari yang sama kami sudah bisa
menuju ke tempat wisata di daerah Paris. Dummy ticketnya dapat dari mana?
Untung saja, salah satu teman saya punya langganan travel agent yang mau
membantu. Lumayan, dummy ticket gratis nggak pakai ribet.
Untung-untungan untuk dapat tiket pesawat yang (cukup) murah. |
Tiket betul-betul baru dibeli setelah visa keluar.
Terus, sekitar sebulan sebelum berangkat, ada promo tiket Qatar Airlines. Diskonnya
lumayan besar, maka kami sudah nggak pakai mikir lagi. Jadinya, tiket yang kami
beli sama dengan bukti booking yang dipakai untuk mengajukan visa Schengen.
Baguslah, paling tidak untuk urusan tiket pulang pergi sudah dipastikan tidak
akan ada masalah di pihak imigrasi bandara.
Oh ya, kami mengajukan visa sendiri. Tidak lewat jasa
pihak ketiga. Jadi, kami mendaftar secara online di websitenya TLS (agen resmi
pengurusan visa Schengen Perancis dan visa Schengen Swiss di Indonesia), dan di
hari yang sudah ditentukan, kami ke kantor TLS di Mega Kuningan, Jakarta, untuk
interview, pengambilan data biometris, dan menyerahkan dokumen. Saran saya
kalau mau mengurus visa Perancis: tidak usah pakai jasa pihak ketiga, soalnya
gampang banget. Lagian, pakai agen atau tidak pakai agen, kita tetap harus
datang langsung ke TLS dan antre. Kalau mau pakai agen, sebaiknya untuk
pengurusan visa yang bisa diwakilkan oleh si agen – jadi uang yang kita
bayarkan adalah untuk membayar jasa si agen untuk antre visa. Kan lumayan nggak
perlu cuti. Kalau kita tetap harus datang sendiri, mendingan mengurus sendiri
saja.
Visa kami jadi dalam seminggu. Tapi, sayangnya
tidak ada email yang memberitahukan kalau visanya sudah jadi. Jadi, seharusnya
kan kalau paspor sudah kembali dari Kedutaan Perancis ke TLS, akan ada email
yang menginformasikan bahwa paspor bisa diambil. Tapi sampai dua minggu setelah
penyerahan dokumen, nggak ada kabar apapun. Salah satu teman yang penasaran,
langsung menelepon TLS dan mendapatkan informasi bahwa paspor kami sudah balik seminggu
setelah penyerahan dokumen. Wow, lumayan cepat juga. Rupanya jangan banyak
berharap dengan email. Kalau urus visa ke TLS, harus rajin-rajin lihat status
aplikasi di websitenya TLS.
Begitu visa di tangan, langsung siap-siap untuk jalan-jalan di Paris. |
Itinerary kami tidak terlalu padat. Ini jadwalnya:
Hari 1: Berangkat dari Jakarta, Transit Doha, Tiba di Paris
Hari 2: Berangkat ke Strasbourg, menginap di Strasbourg
Hari 3: Berkunjung ke Kehl, Jerman
Hari 4: Berangkat ke Colmar, mampir di Selestat, menginap di Colmar
Hari 5: Keliling Colmar
Hari 6: Berkunjung ke Eguisheim
Hari 7: Berangkat ke Paris, menginap di Paris
Hari 8: Berkunjung ke Versailles
Hari 9: Keliling Paris
Hari 10: Berangkat dari Paris
Hari 11: Transit Doha; Tiba di Jakarta
Waktu berangkat ke Paris, kami masih bisa
jalan-jalan di hari yang sama. Waktu pulangnya, berangkat dari Paris jam 4
sore, sampai Jakarta di hari berikutnya jam 4 sore juga. Maklum, kalau waktu
berangkat kami bergerak ke arah barat (melawan arah rotasi bumi), waktu pulang
kami bergerak ke timur (sesuai dengan arah rotasi). Jadi perjalanan pulang
terasa lama banget.
Oh ya, selama empat bulan sebelum berangkat, kami
cukup intens untuk kumpul bareng dan menyusun itinerary. Bisa dikatakan dua
minggu sekali ketemuan. Terus, setelah dapat visa (sekitar dua bulan sebelum
berangkat), hampir setiap minggu kami ketemuan. Yang beginian saja, jadwal di Perancis
bisa berubah-ubah sesuai keadaan. Terus, kadang masih ada saling sebel satu
sama lain karena ketidakcocokan. Namanya juga perjalanan jauh yang juga bikin
capek. Tapi dengan penyusunan itinerary yang relatif detil, sebetulnya hampir
semua perubahan jadwal di hari H bisa ditangani dengan baik.
Browsing tentang tempat makan dan toko juga penting, lho! |
Selain mengatur hotel dan perjalanan, kami juga
sudah browsing-browsing mengenai tempat-tempat makan di kota-kota tujuan kami.
Lumayan juga, karena jadinya ada waktu-waktu dimana jadwal kami tepat dan
tempat makan kami pasti buka. Salah satu alasan kenapa harus browsing tempat
makan dulu adalah: (1) Harus bisa memperkirakan harga makanan, karena kebetulan
banyak restoran dan toko di tempat-tempat wisata di Perancis yang punya website
dan menginformasikan menu serta harganya; (2) Harus yakin restorannya buka,
soalnya restoran di desa-desa di Perancis pasti libur minimal sehari dalam
seminggu; (3) Kebanyakan restoran dan toko di desa-desa Perancis tutup cepat (atau
bahkan tidak buka sama sekali) di hari Minggu. Paling tidak, kami tidak terlalu
kaget ketika pulang dari Selestat, tiba di Colmar malam-malam, kelaparan, dan
menemukan hanya ada satu rumah makan yang buka – karena itu kebetulan Minggu
malam.
Selain soal makanan, kami juga browsing soal baju
yang bisa dipakai. Kalau browsing soal baju, kebanyakan website milik warga
Amerika menginformasikan bahwa baju yang umum di pakai warga Paris adalah warna
hitam atau gelap. Nggak salah sih, tapi sebetulnya banyak juga yang pakai warna
terang seperti kuning atau putih. Jadi nggak masalah. Sebetulnya, yang lebih
layak dicari adalah jenis baju apa yang perlu dipakai di negara tujuan di bulan
kedatangan. Karena kebetulan kami jalan-jalan di Perancis di pertengahan bulan
September, jadi cuacanya cepat berubah-ubah. Sering hujan dan suhunya bisa
berubah dari panas ke dingin dengan cepat.
Saya sih cuma pakai kaos biasa dan trench coat berbahan dasar katun dan
lycra (dengan hood). Kebetulan memang
sudah punya dari dulu. Walau buluk, tapi tetap berguna. Jadi nggak beli-beli
lagi. Selama hujannya nggak deras, trench
coat saya masih bisa melindungi saya dari air. Kalau ada angin kencang, saya
juga terlindungi dari angin. Saran saya, kalau mau beli jaket atau trench coat buat jalan-jalan, mendingan
pilih yang pakai hood atau penutup
kepala. Soalnya, kalau pas lagi musim hujan, paling tidak kita masih bisa
lari-lari di tengah gerimis. Pakai trench
coat lebih enak sih, soalnya lebih panjang dari pada jaket.
Biar nggak nyasar, semuanya dipersiapkan di muka. |
Karena takut nyasar, kami juga menyewa Travel Wifi
selama perjalanan ke Perancis. Kali ini, saya sewa dari Indonesia. Lumayan lho,
paling tidak kami bisa browsing-browsing dan lihat GoogleMaps di jalan.
Walaupun bawa peta kertas yang diambil dari kantor Informasi Turisme, paling
tidak kami lebih percaya diri sepanjang jalan.
Mungkin ada yang mikir, buat jalan-jalan sepuluh
hari saja kok capek banget persiapannya? Yah, maklumlah, soalnya kan ada tiga
kepala, jadi ada tiga pemikiran. Terus, sayang kalau waktunya terbuang percuma,
soalnya tiket pesawatnya mahal. Nah, setelah bolak-balik mengatur jadwal,
menghitung pengeluaran, browsing-browsing tempat-tempat wisata, mencari tahu
tentang toko, rumah makan, dan pusat turisme di masing-masing kota, kami pun
merasa yakin untuk berangkat.
Di artikel-artikel selanjutnya, saya akan
menuliskan tentang perjalanan saya ke tempat-tempat wisata di Perancis,
tepatnya di Paris dan di sekitaran Alsace. Sampai jumpa!
mantap referensinya.. siapa tau kalo ada rejeki bisa kesana, udah ada persiapan sebelumnya..
BalasHapusSiip!! Yang penting sudah merancang dulu. Duit bisa datang belakangan, misalnya dengan menabung dari sekarang atau usaha sambilan. :D
HapusWah kapan ya ane bisa juga keluar negri. Wkwk
BalasHapusBisa, lah ...
Hapusshare estimasi biaya juga dong :)
BalasHapusWah... ini nih yang susah ...
Hapus