Selamat ulang tahun Jakarta! Walau sehari terlambat
mengucapkan, tetap saja Jakarta layak mendapatkan ucapan selamat. Tidak perlu
dibahas mengenai tepat tidaknya mengucapkan selamat ulang tahun Jakarta di
tanggal 22 Juni. Juga tidak perlu dibahas mengenai apa masih perlu dirayakan.
Yang jelas, di waktu di mana orang-orang sudah mulai bergerak meninggalkan kota
Jakarta karena mudik Lebaran, saya hendak mengenang kembali suka duka naik
kendaraan umum di Jakarta dari belasan tahun silam.
Yak, mengenali perkembangan suatu kota tidak hanya
dilihat dari penambahan (atau hilangnya) gedung dan penambahan jalan layang dan
underpass, namun juga perkembangan transportasi massal yang ada. Sebagai
perantau yang sudah 20 tahun tinggal di Jakarta, saya ingin mengenang kembali
perkembangan transportasi publik yang saya gunakan di Jakarta ini.
Tiket KRL. Tanggal 14 September 2000, Stasiun UI - Gambir Rp 1.000,-. |
Sebelum disebut sebagai Commuter Line, orang
menyebut kereta dengan KRL atau Kereta Rel Listrik. Nah, dulu tuh, tiket kereta
bentuknya seperti kartu domino. Warnanya putih, dan di situ tertulis relasi
yang diperbolehkan. Kalau kita beli tiket dan turun di tempat yang lebih jauh
dari relasi yang diperbolehkan, akan dikenakan denda. Akan tetapi, karena
umumnya penjagaan di stasiun kurang ketat, ya selalu ada yang bisa lolos. Nah,
dahulu kala, jika kita turun kereta dan akan meninggalkan stasiun, di pintu
stasiun ada penjaga yang mengambil tiket dan memeriksanya. Karena di jam-jam
sibuk yang lewat banyak sekali, kadang-kadang si petugas nggak sempat lagi
memeriksa semua tiket. Bahkan, sering kali saya lewat tanpa bisa menyerahkan
tiket ke petugas karena ada banyak orang yang menghalangi.
Oh ya, seingat saya, di beberapa stasiun bahkan
selalu ada jalan belakang dimana orang bisa keluar masuk dengan mudah. Jadi,
orang juga bisa bebas merdeka naik kereta bahkan tanpa bayar tiket sama sekali.
Jadi, jangan heran kalau saat dirazia ada banyak sekali yang tidak punya tiket.
Oh ya, di awal tahun 2000-an, sangat umum melihat orang lompat ke atap gerbong
untuk naik kereta. Dulu sekali, kereta saya pernah berhenti cukup lama karena
tiba-tiba gerimis dan ada orang yang kena listrik lalu gosong di atas gerbong.
Menyeramkan!
Mau naik Kelas Ekonomi, Depok Ekspres AC, atau Pakuan Ekspres? |
Nah, di sekitar tahun 2003, bentuk tiket berganti
menjadi lebih tipis. Bentuknya sih lebih bagus. Tapi dengan pola penanganan
tiket yang sama, kasus orang naik kereta lebih jauh dari relasinya atau tidak
pakai tiket, ya tetap ada. Tapi seingat saya di tahun-tahun ini, orang-orang
yang naik ke atap gerbong sudah mulai ditangkap-tangkapi. Kalau tidak salah
ingat, kereta tidak akan berangkat kalau masih ketahuan ada orang di atas gerbong.
Untuk selanjutnya, penumpang dilarang keras naik ke atas atap gerbong.
Dibandingkan jaman sekarang, harga tiket kereta di
sekitar tahun 2003 sampai 2010-an cukup bervariasi. Ada kereta Ekonomi, ada
kereta Ekspres. Kereta Ekonomi berhenti di semua stasiun, sedang kereta
Ekspress hanya berhenti di stasiun tertentu. Pakuan Ekspres adalah kereta
paling elit di masanya, dan harganya lumayan mahal, Rp 11.000,-. Saya mengenal
Depok Ekspres dan Pakuan Ekspres. Seingat saya, dulu ada juga Tangerang Ekspres
dan Bekasi Ekspres. Tapi, saya tidak pernah naik kedua kereta itu karena bukan
jalurnya. Kebetulan dulu saya tinggal di sekitaran Depok, jadi kemana-mana naik
kereta.
Jaman dulu tuh ya, kalau naik kereta ekonomi
apalagi di jam pulang kantor, harus tahan mental dan tahan hidung. Sudah kereta
penuh sesak, bau keringat, nggak pakai AC pula. Kalau kereta berhenti terlalu
lama di tengah jalan karena gangguan sinyal atau memberi jalan untuk kereta
luar kota lewat ... sudahlah. Naik kereta AC, ekspres pula, jauh membantu untuk
menjaga kesehatan rohani. Oleh sebab itu, kereta Pakuan yang sekali jalan
sebelas ribu pun juga laris manis untuk para pekerja kantoran yang butuh pulang
cepat.
Kartu Multi Trip yang sebentar lagi sudah tidak berlaku lagi. |
Nah, setelah saya pindah untuk tinggal di
sekitaran Jakarta Pusat, saya sudah sangat jarang naik kereta. Sekalinya mau
naik kereta, ternyata sudah pakai sistem tiket elektronik. Supaya tidak terlalu
merepotkan, saya jadinya membeli tiket Kartu Multi Trip yang cukup diisi seperlunya.
Jadi tidak perlu antre beli Tiket Harian setiap mau naik kereta. Nah, tiket
yang di gambar ini pun juga sebentar lagi sudah tidak berlaku karena akan
digantikan dengan kartu chip FeliCa. Kartu yang baru belum saya beli, soalnya
belum perlu naik kereta lagi. Lagi pula, saya juga punya kartu elektronik dari
bank yang bisa dipakai di mana-mana, termasuk untuk naik Commuter Line.
Saat saya sudah tinggal di Jakarta Pusat, saya
lebih sering naik bus Transjakarta kemana-mana. Kebetulan, dari kos ke kantor
cukup naik bus sekali di sekitaran Sudirman. Jadi, dari awal ada bus
Transkajarta jalur Blok M – Kota di tahun 2004, saya sudah naik Transjakarta walau
tidak setiap hari. Cuma sesekali saja naik kereta kalau ada perlu di sekitaran
Depok.
Oh ya, pertama kali Transjakarta dioperasikan,
harga tiket bus Transjakarta Rp 3.500,- dianggap mahal. Soalnya, waktu itu
harga naik Kopaja dan Metromini masih Rp 3.000,-. Waktu harga Kopaja dan
Metromini naik jadi Rp 3.500,-, kemudahan naik turun di sembarang tempat juga
membuat saya lebih suka naik bus-bus ini. Waktu harga Kopaja dan Metromini naik
menjadi Rp 4.000,- sekali jalan, jumlah penumpang bus Transjakarta mendadak
menjadi lebih banyak.
Aneka tiket yang pernah digunakan untuk bus Transjakarta. |
Sampai tahun 2014, kalau naik bus Transjakarta,
kita harus antre beli tiket di loket. Loket ada di setiap halte busway. Di jam
berangkat kantor, antrenya bisa 15 menit sendiri. Sama seperti kalau sekarang
antre Tiket Harian Commuter Line. Makanya saya cenderung berangkat pagi karena
antre tiket lama, antre naik bus lama (karena busnya masih sedikit), kalau
kesiangan busnya penuh banget, dan busnya sendiri juga lama kalau di koridor
yang tidak steril.
Tiket naik Transjakarta jaman dulu bentuknya
selembar kertas tipis saja. Supaya waktu pulang kantor tidak antre beli tiket,
kadang kala di pagi hari saya langsung beli tiket dua lembar, satu langsung
dipakai dan satunya untuk waktu pulang ke rumah. Pernah saya pulang nebeng
teman, jadi tiket busway baru dipakai keesokan harinya ... dan sukses. Tapi itu
tidak berlangsung lama, karena kemudian tiket busway diberi cap tanggal. Jadi,
kalau tidak dipakai di hari yang sama, ya hangus. Tapi kadang mas-mas di gerbang
masuk suka kelewatan membaca cap tanggal atau mbak-mbak di loket lupa
membubuhkan cap tanggal. Jadi orang bisa menggunakan tiket di hari yang
berbeda. Maka kemudian secara periodik warna dan desain tiket diganti. Walau
punya tiket yang kelupaan dicap tanggal oleh mbak-mbak di loket, tapi pas
keesokan harinya sudah ganti warna tiket, maka tiket yang sudah terlanjut
dibeli ya hangus.
Ketika mulai ada koridor yang menggunakan kartu elektronik,
saya pun mencoba menggunakannya. Kartu yang pertama kali bisa digunakan adalah
JakCard dari Bank DKI. Waktu itu, uji coba pertama di Koridor 6, Ragunan–Dukuh Atas.
Saya, yang bukan nasabah Bank DKI, juga punya satu JakCard. Sayangnya kartu ini
gagal menjadi kartu pembayaran transportasi umum, mungkin kalah bersaing dengan
bank-bank besar, jadi kartu saya lalu hanya disimpan di dalam lemari.
Tiket Bus Kopaja AC sebelum terintegrasi dengan Transjakarta. |
Sampai tahun 2014, masih ada Kopaja AC yang bisa
masuk jalur busway dan mengambil penumpang di halte busway. Bus Kopaja AC juga
mengambil penumpang di jalan. Nah, untuk naik Kopaja AC, penumpang juga harus
bayar tiket (kalau naiknya dari halte). Kalau naik dari pinggir jalan, ya
langsung bayar saja ke keneknya. Waktu itu harga Kopaja AC cukup mahal, yaitu
Rp 6.000,- sekali jalan. Tapi jangan salah, sementara di pagi hari Kopaja yang
biasa cuma punya penumpang duduk, kenek Kopaja AC bisa menggantung di luar
pintu karena busnya penuh banget!
Mulai tahun 2014, pemerintah DKI Jakarta
menyediakan bus Transjakarta gratis yang berputar-putar di sekitaran Sudirman–Thamrin,
tapi lewat jalur lambat. Kalau naik bus gratis ini, maka penumpang akan
mendapatkan tiket Transjakarta yang bertuliskan gratis. Lumayan kalau kebetulan
dapat bus ini dan tujuannya juga tidak terlalu jauh. Tapi di jam-jam macet,
naik bus ini cukup menghabiskan waktu juga karena ikut kena macet.
Di tahun 2017 ini, dimana bus Transjakarta sudah
cukup sering, relasinya banyak, dan kalau mau masuk cukup menyentuhkan kartu
elektronik dari bank pilihan di mesin, naik bus Transjakarta sudah lebih
manusiawi dibandingkan dahulu. Sebagai pemilik kartu elektronik dari bank yang
bisa dipakai di Transjakarta maupun Commuter Line, saya sekarang sudah tidak
terlalu bermasalah dengan antre masuk ke dalam halte atau stasiun. Bahkan,
informasi tambahan biaya untuk topup kartu di loket busway juga bukan masalah
untuk saya karena saya bisa topup sendiri di ATM pilihan.
Dengan pembangunan yang sekarang sedang dikerjakan dimana-mana, apakah moda transportasi massa di Jakarta akan semakin baik atau tidak? Mari kita tunggu. Untuk sementara, apakah ada yang mau share pengalaman naik kendaraan umum di Jakarta dari masa ke masa?
Semoga Ibukota Negara Tercinta kita makin maju:)
BalasHapusSelamat Ulang Tahun Jakarta :D
Busway semoga lebih melebar sayapnya .
BalasHapusSemoga pelayanannya semakin baik. Amin.
Hapus