Penasaran dengan Museum Pasir Angin, minggu lalu
saya dan seorang teman mencoba mengunjungi museum ini. Museum Pasir Angin
adalah museum yang menyimpan barang-barang peninggalan prasejaran di daerah
Pasir Angin. Museum Pasir Angin terletak di Desa Cemplang, Kecamatan Cibungbulang,
Kabupaten Bogor.
Museum Pasir Angin. |
Sebetulnya, sudah beberapa kali saya mendengar
tentang Museum Pasir Angin ini, tapi baru sekarang ini saya berkesempatan berkunjung.
Memang kalau mau ke sini, harus bela-belain. Soalnya, tempatnya lumayan jauh
dari kota Bogor. Berhubung saya tinggal di Jakarta, maka saya harus ke Bogor
dulu naik Commuter Line. Dari Stasiun Bogor, saya harus ke Terminal Bubulak. Nantinya
masih harus nyambung satu angkot lagi untuk bisa sampai di Pasir Angin
Dari Stasiun Bogor, menurut informasi dari internet
yang sudah saya cari sebelumnya, saya harus naik angkot tujuan Bubulak. (Sembarang
angkot, yang penting ada tulisannya Bubulak.) Jangan salah pilih ya, untuk ambil
angkot yang menuju ke Bubulak, begitu keluar stasiun harus naik jembatan penyeberangan
dulu. Kalau tidak menyeberang jalan, bisa-bisa malah dapat angkot tujuan
sebaliknya (yang baru keluar dari Terminal Bubulak.)
Sesampainya saya tiba di terminal tujuan akhir,
saya tidak menemukan nama Bubulak, melainkan Terminal Laladon. Lha? Mana Terminal
Bubulaknya? Ternyata saudara-saudara, Terminal Bubulak dan Terminal Laladon
jaraknya hanya sekitar 1 kilometer saja. Terminal Bubulak milik Pemerintah Kota
Bogor sementara Terminal Laladon milik Pemerintah Kabupaten Bogor. Lha, terus
angkot-angkot jurusan Bubulak ini bagaimana? Ya suka-suka mereka ... ada angkot
yang berhenti di Terminal Laladon, ada yang berhenti di Terminal Bubulak, ada
juga yang ngetem di jembatan sungai Cisindangbarang (yang terletak di antara
kedua terminal ini). Angkot jurusan Bubulak yang saya naiki, cuma mau berhenti
di Terminal Laladon saja. Jadi kami turun di sini.
Papan petunjuk "Situs Museum Pasir Angin" di pinggir jalan. |
Dari Terminal Laladon, kami mencari angkot jurusan
Jasinga. Di terminal ini, semua angkot warnanya biru dan tidak memasang nomer
rute, jadi nggak usah terlalu memusingkan warna dan nomer angkot. Cukup bilang
ke sembarang preman atau sopir kalau kita mau ke Jasinga. Kami kemudian
digiring untuk naik angkot berwarna biru yang bertuliskan Bogor-Leuwiliang-Jasinga.
Tidak sampai 5 menit, angkot sudah penuh penumpang dan siap berangkat.
Perjalanan menuju ke Museum Pasir Angin tidak
selancar yang saya kira sebelumnya. Sekitar sepertiga perjalanan, angkot yang
kami naiki hanya bergerak sedikit-sedikit karena jalanan super macet. Apalagi
di sekitaran Kampus IPB Darmaga. Mana angkot penuh penumpang, jalanan penuh dan
nggak ada angin. Sepertinya semua orang mandi keringat. Untungnya, setelah
lewat daerah Ciampea, perjalanan menjadi lebih lancar.
Naik bukit menuju museum. |
Untuk mencapai Museum Pasir Angin, kita harus
turun di tengah jalan raya Bogor-Leuwiliang. Kalau berdasarkan pengalaman
pribadi nih, sekitar 1 jam 20 menit dari berangkat, kami melihat papan kecil
bertuliskan “Situs Museum Pasir Angin” di kiri jalan. Letaknya persis sebelum
jembatan sungai yang lumayan besar (kalau tidak salah, Sungai Cianten). Papan
pemberitahuan situs Museum Pasir Angin ini nampak tua dan mungkin bisa
terlewatkan. Tapi masjid bertembok hijau yang terletak persis di dekat papan
informasi ini pasti tidak akan terlewatkan. Setelah membayar Rp 9.000,- per
orang, kami pun turun dari angkot dan berjalan menuju situs yang dimaksud.
Jarak museum ini lumayan dekat dari Jalan Raya,
sekitar 5 menit jalan kaki. Tapi bukan berarti kita langsung sampai tujuan.
Situs Pasir Angin terletak di atas bukit. Dan museum ini terletak di puncak
bukit ini. Bukit Pasir Angin ini nampak mencolok, karena tanah di sekitarnya
relatif landai. Salah satu kaki dari bukit ini langsung bersentuhan dengan
Sungai Cianten, sementara bagian lainnya bertemu dengan dataran biasa. Bukit
ini sendiri bentuknya lebih menyerupakai panggung karena bagian atasnya datar.
Kemungkinan besar, tempat ini memang sudah menjadi tempat aktivitas ritual dari
jaman dahulu kala. (Bukit dengan permukaan datar di atasnya dan terletak di
tepi sungai umumnya merupakan tempat aktivitas ideal di masa lampau, baik tempat
tinggal, pemujaan, pemerintahan, maupun pertahanan – soalnya strategis,
terlindungi, dan dekat sumber air.)
Sisa-sisa patung penjaga. |
Begitu kami masuk ke dalam kompleks museum, kami
langsung diterima oleh tetumbuhan lebat yang mungkin sudah beratus tahun hidup
di sana. Di salah satu sisi bukit, ada sisa-sisa patung penjaga yang sudah
tidak bisa diketahui identitasnya. Persis di tengah bukit, bangunan museum
berdiri. Di dekat pintu ada sisa-sisa patung yang sudah rusak, mungkin
dihancurkan di masa lampau.
Bolak-balik kami mencari penjaga museum, namun
kami tidak menemukan tanda-tanda kehidupan. Pintu museum pun terkunci. Menurut
bapak-bapak yang tinggal di rumah di sebelah situs, penjaganya ada tapi tadi pergi.
Saat kami datang, memang pas jam 12:30 siang. Mungkin karena sangat sepi,
penjaganya bosan dan memilih untuk beraktivitas di tempat lain. (Mungkin kalau
kami datang jam 9 atau jam 3 sore bisa ketemu penjaganya ... lagi ngabsen.
Hahaha!)
Karena penjaga yang manusia tidak ada, ya sudah,
saya memuaskan diri untuk berfoto dengan patung penjaga yang sudah rusak di
sisi bukit saja. Sejenak saya juga mengintip-intip isi bangunan museum yang terkunci.
Di dalam terdapat sisa-sisa patung jaman dahulu yang sudah rusak. Kabarnya ada
benda-benda sisa-sisa jaman perunggu yang disimpan di sini, tapi tentunya saya
tidak bisa menguji kebenaran informasi ini.
Patok di tanah, mungkin sisa bangunan. |
Jadi, demikianlah hasil dari perjalanan menuju
Museum Pasir Angin: Saya mendapatkan foto patung penjaga yang sudah rusak,
patok-patok (mungkin sisa-sisa bangunan), dan gedung museum yang tertutup.
Pulangnya, saya menyetop angkot tujuan Bogor di
pinggir jalan raya. (Tulisan di angkotnya: Leuwiliang-Bogor.) Saya sempat
khawatir bakalan kepanasan di dalam angkot di tengah kemacetan, seperti waktu
berangkat. Untungnya, perjalanan pulang ke Bogor lancar. Dan angkot jurusan
Bogor kami berhenti di atas jembatan Sungai Cisindangbarang (yang ada di antara
Terminal Bubulak dan Terminal Laladon). Dari jembatan ini, kami mengambil
angkot tujuan Terminal Baranangsiang. Yak, akhirnya kami kembali ke Kota Bogor.
Catatan tambahan:
- Memang sih, kami datang di jam makan siang. Tapi kan hari Minggu, hari libur. Masa iya, petugas museumnya nggak jaga? Atau paling tidak memberi catatan seperti “Istirahat jam 12:00 – 13:00? Atau mungkin memang minat masyarakat terhadap museum sangat kecil atau dukungan Pemerintah yang sangat kecil sehingga penjaga museum pun malas berjaga? Padahal, sebagai satu-satunya museum di wilayah Kebupaten Bogor, seharusnya ada perhatian khusus terhadap sisa-sisa sejarah masyarakat asli sekitar.
- Kabupaten Bogor kaya dengan peninggalan masa prasejarah. Sampai dengan jaman Kerajaan Pajajaran, daerah ini kaya akan hasil karya kebudayaan. Bogor juga memiliki sisa-sisa peninggalan jaman megalitikum dan peninggalan sejarah lain yang pelan-pelan terlupakan. (Waktu saya jalan-jalan ke Sindangbarang, saya juga melihat beberapa sisa prasejarah.) Sayang kalau tidak ada yang mau merawat peninggalan nenek moyang kita ini.
(Selesai.)
0 Komentar:
Posting Komentar