Setelah Sapporo, tujuan selanjutnya adalah Furano.
Furano adalah daerah pedesaan di bagian tengah Hokkaido yang terkenal dengan
ladang bunga lavender. Selain ladang bunga lavender, petani di sini juga
menanam berbagai jenis bunga dan sayur-sayuran. Umumnya, para wisatawan
menginap di sekitar kota Furano atau kota Biei.
Sawah di daerah Kami-Goryo, Furano. |
Nah, berhubung saya datang di awal musim bunga,
yaitu bulan Juli, harga hotel sudah mulai meroket. Bukan apa-apa, awal bulan
Juli hingga akhir bulan Agustus adalah musim lavender, dimana puncaknya adalah
akhir Juli. Dengan jangka waktu yang relatif pendek, banyak turis yang
berlomba-lomba datang untuk melihat bunga lavender mekar di musimnya. Tidak
heran, bulan-bulan ini adalah waktunya hotel menambang emas dari para turis,
baik asing maupun domestik.
Terkait dengan permasalahan anggaran, maka saya
memutuskan untuk menginap di sebuah penginapan di daerah pertanian di
Kami-Goryo, Furano. Pertamanya sempat khawatir juga karena transportasi umumnya
agak susah. Mana taksi di daerah Furano jarang banget. Tapi dengan pengaturan
jadwal yang baik, saya masih bisa mengunjungi tempat-tempat wisata di sekitaran
Furano, sekaligus dapat bonus menikmati kehidupan pedesaan yang otentik di
Hokkaido.
Saya menginap di Goryo Guesthouse, desa
Kami-Goryo, Furano. Penginapan yang letaknya lumayan terpencil ini dikelola
oleh sepasang suami istri. Mereka yang melakukan berbagai kegiatan dari
membersihkan bangunan, mencuci baju, masak, dan juga mengurusi para tamu. Di
tempat ini hanya ada dua kamar, masing-masing terdiri dari 8 kasur/tempat
tidur. Satu kamar khusus perempuan, dan kamar yang satunya lagi campuran. Saya
tinggal di kamar campuran selama tiga malam.
Goryo Guesthouse tempat saya menginap. |
Akses kendaraan umum ke tempat penginapan ini ada
dua, yaitu bus dan kereta. Bus “Goryo Kyu Sen” dari stasiun Furano berangkat
hanya tiga kali sehari, paling sore jam 16:10. Dari pemberhentian terakhirnya,
kita tinggal jalan kaki sekitar 15 menit. Kalau mau naik kereta, bisa turun di
stasiun Nunobe, lalu jalan kaki sekitar 45 menit.
Karena saya berangkat dari Sapporo jam 14:30, maka
saya sampai di Furano jam 16:34. Jujur saja, saya cuma beli tiket kereta
Sapporo – Furano, karena saya pikir saya akan naik taksi saja menuju tempat
penginapan. Berdasarkan browsing-browsing di internet, uang di kantong masih
cukup untuk naik taksi. Tapi, begitu saya keluar kereta di Furano Station, saya
berubah pikiran. Berhubung stasiunnya sepertinya kecil, kok saya jadi ragu-ragu
bisa dapat taksi.
Alkisah, begitu di depan mas-mas penjaga tiket di
pintu gedung stasiun, saya malah tanya kereta yang menuju ke Nunobe. Mas-mas
yang baik itu langsung menunjuk ke ... kereta yang tadi saya naiki! Wah,
buru-buru saya balik ke kereta saya itu. Sambil lari-lari naik-turun tangga,
saya angkat koper saya – yang untung beratnya nggak sampai 7 kilo. Untungnya,
kereta saya berhenti cukup lama, sekitar 5 menit lebih. Jadinya saya masih
sempat masuk lagi.
Stasiun Nunobe. |
Dengan berpatokan pada pengumuman di kereta, saya
akhirnya turun dengan selamat di stasiun Nunobe. Saya masih sempat foto-foto
sebelum keretanya berangkat. Nah ... begitu masuk ke dalam gedung stasiun ...
Lho? Nggak ada orang sama sekali. Saya ketok-ketok pintu-pintu yang ada. Sampai
saya sengaja bolak-balik di depan kamera keamanan, siapa tahu ada orang yang
datang. Wah, tetap tidak ada orang. Padahal, kan tiket kereta saya cuma Sapporo
– Furano. Yang dari Furano ke Nunobe saya belum bayar karena waktunya mepet
banget. Waduh, jadi penumpang kereta gelap dong. (Pengalaman saya sebelumnya,
kalau kita kurang bayar, di stasiun tujuan akhir, kita tinggal membayar
kekurangannya di mesin “Fare Adjustment”. Rupanya di stasiun-stasiun terpencil,
pembayaran kekurangan ini dilakukan di atas kereta. Tapi waktu itu saya belum
tahu. Di kesempatan selanjutnya, saya menyerahkan tiket kereta ke masinis
kereta persis sebelum turun kereta.)
Akhirnya, karena kebelet, saya memutuskan untuk
mencari WC. Ternyata WC ada di luar gedung, tidak dikunci, dan tidak ada air.
Adanya hanya lubang di lantai yang dalam banget, dan tempat pijakan kaki di
kiri-kanan lubang. Ini WC jongkok yang tradisional banget. Apapun yang kita
buang ke dalam lubang WC itu, akan langsung meluncur ke dasar dan tidak perlu
digelontor air. Hiii .... (Nggak bau lho. Mungkin karena udaranya sangat
kering.)
Dengan panduan GoogleMaps, saya berjalan kaki dari
Nunobe Station ke Goryo Guesthouse. Jalan kaki selama 45 menit. Sempat melewati
pinggiran jalan tol dan jembatan yang menyeberangi Sungai Sorachi. Tapi setelah
menyeberang sungai, saya berbelok memasuki daerah pertanian, dan di situlah
saya benar-benar merasa takjub dengan pemandangannya. Kiri-kanan saya adalah
sawah dan ladang bawang.
Pemandangan di sepanjang jalan menuju penginapan. |
Sepanjang perjalanan saya, saya hanya bertemu
dengan satu orang saja. Waktu saya berjalan di daerah persawahan, saya disapa
oleh seorang bapak-bapak yang langsung menebak bahwa saya akan menginap di
Goryo Guesthouse. (Mungkin karena saya membawa koper, yah.) Beliau lalu menunjukkan
arah menuju ke tempat penginapan. Selain bapak itu, tidak ada satupun orang
saya temui.
Saya sampai di Goryo Guesthouse jam 6 sore.
Menurut informasi di internet, penginapan tempat saya menginap ini juga
menyediakan cafe. Sayangnya, waktu saya tiba, makanannya sudah habis. Padahal
saya kelaparan dan belum makan malam. Apa boleh buat, saya cuma pesan segelas
teh jahe hangat dan kemudian makan wafer cokelat yang saya bawa dari Indonesia.
Goryo Guesthouse ini jauh dari mana-mana, jadi jangan harap bisa lenggang
kangkung ke warung untuk beli makanan dan minuman. Cadangan kue dan indomie
adalah penting kalau mau menginap di sini.
Tetangga-tetangga terdekat kami. |
Malam hari itu, salah seorang bapak yang sekamar
dengan saya mengajak untuk melihat bintang di luar. Dia sendiri berasal dari
Osaka, dan dia bilang, langit malam di Hokkaido termasuk yang paling bagus yang
pernah dia lihat. Jadinya, saya, ibu pemilik penginapan, seorang bapak-bapak
dari Tokyo, dan seorang mahasiswi (dari Pulau Honshu, tapi lupa nama kotanya)
keluar bangunan dan memandangi bintang.
Saya langsung mengenali kumpulan bintang “Big
Dipper”. Pemandangan langit malam hari di sini keren banget! Kebetulan tidak
ada awan. Bintang-bintang terlihat jelas karena tidak ada gangguan cahaya dari
perumahan. Sayangnya kamera saya tidak bisa dipakai untuk memotret bintang.
Tiba-tiba ada kehebohan diantara kami. Ternyata
... ibu-ibu pemilik Goryo Guesthouse
matanya minus tapi tidak punya kacamata! Cuma minus setengah, sih. Jadi dia
masih bisa bawa mobil. Tapi tidak bisa melihat bintang. Aduh sayang sekali! Dia
bilang, dia tidak pernah sadar kalau langit malam di Hokkaido ternyata begitu
istimewa. Dia bilang minggu depan akan pergi ke kota untuk beli kaca mata.
(Saya tidak tahu yang dimaksud kota itu di mana. Yang jelas sih bukan Furano.
Kemungkinan Sapporo atau Asahikawa.)
Penanda halte bus (sebelah kiri) kalah mencolok dibandingkan iklan layanan masyarakat di dekatnya. |
Desa Kami-Goryo adalah desa petani, bukan desa
wisata. Semua keluarga di sini punya mobil untuk berpergian, dan sangat jarang
yang bergantung pada kendaraan umum. Waktu saya turun kereta pun, saya adalah
satu-satunya penumpang kereta yang turun di stasiun Nunobe. Waktu saya naik bus
(di hari selanjutnya), yang naik bus hanya anak kecil yang berangkat/pulang
sekolah, dan orang-orang tua yang mau kumpul-kumpul di kafe di kota Furano.
Jadwal bus pun, disesuaikan dengan jadwal pulang/pergi anak sekolah. Makanya
busnya cuma ada tiga kali dalam sehari.
Di sini mayoritas penduduknya adalah orang tua,
ibu-ibu rumah tangga, dan anak-anak. Menurut bapak-bapak yang sekamar dengan
saya, pemuda dan bapak-bapak di daerah sekitar penginapan lebih banyak mencari
kerja di Pulau Honshu, terutama Tokyo, Kyoto, atau Osaka. Kalau tidak ada
bisnis pariwisata seperti ladang lavender atau tempat ski (di musim dingin),
penduduknya pasti sudah banyak berkurang.
Oh ya, karena ini pedesaan yang memang tidak
disiapkan untuk turis, tempat makan dan convenient
store sangat jarang. Bahkan, di sepanjang perjalanan naik bus dari dekat
penginapan ke Stasiun Furano, vending
machine penjual minuman masih bisa dihitung dengan jari. Baru setelah masuk
wilayah kota saya melihat lebih banyak vending
machine.
Jalan tol di dekat Stasiun Nunobe. Ini jembatan yang melewati Sungai Sorachi. |
Kalau memang mau menginap di sini, sebaiknya
menyempatkan beli makan malam waktu jalan-jalan. Kalau pas sial makanan di cafe
habis, bisa-bisa tidak makan malam. Dan dengan bus Goryo Kyu Sen terakhir dari
Furano Station berangkat jam 16:10, sementara jalan kaki dari Nunobe Station ke
Goryo Guesthouse lamanya 40 menit melewati jalanan di tengah ladang tanpa lampu
jalanan, kalau memang menggantungkan diri pada transportasi umum, waktu kita
untuk belanja makanan sangat sedikit. (Bayangkan kalau pulangnya baru sekitar
jam 7 malam. Terus pas jalan kaki dari Nunobe Station di tengah sawah, matahari
mulai sembunyi di balik gunung. Walau relatif aman, agak serem juga yah jalan
kaki sendiri cuma ditemani senter kecil.) Paling baik adalah beli makanan pas
lagi makan siang dan dibawa pulang ke hostel untuk dipanasi. Bawa tupperware
kecil ke mana-mana berguna dan tidak terlalu memberatkan, kok.
Menginap di Goryo Guesthouse adalah salah satu
pengalaman yang sangat menyenangkan untuk saya, terutama karena saya jadinya
tinggal di tengah desa Jepang yang otentik. Tapi tentunya, tujuan wisata saya
di sini bukan hanya untuk ongkang-ongkang kaki di hotel. Ada banyak tempat
wisata yang bisa dikunjungi. Di artikel selanjutnya, saya akan menceritakan
wisata keliling Furano naik bus.
(Bersambung.)
subhanallah, indah bgt jepang
BalasHapus