Cagar Budaya Nasional Paseban Tri Panca Tunggal
terletak di Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan. Bagunan ini cukup menarik
perhatian karena tepat di pinggir jalan raya dan bentuknya kuno. Selain itu papan
yang bertuliskan "Cagar Budaya Nasional” di depan gedung ini cukup menarik
wisatawan untuk mencari tahu gedung apa ini sebenarnya.
Bagian depan Paseban Tri Panca Tunggal. |
Sayangnya, tidak ada satupun pintu dan jendela
yang terbuka. Tidak ada penjaga, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Sudah
beberapa kali saya mendengar cerita dari teman, ataupun membaca dari blog
pribadi, bahwa mereka datang ke situ hanya untuk melihat pintu dan jendela yang
tertutup rapat. Jadinya, banyak yang hanya berfoto di depan gedung – atau bahkan
hanya melewatinya saja.
Untungnya, saat saya ke sana, saya tidak hanya
sempat mengintip isi gedung, namun juga masuk ke dalamnya. Dan ini tanpa
janjian dengan siapa-siapa saja lho, ya.
Jadi, di sebelah gedung Paseban Tri Panca Tunggal
ini, ada bangunan dengan atap bertumpuk seperti bangunan kuil di Bali. Tertarik
untuk menyelidiki lebih lanjut, saya dan rombongan datang ke situ. Melihat saya
tengok-tengok di pagar, seorang bapak-bapak datang dan menanyakan apa maksud
kami ke situ. Saya langsung bertanya, apakah kawasan ini merupakan desa budaya,
karena bangunannya unik. Bapak-bapak itu lalu menjawab bahwa ada yang lebih
berhak untuk menjawab pertanyaan saya. Dia lalu menghampiri seorang bapak-bapak
lain yang kemudian datang dan menyambut kami. Tak disangka, bapak-bapak yang
datang belakangan itu adalah Pangeran Gumirat Barna Alam.
Tempat pertemuan saat Pemimpin Paseban membahas kegiatan Seren Taun. |
Siapa itu Pangeran Gumirat Barna Alam? Ternyata beliau
adalah keturunan langsung dari pendiri Paseban Tri Panca Tunggal, Kiai Madrais.
Tak hanya disambut, kami serombongan pun diajak masuk ke dalam gedung Paseban dan
duduk di ruang tengah. Itupun, masih ditambah dengan suguhan teh manis dan oleh-oleh
makalah tentang sejarah Paseban Tri Panca Tunggal yang diprint berwarna. Hebat,
nggak?
Tidak hanya mendengarkan tentang sejarah
berdirinya Paseban Tri Panca Tunggal, kami pun juga mendapatkan cerita tentang
sejarah Desa Cigugur dan area Cirebon dari jaman kekuasaan Kerajaan Pajajaran
hingga jaman kemerdekaan.
Paseban Tri Panca Tunggal di masa penjajahan
Belanda adalah rumah tinggal dari Kiai Madrais, seorang tokoh di daerah
Kuningan, salah satu keturunan dari Pangeran Gebang. Pangeran Gebang dulunya
adalah penguasa dari Kepangeranan Gebang. Area Kepangeranan Gebang cukup luas,
dari pantai Cirebon (di sebelah timur Kota Cirebon) hingga daerah Cijulang
(dekat Pantai Pangandaran).
Koleksi kain batik di dalam Paseban. Menunjukkan keragaman. |
Paseban Tri Panca Tunggal saat ini difungsikan
sebagai tempat berkumpul dan berdiskusi dengan tujuan untuk menimbulkan rasa
saling menghormati antar pemikiran dan keyakinan. Paseban artinya tempat
berkumpul dan bersyukur. Tri adalah penyelarasan dari tiga unsur, yaitu
Sir (Budi), Rasa, serta Pikir. Panca adalah panca indera, yang menerima
keagungan yang Maha Kuasa. Tunggal menegaskan tentang penyelarasan atau penyatuan dari keseluruhan unsur serta panca indera.
Selama perbincangan di dalam Paseban, Pangeran
Gumirat Barna Alam menjelaskan pentingnya untuk saling menghargai keragaman.
Beliau juga menginformasikan bahwa masyarakat Kuningan memiliki budaya Seren Taun
yang diselenggarakan setahun sekali. Mungkin bisa juga datang kalau ada
kesempatan. Di akhir pertemuan, beliau bahkan menyanyikan lagu karangannya
sendiri yang isinya adalah perdamaian dan ajakan saling menghormati.
Bangunan bernuansa mirip Bali yang menarik perhatian kami. Ternyata juga bagian dari Paseban Tri Panca Tunggal. |
Jujur saja, sebenarnya tadinya saya hanya ingin
berfoto di depan gedung Paseban yang kelihatan bernuansa kolonial. Sungguh tak
terduga justru bisa bertemu langsung dengan keturunan pendirinya. Paling tidak,
satu jam kami berbincang dengan beliau, kami mendapatkan pengetahuan baru
tentang keragaman budaya Nusantara.
Oh ya, Paseban Tri Panca Tunggal dilewati oleh
angkot 09 jurusan Pramuka – Cigugur. Jadi wisatawan bermodal kendaraan umum
juga bisa ke sini dengan kendaraan umum. Angkot ini juga melewati Wisata Terapi
Ikan Cigugur, dan nantinya rutenya akan berakhir pertigaan Cigugur.
(Bersambung.)
Wah seru sekali pengalamannya jadi pengen coba nih, tapi kayanya masih belum cukup nih tabungannya.
BalasHapusMari terus menabung untuk bisa jalan²! Ini saya juga bicara kepada diri sendiri lho ya...
Hapus