Daerah Bogor sudah lama menjadi tempat berlibur
dan beristirahat bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Selain letaknya yang cukup
dekat dengan Jakarta, suasana daerah Bogor yang masih alami menjadi daya tarik
tersendiri. Nah, saya akan berbagi pengalaman saya menghabiskan akhir pekan di
sekitaran Bogor. Saya dan dua orang teman memutuskan untuk jalan-jalan di Bogor
pada tanggal 13 – 14 Februari 2016 yang lalu. Berikut catatan perjalanan kami.
Gagal ke Pura Parahyangan Agung Jagatkartta
Rencananya, di hari Sabtunya, kami hendak
berkunjung ke Pura Parahyangan Agung Jagatkartta. Tempatnya lumayan jauh dari
kota Bogor, naik mobil sekitar 1 jam perjalanan. Selama perjalanan, GoogleMaps
menjadi andalan untuk menunjukkan jalan karena minimnya petunjuk jalan menuju
ke pura ini.
Jalan yang kami lewati di Kelurahan Mulyaharja. |
Untuk menuju ke Pura ini dari Bogor, Mbah Google
menyarankan kami untuk lewat perumahan Bogor Nirwana Residence dan The Jungle.
Jadinya, kami sempat merasa kebingungan karena jalanan yang dilalui sepi
banget. Apalagi, perumahan elit ini masih memiliki banyak area tanah kosong
yang belum dibangun. Setelah sempat salah belok, kami akhirnya keluar dari
perumahan ini dan masuk ke Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan. Dari
sini kami terus mengikuti jalan sampai tiba di Jl. Raya Ciapus. Sebenarnya,
kalau dari awal kami lewat Jl. Kapten dan diteruskan ke Jl. Raya Ciapus,
mungkin kami tidak akan banyak kebingungan karena jalan ini memang jalan ramai.
Kadang-kadang Mbah Google kurang tepat dalam memilihkan jalan. Ya sudah, lah
...
Sesampainya kami di Pura Parahyangan Agung
Jagatkartta, kami menemukan bahwa pura ini sedang direnovasi dan tidak boleh
dikunjungi oleh wisatawan. Hanya umat Hindu yang akan berdoa saja yang boleh
masuk kompleks. Yah ... kecewa hati kami. Kata bapak penjaganya, kemungkinan
renovasi baru selesai akhir tahun ini.
Sayang, cuma bisa lihat dari luar ... |
Karena masih siang hari, kami langsung putar otak
mencari tempat wisata lain yang bisa dikunjungi, Setelah browsing sana sini,
kami memutuskan untuk mengunjungi Curug Nangka. Mobil langsung bergerak menuju
ke Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Curug Nangka dan Curug Daun
Kasus karcis masuk dan parkir yang menyebalkan
Perjalanan naik mobil dari Pura Jagatkartta ke
gerbang masuk Taman Nasional Gunung Halimun Salak hanya perlu waktu 15 menit.
Cukup dekat. Tidak salah kami langsung putar haluan kemari. Tapi soal biaya
yang kami keluarkan untuk masuk ke dalam taman nasional membuat kami
bertanya-tanya tentang kebijakan pemerintah setempat terhadap pengembangan
wisata. Ada dua gerbang masuk ke dalam
Taman Nasional, yang jaraknya hanya sekitar 20 meter. Masing-masing meminta
bayaran sebelum mengijinkan kami untuk lewat.
Di gerbang pertama, masing-masing penumpang mobil
dikenai biaya pengunjung sebesar Rp 7.500,- tanpa biaya mobil. Katanya, gerbang
pertama menarik dana untuk pembangunan masyarakat sekitar. Kami mendapatkan karcis
sebagai bukti bayar sesuai dengan jumlah uang yang kami bayar.
Gerbang pertama menuju kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. |
Di gerbang kedua, masing-masing penumpang dikenai
biaya Rp 10.000,- dan tiket parkir mobil seharga Rp 10.000,-. Jadi totalnya Rp
40.000,- karena kami bertiga plus satu mobil. Tadinya kami tidak diberi tiket
bukti bayar, dan disuruh untuk langsung jalan. Tapi, saya protes dan minta karcis,
dengan alasan, saya menulis blog wisata dan saya mau simpan karcis masuknya
sebagai kenang-kenangan. Petugas yang menerima uang lalu kasak-kusuk dengan
rekannya di dalam loket cukup lama, dan kemudian datang sambil membawa karcis yang
sudah digulung-gulung. Ketika mobil sudah melaju, baru saya buka gulungan tiket
itu. Kami membayar Rp 40.000,- tapi karcis yang diberikan ke kami hanya 3
lembar. Itupun, terdiri dari satu lembar karcis parkir seharga Rp 10.000,- dan
dua lembar karcis masuk wisatawan seharga Rp 7.500,-. Jadi, total jumlah uang
yang tertera di karcis yang kami terima hanya Rp 25.000,-. Kemana yang Rp
15.000,- sisanya? Menyebalkan sekali!
Ketika parkir, kami sempat sebal juga ketika
tukang parkir ngotot minta Rp 15.000,- untuk jasa parkir. Dia bilang, biaya
parkir yang diminta di gerbang depan tidak berlaku di dalam area Taman
Nasional. Waduh! Kamipun terpaksa membayar sesuai permintaan tukang parkir itu,
dengan tetap meminta karcis bukti bayar. Karcis yang diberikan tidak menerakan
harga, kecuali angka Rp 10.000,- yang harus dibayarkan jika karcis hilang.
Ckckck ... gimana mau nyaman berwisata kalau serasa dirampok begini. Untung kami
tidak bersama wisatawan asing, bisa-bisa dirampok habis-habisan nih.
Trekking singkat di tengah mendung dan gerimis
Karena kami datang di bulan Februari, memang wajar
kalau mendung menggelantung di langit selama perjalanan kami. Bahkan, saat kami
hendak mulai trekking, gerimis sempat turun. Tadinya sempat ragu-ragu untuk
naik ke curug, apalagi karena ada satu teman yang mendadak sakit perut. Tetapi,
sayang kalau sudah masuk ke dalam Taman Nasional Gunung Halimun Salak namun
tidak melihar curug. Jadinya saya dan satu orang teman yang tidak sakit perut
memutuskan untuk naik ke atas. Rencananya, kami cuma mau foto-foto di Curug
Nangka saja.
Camping Ground. |
Sebenarnya, ada tiga air terjun di area Taman
Nasional Gunung Halimun Salak ini. Curug Nangka adalah yang paling rendah. Di
atasnya ada Curug Daun. Paling atas adalah Curug Kawung. Kalau dilihat dari
jaraknya, sebenarnya jalur trekking ini relatif dekat dan ringan. Tapi kalau di
cuaca gerimis, memang jadinya agak memberatkan.
Jarak dari tempat parkir mobil ke Curug Nangka sebenarnya
cukup dekat. Dengan jalan yang sedikit mendaki, cukup dibutuhkan waktu sekitar
20 menit jalan kaki santai. Walau jalannya menanjak, namun tidak terlalu
terjal. Untuk menuju ke curug, kami harus melewati bumi perkemahan (camping ground) yang ada di dekat
mushola dan WC umum yang tidak nampak terawat.
Untuk tiba di Curug Nangka, kami harus menuruni
jalan sempit dan menyusuri sungai kecil, terusan dari curug itu. Persis ketika
kami hendak menyeberang sungai, ada bapak-bapak yang meminta kami untuk tidak
melanjutkan perjalanan karena jalannya licin dan sudah gerimis lumayan deras.
Dikhawatirkan mendadak hujan deras dan jalannya menjadi licin serta sulit
dilalui. Apa boleh buat. Kami pun berbalik arah dan batal melihat dari dekat
Curug Nangka.
Curug Nangka dari kejauhan. |
Jadi, kami malahan naik ke Curug Daun karena
jalannya lebih lebar dan tidak perlu menyusuri tepi sungai yang licin. Jarak
dari Curug Nangka ke Curug Daun cukup dekat, sekitar 7 menit jalan kaki. Sudah
pasti jalannya memanjak, tetapi tidak terlalu terjal. Dalam perjalanan menuju
Curug Daun, kami masih sempat melihat Curug Nangka dari jauh, dan bahkan
melewati bagian atas dari Curug Nangka. Memang, seluruh curug di sini merupakan
satu aliran sungai dari puncak Gunung Salak.
Curug Daun relatif landai. Di bagian bawahnya ada
kolam kecil yang bisa dipakai untuk berenang, sedangkan di bagian atasnya
sangat luas dan landai, sehingga lebih aman untuk keluarga yang datang bersama
anak kecil. Kalau takut melompat-lompat di batu-batu di sungai dan kolam di
bawah air terjun, pengunjung masih bisa jalan-jalan di pinggir sungai di bagian
atas curug sambil merendam kaki. Kalau ada banjir bandang, areal di sekitar
sungai yang relatif terbuka membuat pengunjung memiliki kesempatan yang lebih
baik untuk lari ke pinggir daerah aliran sungai.
Curug Daun yang ramai. |
Sebenarnya, dari Curug Daun pengunjung masih bisa
berjalan sekitar 1 kilometer ke atas (sekitar 20 menit jalan kaki) menuju Curug
Kawung. Akan tetapi, mendung yang semakin gelap membuat kami khawatir akan hujan
deras. Jadi, kami lalu turun dan melanjutkan perjalanan menuju tujuan
berikutnya. Jam setengah empat sore, kami keluar dari kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun Salak.
(bersambung)
0 Komentar:
Posting Komentar