Kota Soe adalah kota yang terletak di dataran
tinggi Soe. Karena posisinya yang tinggi inilah, Kota Soe dikenal sebagai kota
yang dingin. Salah satu teman seperjalanan saya berulang kali mengatakan bahwa malam
hari di Kota Soe bisa membuat tubuh menggigil.
Tapi jujur saja, malam hari di hotel bisa saya
lalui dengan tenang. Bahkan, saya tidak merasa kedinginan. Padahal selimut dari
hotel tidak terlalu tebal. Hujan yang turun di malam hari (dan kemudian di pagi
hari saat waktu sarapan) juga tidak membuat saya merasa kedinginan. Mungkin ini
efek rumah kaca? Atau efek terlalu lama bekerja di gedung di Jl. Sudirman Jakarta yang
AC-nya di-stel standar bule?
Yang menyambut kami saat tiba di Kota Soe. |
Tujuan utama kami ke Kota Soe sebenarnya adalah
untuk berkunjung ke Desa Adat Fatumnasi. Desa adat ini terletak di daerah yang
lebih tinggi lagi dibandingkan Kota Soe. Jadi kabarnya, hawa di sana lebih
sejuk dibandingkan di Soe.
Sekitar jam 8:30 pagi kami check out dari hotel dan berangkat menuju Desa Fatumnasi. Tentunya kami
naik mobil sewaan. Walau ada angkot yang menuju ke Desa Fatumnasi, namun
jadwalnya tidak pasti. Selain itu, kami – tepatnya saya – tidak punya banyak
waktu karena keesokan harinya saya sudah kembali ke Jakarta.
Pemandangan lembah cantik di Kilometer 12. |
Jalan menuju Desa Fatumnasi tidak bisa dikatakan
bagus. Walaupun jalan yang meliuk-liuk naik turun sering memberikan pemandangan
yang menggugah hati, namun jalan yang sering kali berlubang atau becek memang
membuat pikiran selalu waspada.
Tempat berhenti dimana wisatawan bisa mengaguni
keindahan alam Timor Tengah Selatan adalah daerah yang sering disebut sebagai
Kilo 12. Di sini wisatawan bisa mengagumi keindahan pemandangan lembah.
Berdasarkan hasil browsing di internet, ternyata Kilo 12 ini menjadi salah satu
pemberhentian wajib bagi wisatawan yang akan ke Desa Fatumnasi.
Setengah jam dari Kilo 12, kami menemukan hambatan
besar yang membuat kami tidak dapat melanjutkan perjalanan. Jalan yang longsor
hingga beberapa meter! Kalau kami naik mobil jeep atau mobil four-wheel-drive, kami pasti langsung
meneruskan perjalanan. Tetapi dengan mobil avanza, kami terpaksa harus putar
haluan kembali ke Soe. Padahal, elf angkutan umum jurusan Fatumnasi masih
berani melewati jalanan longsor itu. Yah, mungkin itu artinya saya suatu saat
harus kembali ke Pulau Timor untuk mengulang perjalanan untuk tiba di Desa
Fatumnasi.
Jalan longsor menuju ke Desa Adat Fatumnasi. |
Karena waktu kami jadinya masih lumayan banyak,
kami terpaksa harus mencari akal untuk mengisi waktu. Ide yang muncul adalah:
belanja. Yup, walau hari itu adalah satu hari setelah Natal, kami tetap mencoba
peruntungan dengan mengunjungi pasar inpres Soe. Siapa tahu kami masih bisa
mendapatkan kain tenun murah di pasar.
Pasar Soe di hari-hari Natal masih cukup ramai,
namun di sana sini banyak terlihat kios-kios yang tutup. Setelah berputar-putar
tanpa arah, akhirnya kami menemukan penjual kain tenun di bagian depan pasar,
tepat di pinggir jalan raya. Dari sekian penjual kain, hanya ada dua yang
membuka lapaknya. Jadinya, kami pun melihat-lihat kain, dan saya akhirnya
membeli selendang tenun khas suku Boti. Untuk harganya, yah sudah pasti lebih
murah dibandingkan harganya kalau beli di Jakarta. Selendang di sini ada yang
dijual dari harga Rp 50.000,- hingga harga Rp 300.000,-, tergantung ukuran, kualitas
dan jahitannya. Untuk kain, harganya bisa lebih mahal lagi.
Jualan kain di Pasar di Soe. |
Selain kain, barang lain yang kami beli adalah
alpukat. Kenapa alpukat? Karena bulan Desember adalah musim alpukat, dan
alpukat hanya ada di daerah Soe. Alpukat tidak dijual di pasar, melainkan di
pinggir jalan raya. Jadi, sambil pulang ke Kupang, mampirlah kami ke penjual
buah di pinggir jalan. Kabarnya daerah Soe juga terkenal akan jeruknya, tetapi
kami tidak melihat penjual jeruk saat itu.
Sebelum memasuki Kota Kupang, kami mampir sebentar
ke Taman Wisata Alam Camplong, dimana di situ terdapat sumber air sekaligus
kolam Oenaik. Taman Wisata Alam Camplong adalah salah satu tempat wisata
favorit orang Kupang karena jaraknya dari kota tidak terlalu jauh. Karena malam
sebelumnya ada hujan badai, saat kami datang taman wisata ini terlihat tidak rapi
dengan beberapa pohon tumbang. Salah satu pohon tumbang masuk ke dalam Kolam
Oenaek dan memberikan kesan tidak terawat. Kolam oenaek biasa dipakai oleh
anak-anak penduduk sekitar berenang, semetara di dekat mereka ibu-ibu mencuci
baju.
Taman Wisata Camplong: Kolam Oenaek yang serbaguna. |
Di taman wisata ini kami menyempatkan diri untuk
“piknik”, yaitu makan siang yang tertunda dengan bekal yang dibeli di rumah
makan padang di Soe. Saya masih sempat keliling melihat-lihat hutan dan bukit
karang bergua-gua di sini dan juga melewati kandang buaya yang penuh sampah.
Karena kami pulang cukup cepat, maka kami masih
sempat keliling kota Kupang sekaligus belanja oleh-oleh (saya sih, yang
belanja), dan lalu ... teman-teman saya kembali bekerja karena keesokan harinya
sudah ada focus group discussion
menanti. Nggak di awal, nggak di akhir liburan, saya kembali menemukan
orang-orang giat bekerja. Berhubung sore hujan cukup deras, maka saya tidak
sempat jalan-jalan sore di Pantai Lasiana, dan memilih untuk tidur cepat. Ah,
sayang besoknya sudah harus pulang ke Jakarta!
***
0 Komentar:
Posting Komentar