Melanjutkan postingan sebelumnya tentang Jakarta Walking Trail edisi Kemerdekaan, kini saya akan memberikan gambaran singkat
tentang museum-museum dan monumen yang saya kunjungi selama mengikuti jalur
jalan kaki (walking trail tersebut).
Gedung Joang 45
Pengelola: Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kendaraan
umum: Kopaja 20 dan Kopaja AC 20
Senen – Lebak Bulus (yang ke arah Lebak Bulus); Kopaja 502 Tanah Abang –
Kampung Melayu (yang ke arah Kampung Melayu)
Tiket
masuk: Rp 5.000,- per orang
dewasa (pelajar dan anak-anak lebih murah)
Sejarah berdirinya Gedung Joang 45 tertulis di
papan-papan informasi di dalam museum ini. Pertama kali dibangun, bangunan ini
adalah sebuah hotel milik L.C. Schomper yang berkewarganegaraan Belanda. Saat
pendudukan Jepang, gedung ini menjadi kantor PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dan
menjadi sekolah politik bagi para pemuda Indonesia. Di sinilah muncul beberapa gerakan
pemuda radikal yang mengusahakan kemerdekaan Indonesia secepatnya. Kelompok
pemuda Menteng 31 inilah yang nantinya berinisiatif untuk mempercepat
kemerdekaan Indonesia dengan menculik Bung Karno dan Bung Hatta serta
membawanya ke Rengasdengklok.
Di dalam museum ini, dipajang foto-foto para tokoh
pemuda Menteng 31, termasuk diantaranya Sukarni, Chairul Saleh, Adam Malik,
Wikana, B.M. Diah, dan S.K. Trimurti. Selain itu, ada pula sejarah singkat masing-masing
orang, termasuk apa peranannya dalam usaha kemerdekaan Indonesia dan bagaimana
nasib mereka setelah jaman kemerdekaan. Ada yang sukses menjadi pejabat, ada
yang jadi tahanan politik, ada yang dibuang ke negara asing, ada yang hidup
biasa-biasa saja sampai tua, dan ada juga yang hilang dan tak pernah ketahuan
rimbanya.
Menurut saya, penjelasan tentang kehidupan para
tokoh Pemuda Menteng 31 di sini cukup jelas dan bisa memberikan gambaran
tentang dinamika politik di masa menjelang kemerdekaan. Mungkin anak sekolah
jaman sekarang perlu datang ke sini dan membaca sejarah Pemuda Menteng 31
supaya bisa melihat contoh dinamika politik dan konsekuensinya bagi para
pelakunya.
Selain kisah para Pemuda Menteng 31, museum ini
juga menyimpan buku-buku karangan Sukarno, A.M. Hanafi, dan Pans Schomper. Ada
juga replika selebaran propaganda Jepang dan perlengkapan tentara jaman dahulu.
Di sini juga ada ruang audio visual yang memutar film dokumenter tentang jaman perang
kemerdekaan. Di halaman belakang, ada patung-patung beberapa tokoh pemuda
Menteng 31 dan juga kendaraan dinas Presiden dan Wakil Presiden pertama
Indonesia.
Museum Perumusan Naskah Proklamasi
Pengelola: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
Kendaraan
umum: PPD 213 Grogol-Kampung
Melayu, PPD AC16 Rawamangun-Lebak Bulus, PPD AC11 Pulo Gadung-Grogol, Biangala
AC76 Senen-Ciputat
Tiket
masuk: Rp 2.000,- per orang
dewasa (pelajar dan anak-anak lebih murah)
Entah karena saya datang ke sini di bulan Agustus,
atau mungkin sedang ada proyek pengadaan buku, saat saya datang kemari, saya
mendapatkan brosur tentang museum, buku sejarah gedung museum, dan komik kisah
hidup A.A. Hamidhan, salah satu tokoh yang menghadiri rapat perumusan naskah
proklamasi waktu itu. Lumayan juga untuk menambah pengetahuan.
Daya tarik utama museum ini adalah ruangan tempat perumusan
naskah proklamasi, dimana di situ terdapat meja dan kursi dengan tatanan persis
seperti waktu naskah proklamasi ditulis. Ruangan ini menjadi diorama penulisan
naskah proklamasi dengan adanya patung Bung Karno, Bung Hatta, dan Mr. Achmad
Soebardjo yang duduk menghadap meja berbentuk oval tersebut. Selain ruang
perumusan naskah proklamasi, di museum ini juga terdapat ruang penandatanganan/pengesahan
naskah proklamasi dan ruangan kecil di bawah tangga tempat Pak Sayuti Melik
mengetik naskah proklamasi. Di bagian belakang ada ruangan audio visual dimana
diputar film dokumenter jaman perjuangan.
Bangunan ini terdiri dari dua tingkat dan aslinya
adalah rumah tinggal. Dulunya sempat dimiliki oleh PT. Asuransi Jiwasraya Nilmy
(Nederlands Levenzekering Maatschapij), lalu sempat menjadi kantor Konsulat Jenderal
Inggris, sebelum kemudian ditinggali oleh Laksamana Muda Maeda di jaman menjelang
kemerdekaan. Sebagaimana rumah mewah di kawasan elit, rumah ini memiliki
halaman depan dan halaman belakang yang luas, kamar tidur dan kamar mandi yang
luas, dan juga bunker bawah tanah.
Kalau lantai 1 berisikan ruangan bersejarah
menjelang detik-detik proklamasi, maka lantai 2 berisikan memorabilia dan kisah-kisah
para tokoh yang terlibat di sekitar kejadian pembacaan proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia. Di sini juga dijelaskan kehidupan beberapa dari para
tokoh-tokoh tersebut, misalnya B.M. Diah, Bung Tomo, dan A.A. Hamidhan. Di
lantai 2 kita bisa berjalan-jalan ke balkon dan melihat pemandangan di
sekitaran Jl. Imam Bonjol.
Museum ini bersih dan rapi, terlihat dirawat.
Bahkan bunker bawah tanahnya juga bersih. Buat yang belum pernah berkunjung ke
Museum Perumusan Naskah Proklamasi, bolehlah sekali-sekali berkunjung.
Taman Proklamator
Pengelola: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta
Kendaraan
umum: PPD 213 Grogol-Kampung
Melayu, PPD AC16 Rawamangun-Lebak Bulus, PPD AC11 Pulo Gadung-Grogol, Biangala
AC76 Senen-Ciputat, Kopaja 502 Tanah Abang-Kampung Melayu
Tiket
masuk: gratis
Walau saya datang di hari Minggu, namun saat saya
memasuki kawasan Taman Proklamator jam menunjukkan pk. 12:15, jarang sekali ada
yang datang berkunjung. Mungkin karena matahari bersinar terik. Hanya ada beberapa
anak kecil yang duduk-duduk di salah satu sudut, dan sekelompok ibu dan anak
yang berada di bawah pohon rindang.
Taman Proklamator adalah situs bersejarah bagi
seluruh penduduk Indonesia, karena di sinilah naskah proklamasi kemerdekaan
dibacakan. Dulunya, di sini berdiri rumah kediaman Bung Karno. Namun sejak
tahun 1960-an, rumah tersebut dibongkar dan tidak pernah dibangun lagi. Di
dalam taman ini ada beberapa bangunan, yaitu:
Tugu Proklamasi
atau Tugu Petir, yaitu tugu peringatan pembacaan naskah proklamasi yang didirikan
di masa pemerintahan Bung Karno sebagai presiden.
Monumen
Soekarno-Hatta, yaitu patung Bung Karno dan Bung Hatta berukuran raksasa dan
replika naskah proklamasi di atas batu marmer. Patung ini didirikan di masa pemerintahan
Presiden Suharto.
Tugu Peringatan
Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia yang didirikan di tahun 1946 dengan keterangan
“atas oesaha kaoem wanita djakarta”.
Gedung Pola. Gedung
yang didirikan di jaman pemerintahan Bung Karno sebagai presiden ini dulunya
adalah tempat perancangan pembangunan nasional. Bangunan ini tidak terlalu
terurus, dan menurut saya sangat kontras dengan patung Sukarno-Hatta yang megah
berdiri di depannya.
Kalau ditilik dari luasnya area taman ini dan juga
ukuran patung serta tugu yang cukup besar, sebenarnya taman ini megah dan dapat
menghidupkan semangat juang di dalam dada pengunjung taman. Namun pengelolaan
taman yang kurang baik menyebabkan taman ini lebih dikenal di hati rakyat setempat
sebagai tempat bermain anak-anak dan tempat pacaran anak sekolahan. Sayang,
yah!
0 Komentar:
Posting Komentar