Bulan Juni 2014 yang lalu, saya mendapat tugas beberapa hari
untuk membantu suatu pelatihan di Yogyakarta. Walau kunjungan kali ini bukan
dalam rangka jalan-jalan, setiap ada kesempitan tentu selalu saya jadikan
kesempatan, hehehe ... Di malam terakhir sebelum kembali ke Jakarta, saya
menyempatkan untuk menikmati Yogyakarta di waktu malam. Proyek saya waktu itu
adalah, berjalan kaki dari monumen Tugu sampai dengan Alun-Alun Utara Keraton
Yogyakarta.
Monumen Tugu, salah satu ciri khas Yogyakarta. |
Dari tugu, saya berjalan ke arah selatan, memasuki
Jl. Margo Utomo atau nama lainnya Jl. P. Mangkubumi. Jalan ini adalah terusan dari Jl. Malioboro. Dibandingkan
dengan Jl.Malioboro, jalan ini relatif sepi pejalan kaki. Jumlah warungnya
tidak banyak, walau sebenarnya rasanya juga tidak kalah dengan lesehan di
sekitaran Malioboro. Padahal, di kiri kanan jalan ini cukup banyak hotel, dari
hotel backpacker sampai hotel berbintang. Sudah dapat dipastikan, para
wisatawan di hotel-hotel ini memilih untuk berjalan-jalan di Malioboro.
Warung angkringan "Gareng Petruk". |
Terus berjalan ke arah selatan, saya sampai di
dereten tenda penjual kopi joss dan seafood. Ini artinya stasiun Tugu sudah
dekat. Stasiun Tugu adalah stasiun kereta api utama Yogyakarta. Tepat sebelum
Stasiun Tugu, tepatnya di Jl. Wongsodirjan, di utara pagar pembatas areal
Stasiun Tugu, ada banyak warung lesehan angkringan kopi joss. Warung yang lumayan
terkenal di sini adalah warung angkringan “Lik Man”.
Rel kereta api di ujung Jl. Malioboro. |
Dari sini, mulailah saya berjalan berdesakan di
trotoar, melewati para penjual baju dan kerajinan, serta orang-orang yang
bergerombol memilih-milih barang dagangan. Kadang kala, saya berhenti karena
jalanan macet. Rupanya bukan hanya jalur mobil yang bisa macet. Kesempatan
untuk melihat-lihat corak-corak kain yang bagus atau gambar T-Shirt yang lucu
membuat saya tidak terlalu sebal dengan keadaan ini.
Yang unik dari kawasan Malioboro adalah pengeras
suara di hampir setiap sudut. Pengeras suara memutar lagu-lagu lembut, atau
memberikan pengumuman kepada pihak yang berkepentingan. Di malam hari,
pengumumannya antara lain adalah, “Jangan lupa menggembok gerobag, dan
menyimpan di tempat yang aman. Jangan ditinggal di tepi jalan.”
Menambatkan kuda di tepi Jl. Malioboro. |
Di sepanjang Jalan Malioboro, ada banyak jalan
kecil dimana hotel-hotel bertebaran bagai jamur. Jalan-jalan ini dinamai
sebagai “Kawasan Wisata”, sebagaimana tertulis di papan petunjuknya. Ada
Kawasan Wisata Dagen, Kawasan Wisata Pajeksan, dan lain-lain. Kesannya seperti
di Jalan Jaksa Jakarta – dengan tambahan warung gudeg atau angkringan. Dan
becak. Di antara hotel-hotel itu, ada juga agen tur, salon, tempat spa dan
pijat, serta penjual kerajinan. Memang kawasan ini diarahkan untuk menjadi
tempat wisata, one-stop service!
Ujung Jalan Malioboro. |
Dari jauh saya sudah bisa melihat Malioboro Mall
di kiri jalan, gedung terang-benderang yang menjadi salah satu pusat
perbelanjaan di Yogyakarta. Untuk turis yang hendak mencari ATM ataupun coffee
shop dengan wifi, mall ini adalah tujuan yang mudah ditemukan dan dapat
dipastikan menyediakan berbagai kebutuhan tersebut dengan mudah. Selasar
Malioboro Mall memang lebih bersih dibandingkan trotoar di bagian lain dari
kawasan Malioboro. Mungkin karena tidak ada pedagang kaki lima di sini. Di
seberang Mall, saya bisa melihat Toko Ramayana dan Apotik Kimia Farma. Tapi
jalur lambat di sini jauh lebih padat – soalnya motor banyak yang parkir di
sini.
Melewati jalan masuk ke Kawasan Wisata Dagen, saya
bertemu dengan grup perkusi jalanan berseragam yang sedang memamerkan keahliannya.
Alat musik yang digunakan terbuat dari pipa dan drum. Banyak orang berkerumun
menonton mereka, jadi saya tidak merasa terlalu nyaman berlama-lama di situ. Beberapa
menit berjalan, saya sudah dapat melihat
Halte TransJogja Malioboro 2 di kiri jalan.
Kawasan Wisata Dagen. Ramai. |
Sebetulnya, Jl. Malioboro hanya sampai di depan
kantor Gubernur ini. Selewat kantor ini, jalan ini dinamai Jl. Margo Mulyo atau
Jl. Ahmad Yani. Hanya saja, karena ruko dan pedagang masih berjajar tanpa putus
di jalan ini, banyak turis yang tidak sadar bahwa mereka sudah tidak berada di
Jl. Malioboro. Tentu saja, untuk memudahkan penyebutan, baik Jl. Malioboro, Jl.
Ahmad Yani, maupun jalan-jalan kecil yang menjadi tempat penginapan di
sekitarnya, seluruhnya dinamakan Kawasan Malioboro.
Terus berjalan melewati jalan masuk ke Kawasan
Wisata Pajeksan di kanan jalan, saya sampai di seberang Toko Rama. Sama seperti
Toko Matahari, toko ini sudah ada sejak sebelum ada mall. Melewati toko-toko
dengan konsep jaman dahulu, dengan tumpukan baju dan tulisan diskon besar-besar
di depannya, saya merasa seperti kembali ke masa dimana sekedar belanja adalah
hiburan – yang tidak disertai dengan acara nongkrong di cafe dan KTV.
Jalan kecil setelah Pajeksan adalah Kampung
Ketandan. Kalau menurut internet, daerah Pajeksan dan daerah Ketandan adalah
daerah pecinan di Kawasan Malioboro ini. Sayangnya di kedua jalan ini, saya
menemukan area yang sepi dan gelap. Pejalan kakinya jarang, dan seringkali saya
menjumpai tembok tinggi yang tidak ramah. Berbeda sekali dengan daerah Dagen
yang penuh dengan orang hilir mudik dan becak mondar-mandir. Mungkin kedua
kawasan ini tidak ditujukan untuk wisata di waktu senja. Di internet disebutkan
bahwa daerah ini adalah tempat rumah makan cina, yang mungkin hanya buka di
siang hari. Akan tetapi saya tidak menemukan papan petunjuk rumah makan di
kedua tempat ini.
Tepat di sebelah Kampung Ketandan, ada Toko
Ramayana. Berbeda dengan Kampung Ketandan yang sepi, Toko Ramayana terang
benderang dan riuh. Kontras sekali. Melewati Toko Ramayana, saya tiba di Pasar
Beringharjo yang terkenal dengan pedagang batiknya. Pasar Beringharjo di malam
hari nampak ceria dengan lampu yang berwarna-warni. Di seberang jalan, deretan
toko emas yang sudah tutup ditutupi oleh warung lesehan.
Pasar Beringharjo di waktu malam. |
Ada banyak pedagang kaki lima yang menjual makanan
dan pakaian di jalan utama setelah saya melewati Pasar Beringharjo. Papan
petunjuk di situ bertuliskan “Pasar Sore Malioboro” – nah, padahal ini kan
sudah bukan jalan Malioboro ... Di seberang jalan ada jam yang masih
menunjukkan waktu dengan baik. Ini kembarannya jam yang ada di ujung utara Jl.
Malioboro.
Benteng Vredeburg dengan "gargoyle" yang sedang nongkrong. |
Saya tiba di perempatan jalan besar. Kalau belok
ke kiri saya akan masuk ke Jl. Senopati, kalau belok ke kanan saya akan masuk
ke Jl. K.H. Ahmad Dahlan. Di seberang saya dapat melihat Kantor Pos Besar
Yogyakarta dan Bank BNI tepat di ujung perempatan.
Perempatan menuju ke kompleks keraton. |
Akhirnya saya tiba di alun-alun. Walau dengan
penerangan yang minim, alun-alun tidak dapat dikatakan sepi. Ada banyak becak
di situ, dan ada beberapa orang berjalan entah menuju ke mana. Terus menuju ke
arah keraton, saya semakin banyak menemui orang-orang yang berfoto dengan latar
belakang keraton. Dengan cahaya seadanya, gedung keraton semakin memancarkan nuansa
mistik dan agung. Tak heran siang maupun malam banyak orang datang kemari,
walaupun hanya untuk berfoto-foto di depan pagarnya.
Keraton Yogyakarta di waktu malam. |
Catatan: Karena tujuan utama perjalanan adalah
tugas kantor, maka saya tidak membawa kamera. Seluruh gambar diambil dari
kamera handphone yang yang spesifikasinya hanya 5 MP.
0 Komentar:
Posting Komentar