Hari III : Trekking di Pulau Komodo – Pink Beach – Labuan Bajo
Kapal lepas sauh dari pantai Gili Laba sekitar jam 05:30. Itu adalah jam
terbit matahari di daerah Labuan Bajo. Sebelum kapal berangkatpun, kami sudah
keluar dari kamar. Kami semua bangun pagi-pagi dengan harapan bisa melihat
sunrise. Akan tetapi langit yang berawan membuat matahari tidak terlihat dengan
sempurna. Apa boleh buat.
Sunrise di perjalanan menuju Pulau Komodo. |
Perjalanan dari pantai di Gili Laba ke pos penjagaan Taman Nasional di
Pulau Komodo ditempuh selama sekitar dua jam. Selama itu, kami masih sempat
bersantai dan makan pagi. Makan pagi kami adalah roti panggang, telur dadar,
dan pancake pisang. Pancake pisang favoritku muncul juga di atas kapal! Satu
orang mendapatkan jatah satu pancake pisang sebesar piring makan. Nyam! Di atas
kapal juga tersedia air panas (di dalam termos), kopi dan teh. Makan pagi itu
disertai dengan minum teh hangat yang menyegarkan.
Sepanjang perjalanan menuju Pulau Komodo, pemandangan di air membuat saya
sangat mengagumi alam ciptaan Tuhan ini. Air laut yang nampaknya tenang dan
hanya beriak-riak kecil, ternyata menyimpan arus air yang gerakannya tak
terduga. Pada umumnya, permukaan air laut di kiri dan kanan kapal beriak
kecil-kecil seperti kain jumputan yang luas berwarna biru. Tapi kadang kala,
saya menjumpai satu area (biasanya bentuknya hampir seperti lingkaran) yang
tidak ada riaknya sama sekali. Area itu nampak seperti cermin yang tenang. Tapi
kalau diperhatikan, di tengah “cermin” itu, biasanya ada semacam lubang kecil,
dan sedikit air di sekitarnya terlihat membentuk arus yang melingkari lubang
itu.
Pertemuan dua arus (berwarna gelap), dan permukaan tanpa riak (bawah). |
Di daerah yang beriak kecil-kecilpun, kadang kala saya temukan riak-riak
itu arahnya berlawanan atau bahkan saling menabrak, dan membentuk semacam garis
di sepanjang pertemuan arus itu. Kata Kak Mat, arus air laut di perairan Komodo
memang tidak terduga. Ada bagian dimana airnya naik ke permukaan, ada yang
turun ke bawah dengan kuat, dan di dasar laut, ada arus yang sangat kencang
yang bisa membawa penyelam terlempar berkilo-kilometer dari tempatnya turun
dari kapal. Bahkan laut yang nampak tenang juga menyimpan kekuatan yang
menakutkan!
Desa Komodo, dilihat dari kapal saat menuju ke dermaga pos penjagaan Taman Nasional. |
Kami tiba di pos penjagaan Taman Nasional Komodo sekitar jam setengah
delapan pagi. Loh Liang, namanya. Dari kejauhan terlihat desa Komodo, satu-satunya habitat manusia di pulau ini. Setelah membereskan urusan administrasi, kamipun berjalan
mengikuti Medium Trek dengan ditemani seorang Ranger. Nama ranger kami Pak
Rachman. Semua ranger di Pulau Komodo adalah penduduk asli Pulau Komodo. Jadi
mereka sudah mengenal Komodo sejak masih kecil. Selama kita tidak jauh-jauh
dari ranger dan mengikuti seluruh petunjuknya, kita akan aman. Semua ranger
dibekali dengan tongkat kayu khusus yang memang biasa dipakai untuk mengusir komodo.
Katanya tongkat itu dibuat dari pohon yang, menurut legendanya, sudah menjadi
bagian dari perjanjian antara manusia dan komodo. Bentuk tongkatnya unik, di
ujungnya membentuk huruf Y.
Di sepanjang jalan, saya melihat papan-papan peringatan supaya tidak
berisik. Sempat saya pikir kita tidak boleh bicara sama sekali. Tapi sepanjang
perjalanan ranger kami menjelaskan tentang keadaan pulau dengan suara yang
normal, dan dia tidak masalah kalau kami berbicara dengan suara yang wajar.
Jadi mungkin maksud dari papan itu adalah untuk tidak teriak-teriak dan tertawa
berlebihan. Untuk berbicara secara normal di dalam kelompok kecil, masih tidak
masalah.
Kami melewati hutan dengan tanaman endemik Pulau Flores. Ada pohon gebang,
yang katanya adalah makanan pokok penduduk Pulau Komodo sebelum mengenal beras.
Pohon gebang ditebang, lalu batangnya diambil dan isi dari batang pohon itulah
yang dimasak. Mungkin mirip dengan pohon sagu. Kami juga melewati hutan pohon
asam. Di dekat hutan pohon asam, ada kubangan air yang menjadi tempat minum
hewan-hewan, termasuk komodo. Saat kami melewati kubangan air itu, tidak ada
satu hewanpun di situ.
Di area hutan, kami mendengar kicauan burung, melihat rusa, dan ayam hutan.
Kata Pak Rachman, ada jejak babi hutan, tapi kami tidak melihat babi hutannya.
Teman saya menemukan kotoran luwak di jalan, dan kata Pak Rachman memang ada
banyak luwak yang tinggal di Pulau Komodo. Hanya saja luwak di sini tidak makan
kopi, karena tidak ada tanamannya.
Pemandangan dari atas bukit Sulphurea. |
Di bukit Sulphurea pemandangannya bagus. Dari situ kita bisa melihat garis
pantai Pulau Komodo. Laut di sekitar Pulau Komodo nampak jernih dan tenang
seperti danau. Kebalikan dengan laut yang nampak biru menyegarkan, pulau Komodo
sebenarnya tanahnya relatif gersang. Hutannya pun renggang dan tanahnya kering.
Mungkin juga karena kami datang di musim kemarau. Katanya, kalau musim hujan
jalur trek di Pulau Komodo berlumpur. Di daerah tertentu lumpurnya bisa
setinggi lutut.
Saya pikir kami tidak akan bertemu komodo di hutan. Soalnya sudah separuh
jalan tidak ada tanda-tanda komodo. (Dan agak-agak bersyukur juga, soalnya saya
takut komodo. Kalau kadal biasa sih, suka.) Waktu menuruni bukit Sulphurea,
salah seorang teman saya tiba-tiba berkata, “Itu dia!” Kami melihat kedepan,
dan menemukan, persis di dekat percabangan jalan, ada seekor komodo bersembunyi
di balik pepohonan. Komodo tersebut nampak siaga. Kepalanya terangkat dan
matanya terbuka. Kami sempat hanya terdiam memandangi komodo itu. Tak disangka,
kami dapat melihat komodo di habitat aslinya. Panjangnya sekitar 2 meter. Kamipun
menyempatkan diri untuk memotret komodo, dan berfoto ria (dari jarak jauh yah)
dengan komodo itu.
Komodo yang kami temui di hutan. |
Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak dengan semangat menyerbu dari belakang
kami dan mendekat komodo. Dia lalu memfoto komodo itu – dengan blitz! Tidak
hanya mengambil gambar, dia juga berseru-seru dengan suara lantang. Di belakang
bapak-bapak tadi, ada rombongan lain yang anggotanya lebih muda. Ranger yang
mendampingi mereka ikut melompat mendekati si bapak-bapak yang semangat itu.
Komodo yang tadinya hanya diam membatu, mulai bergerak. Kepalanya lebih
terangkat, lalu lidahnya menjulur-julur. Setelah beberapa menit, dia dua kali
membuka mulutnya lebar-lebar.
Jujur saja, kami jadi takut kalau-kalau si komodo itu merasa terganggu dan
menyerang. Jadi kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan melalui cabang
trek yang lain. Menurut ranger kami, pertigaan itu juga salah satu tempat
favorit komodo. Dan biasanya, komodo dari posisi yang kami temui tadi akan menuruni jalan dan
sampai di trek yang kami lewati ini. Jadi, sambil bicara, dia beberapa kali
mengarahkan tongkatnya ke lereng yang sering dilewati komodo.
Setelah meninggalkan bukit Sulphurea, kami tiba di kompleks dapur lama. Di
sini ada beberapa komodo muda yang berjalan-jalan ataupun tiduran di sekitar
bangunan-bangunan yang tak terpakai itu. Kami pun mengambil gambar
komodo-komodo itu, dan berfoto bersama (dari jauh). Kabarnya, kompleks dapur
lama ini memang tempat favorit komodo, jadi turis yang tidak berhasil bertemu
komodo di alam terbuka, bisa menemukan mereka di sini. Kata Pak Rachman, kami
beruntung karena turis yang datang lebih pagi dari kami tidak bertemu dengan
komodo di hutan.
Komodo di area Dapur Lama. |
Dan kami menjadi lebih beruntung lagi, karena saat berjalan di tepian
pantai, sedikit menjauhi dapur lama, kami menemukan seekor komodo yang
ukurannya hampir 3 meter! Komodo itu sedang tidur. Matanya tertutup. Kabarnya
jumlah turis yang menemukan komodo sebesar itu lebih jarang lagi. Nampaknya
komodo ini sedang dalam keadaan kenyang. Gerombolan rusa di dekatnya tidak
terusik sama sekali dengan keberadaan komodo yang tidur itu. Kami pun kembali
foto-foto (dari jauh) dengan komodo ini. Tak lupa kami berfoto juga dengan rusa
yang ada di dekatnya.
Di akhir perjalanan selama satu setengah jam itu, kami tiba di tempat
penjualan suvenir. Sebelum kami berjalan-jalan di Pulau Komodo, Kak Mat sudah
berpesan agar kami membeli ukiran kayu komodo di situ. Pasalnya, ukiran kayu
berbentuk komodo memang buatan penduduk situ. Kalau kaos atau barang yang lain
akan lebih murah kalau beli di Labuan Bajo. Jadi, di tempat suvenir itu kami
membeli tempelan magnet dengan ukiran kayu komodo.
Saya juga sempat tertarik dengan kalung dengan bandul putih sebesar satu
buku jari kelingking. Waktu saya tanya ke penjualnya itu apa, dijawab, “Ini
kima.” Dasar anak kota yang nggak kenal laut, saya pun polos saja balik tanya,
“Kima itu apa?” Penjualnya yang bingung. Dia hanya bilang, “Itu, Mbak, yang ada
di tengah laut. Seperti kerang.” Saya sempat bingung, kalau seperti kerang, kok
bentuk bandul ini membulat seperti bawang putih? Terusnya warnanya putih kusam
seperti kapur. Mana kerangnya? Setelah saya pulang ke rumah, dan browsing di
internet, baru saya tahu, kima adalah nama sejenis tiram laut. Bandul itu adalah
mutiara laut (bukan budidaya). Cuma, karena warnanya tidak mengkilat, tidak
bisa dijual ke pengrajin mutiara. Ooo...
Sepulang kami ke atas kapal, kami disambut oleh jus pepaya. Lengkap juga
makanan di atas kapal ini. Dari dermaga pos penjagaan Taman Nasional, kami
melanjutkan perjalanan ke Pink Beach, masih di pulau Komodo juga. Lama
perjalanan menuju Pink Beach adalah setengah jam.
Pink Beach, dilihat dari atas bukit. |
Kapal kami tidak boleh mendekati pantai pink beach. Kapal ukuran sedang dan
besar memang tidak boleh merapat ke pantai karena ditakutkan akan merusak
terumbu karang yang ada di tepi pantai. Jadi, kami harus menggunakan jasa kapal
kecil yang ada di situ. Kebetulan, ada satu kapal nelayan kecil yang siap
mengantarkan kami ke pantai. Jadi, kami membawa perlengkapan snorkeling dan
menaiki kapal menuju ke pantai. Di kapal ini ada seorang bapak dan anaknya yang
mungkin umurnya belum cukup untuk masuk SD. Si anak kecil ini cekatan dalam
mengatur tali-temali untuk membantu ayahnya menjalankan kapal. Tidak ada dari
kami yang mengerti ucapan anak tersebut. Kata ayahnya, anak kecil tersebut
berbicara dalam bahasa desa Komodo. Wah, ternyata mereka juga memiliki bahasa
tersendiri.
Pink beach, sesuai dengan namanya, adalah pantai yang pasirnya berwarna
merah muda. Warna merah muda didapat dari serpihan koral berwarna merah yang
terbawa arus dan terhempas ke pantai. Kalau dilihat lebih dekat, terlihat bahwa
butiran merah itu warnanya tidak sama: ada yang merah marun, merah terang,
bahkan ada yang berwarna oranye. Tapi dilihat dari jauh, efeknya sama, membuat
pasir pantai berwarna pink.
Terumbu karang di Pink Beach. |
Di dekat pantai ada bukit kecil dimana kita bisa melihat seluruh garis
pantai yang berwarna kemerahan. Dari atas, memang lebih terlihat warna pink dari pasir pantai. Daerah yang baru
saja terkena hempasan ombak lebih jelas warna merahnya. Turun dari bukit, kami
langsung snorkeling. Bapak yang membawa kami ke pantai menginformasikan daerah
mana yang berarus deras dan mana yang tenang. Jadi kami dapat melihat-lihat
terumbu karang dengan tenang. Ketika snorkeling, baru terlihat bahwa terumbu
karang di sekitar pantai memang didominasi oleh warna merah. Ada yang merah
marun, merah terang, merah muda, oranye, dan juga oranye muda. Tentunya ada juga
warna putih, hijau, dan warna-warna lain. Di sini banyak ikannya. Dan saat saya
mengapung tanpa bergerak, ikan-ikan itu dengan cueknya lewat-lewat di depan
goggle saya. Lucu sekali!
Setelah setengah jam snorkeling, kami kembali ke kapal. Kapal melanjutkan
perjalanan untuk kembali ke Labuan Bajo. Saat makan terakhir kami di atas
kapal, lauk yang disajikan porsinya banyak sekali. Ada ayam gorengnya. Juga ada
tempe masak timun yang saya sukai. Secara umum, saya puas dengan ketersediaan
makanan di atas kapal ini.
Lama perjalanan dari Pink Beach ke Labuan Bajo memakan waktu sekitar empat
jam. Lumayan lama. Jarak dari Labuan Bajo ke Pulau Komodo memang lumayan jauh.
Itulah sebabnya turis yang tidak punya banyak waktu akan lebih memilih untuk
melihat komodo di Pulau Rinca. Tapi kabarnya, komodo di Pulau Rinca lebih kecil
ukurannya dan lebih sering memakan korban manusia. Soalnya, Pulau Rinca lebih
gersang dan lebih sedikit hewan buruannya. Selain itu, Pulau Rinca tidak
berpenghuni, sehingga ranger di sana sebenarnya lahir dan besar di pulau lain.
Berbeda dengan Pulau Komodo yang dihuni oleh satu desa, sehingga memang ada
penduduk aslinya.
Pelangi di pesisir Flores. |
Kami tiba di Labuan Bajo sekitar jam setengah empat. Kedatangan kami ke
Labuan Bajo disambut oleh pelangi. Sekali lagi kami merasa beruntung bisa
melihat pelangi yang indah di Pulau Flores. Di hari kedatangan kami ke Labuan
Bajo, hujan turun. Padahal selama perjalanan kami tidak mengalami hujan.
Katanya, memang bukan musimnya untuk hujan di bulan Mei. Sebelum menuju hotel,
kami menyempatkan diri untuk mampir dulu membeli oleh-oleh.
Malam ini kami menginap di hotel Laprima. Hotel bintang 4 ini menyediakan
fasilitas kolam renang, spa, pijat, dan antar jemput dari/ke bandara atau
dari/ke kota Labuan Bajo. Untuk saat check in dan check out, antar jemput
ke/dari hotel gratis. Sunset di Hotel Laprima lebih bagus dibandingkan di
pelabuhan. Sayangnya langit berawan. Kalau cuaca cerah, bisa lebih bagus.
Sunset dilihat dari kamar hotel kami. |
(bersambung)
Halo mba,mau tanya dong klo harga kimanya di patok berapa ya?
BalasHapusTergantung ukuran. Dulu, tahun 2014, yang ukurannya lebih kecil dari bawang putih tunggal dan warnanya kusam banget Rp 80.000,- itupun sudah ditawar mati-matian. Mungkin karena waktu kami datang bukan musim turis. Kalau harga bukaannya sih Rp 150.000,-. Mungkin itu kalau peak season nggak bakalan turun harganya. Kalau yang mengkilat dan sudah masuk ke pengrajin, harganya harusnya sudah lebih mahal lagi.
Hapus