Hari II : Pulau Kanawa – Manta Point – Gili Laba
Nggak ada yang namanya melihat sunrise. Bangun-bangun sudah jam 6 lebih.
Memang sengaja sih, soalnya pantai di Labuan Bajo bukan daerah sunrise.
Matahari terbit di belakang hotel, jadi tertutup dengan bukit-bukit di timur
kota. Jadi tidak ada insentif khusus untuk bangun pagi. (Memang pada dasarnya
malas sih ... Hehehe.)
Habis beres-beres, kami langsung turun ke bawah bukit untuk check out dan
makan pagi. Pilihan makan pagi tidak banyak. Ada mie goreng, pancake, cereal,
dan roti tawar. Tidak ada nasi goreng yang menjadi makan pagi standar di
hotel-hotel di Jawa. Pancake yang disediakan adalah pancake dengan
potongan-potongan pisang yang rasanya manis. Bentuknya tebal, padat, dan
bantat. Tapi rasanya enak. Satu pancake yang besarnya satu piring makan pun
habis saya makan seorang diri.
Tepian Pulau Flores yang kami lewati saat meninggalkan Labuan Bajo. |
Tepat jam 8 pagi, kami tiba di pelabuhan dan bertemu dengan Kak Mat. Kak
Mat adalah kapten kapal dan guide kami yang akan menemani kami selama dua hari
ini. Dia juga sekaligus pemilik kapal yang akan kami naiki. Kak Mat bercerita
bahwa dia punya dua kapal, dan kapal yang kami tumpangi adalah kapal yang lebih
baru. Walaupun bahan bakarnya solar, akan tetapi untuk kebutuhan listrik
lainnya dia menggunakan panel solar. Jadi, saat kami perlu cahaya lampu, kipas
angin, pompa air saat mandi, dan men-charge peralatan elektronik di malam hari,
tidak perlu menyalakan genset yang berisik. Kapal ini kecil tapi nyaman. Oh ya,
tidak ada AC yah. Kak Mat mengatur kapal dibantu oleh dua orang yang juga
merangkap sebagai koki dan tehnisi mesin.
Setelah mempersiapkan perlengkapan, termasuk memastikan peralatan snorkeling
yang dipinjam berfungsi dengan baik, kamipun berangkat meninggalkan Labuan
Bajo. Sepanjang perjalanan, kami menikmati pemandangan pantai dan pulau di
sekitar Labuan Bajo. Labuan Bajo adalah teluk yang dilindungi oleh
berlapis-lapis pulau. Sepanjang perjalanan, kami tengok ke kiri dan ke kanan
melihati pulau-pulau kecil yang lebih mirip seperti gundukan daun, rumput,
ataupun pasir yang menyembul dari permukaan laut. Sambil menikmati pemandangan,
tak lupa kami menikmati segepok pisang dan air putih yang disediakan di atas
meja makan. Persediaan air minum dingin berlimpah, jadi kami tidak perlu
khawatir kekurangan air minum yang menyegarkan.
Dermaga kecil di Pulau Kanawa, dan dasar laut berkoral di dekatnya. |
Setelah sekitar satu jam perjalanan, kami tiba di Pulau Kanawa. Pulau
Kanawa adalah private resort, dimana kapal nelayan dan kapal biasa tidak boleh
sembarangan mendekat, apalagi membuang jangkar di sekitar situ. Selain untuk
keamanan, hal ini juga dimaksudkan agar kapal-kapal itu tidak merusak terumbu
karang yang ada di sekitaran pulau. Jadi, kapal hanya menurunkan kami dan Kak
Mat di dermaga, lalu menjauh lagi ke laut dalam. Kak Mat bilang kalau kita akan
tes peralatan diving di sini, karena arusnya tidak deras dan tempatnya relatif
dangkal. Dalam hati, saya bersyukur ada uji coba di awal seperti ini. Kan saya
tidak bisa berenang ...
Sebelum nyemplung, kami sempat berjalan-jalan dulu menikmati keindahan
pulau Kanawa ini. Pasirnya putih dan halus. Dan di pantai yang landai ini,
sering ditemukan anak ikan hiu. Kami juga beruntung sempat melihat dua ekor
anak ikan hiu bermain-main di antara pasir di air dangkal di pinggir pantai.
Saat kami datang, resort ini cukup sepi sehingga tidak terlihat tanda-tanda
kehidupan, kecuali seorang bapak-bapak yang sedang merapikan barang-barang di
tepi dermaga.
Pasir putih di Pulau Kanawa. Di sini sering ada anak hiu berkeliaran. |
Kembali ke dermaga, Kak Mat meminta kami untuk bersiap-siap. Teman saya
yang memang sudah sering snorkeling buru-buru nyemplung ke air dengan peralatan
snorkeling tanpa pelampung (life jacket).
Dialah yang membawa kamera saya untuk foto-foto di bawah laut. Sementara itu, saya memastikan bahwa sepatu katak (fin) dan pelampung terpasang dengan baik, baru nyemplung. Karena
jarak jatuhnya dekat, kepala saya tidak sempat terendam air. (Untunglah, kalau
saya sempat terendam mungkin panik jadinya.) Setelah mengapung di air, barulah
saya memasang masker dan pipa untuk bernafas. Teman yang satunya lagi, yang biasanya
snorkeling dengan pelampung, karena melihat teman saya yang satunya nyemplung
tanpa pelampung, dia jadinya juga nyemplung tanpa pelampung.
Kami kemudian digiring oleh Kak Mat untuk melihat koral agak jauh dari
pantai. Berhubung saya tidak bisa berenang, saya hanya memasrahkan diri pada
pelampung dan diam saja melongok-longok melihat terumbu karang dan ikan-ikan
yang berenang dengan santai. Kedua teman yang lain sudah hilir mudik kesana
kemari.
Tiba-tiba teman saya (yang biasanya snorkeling pakai pelampung),
menarik-narik saya. Apa pasal? Oo... ternyata dia kecapaian untuk terus-terusan
melongok ke dasar laut sambil berenang. Soalnya dia jadi harus menjaga
keseimbangan sambil melongok ke bawah. Baru tahu saya, ternyata berenang biasa
dan berenang sambil snorkeling adalah dua hal yang sedikit berbeda. Terpaksa Kak
Mat kembali dulu ke dermaga untuk mengambilkan pelampung. Sementara teman saya
ini berpegangan ke pelampung saya. Jujur saja sih, waktu pelampung saya sempat
ditarik-tarik, saya sempat takut kalau tiba-tiba terguling. Tapi karena saya
tidak punya pilihan, ya sudah, kalau terasa miring ke kiri karena
ditarik-tarik, ya ikut mengayuhkan tangan ke kiri saja. Pokoknya, ikuti apa
saja yang ada dengan setenang mungkin. Tentunya sambil tetap melihat ke
karang-karang di bawah, soalnya bagus banget!
Kima di perairan Pulau Kanawa. Ini yang mengambil gambar teman saya. |
Setelah pelampung datang, teman saya jadinya bisa menggantung pada
pelampungnya sendiri sambil berenang kesana kemari. Jadinya saya pun ditinggal
sendirian dan kembali diam tenang menikmati karang-karang di dasar laut.
Tiba-tiba, saya merasa tidak ada orang di sekitar saya. Nampak dari jauh
teman-teman lain sedang berkumpul. Kepala mereka terlihat kecil dan kesannya
jauh. (Padahal dalam perjalanan pulang, saat mendapati fenomena yang sama
ketika melihat kepala penumpang lain di pesawat yang duduk di bagian depan,
saya baru menyadari bahwa jarak kami saat itu paling hanya 5 meter.) Jadinya
saya hanya melambai-lambai sambil berteriak supaya didatangi. (Berteriaknya pun
masih dengan pipa snorkeling di mulut.) Bukan apa-apa, saya benar-benar tidak
tahu bagaimana caranya belok kiri ataupun belok kanan. Sementara dengan
menggerak-gerakkan kaki serta tangan, rasanya saya tidak maju ke depan sama
sekali. Jadinya sekarang Kak Mat yang mendatangi saya dan menarik tangan saya
supaya berkumpul dengan yang lain.
Setelah semua beres, kamipun digiring (dalam arti sebenarnya) ke dermaga
untuk naik ke atas. Tentunya saya ditarik oleh Kak Mat supaya bisa mencapai
dermaga. Kak Mat sempat curiga saya tidak akan bisa membuka sepatu katak saat
di air sebelum memanjat dermaga. Untung tingkat kepasrahan saya terhadap
pelampung cukup tinggi, jadi walau sempat berputar-putar, saya tidak panik yang
bisa menimbulkan permasalahan baru. Sepatu katak dan perlengkapan snorkeling
diterima oleh salah satu awak kapal yang sudah bersiap untuk membantu kami
naik. Kami pun segera naik ke atas. Yak, itulah pengalaman saya snorkeling dan
berenang (mengapung) untuk pertama kalinya dalam hidup saya.
Untung sepulang snorkeling, kami mendapati makan siang sudah tersedia di
kapal. Perut yang lapar langsung menerima serbuan makanan yang masuk. Makan
siangnya lengkap, ada nasi, cumi, kangkung, tempe, dan sawi. Lauk favorit saya
adalah masakan tempe dan timunnya. Seingat saya, saya betul-betul makan seperti
orang kelaparan. Sementara kami makan siang, kapal melanjutkan perjalanannya.
Makan siang! Lengkap, kan? |
Dari Pulau Kanawa, kami dibawa naik kapal ke daerah yang disebut sebagai
Manta Point. Tempatnya jauh dari pulau manapun. Dari Pulau Kanawa, lama
perjalanan sekitar dua jam. Lautnya sedikit lebih dalam. Kata Kak Mat, arus di
sini deras, jadi tidak perlu berenang melawan arus. Cukup diam saja dan
mengikuti arus. Jujur saja, saya justru lebih tenang dengan keterangan ini.
Artinya, saya cukup mengapung saja. Ya kan? Sip ...
Begitu nyemplung, maka saya hanya diam dan menikmati pemandangan di dasar
laut. Jujur saja, di sini koralnya tidak terlihat terlalu jelas karena
posisinya memang agak ke dalam. Ikan yang lewat juga tidak banyak. Tapi karena
saya baru menikmati suasana laut lepas, saya senang saja melihat laut sambil
menggantung-gantung di permukaan air. Tiba-tiba Kak Mat menunjuk-nunjuk ke satu
titik. Saya sempat bingung, ada apa di sana. Setelah mata terbiasa, baru saya
menyadari, ada hitam-hitam yang bergerak-gerak. Tapi saya tidak bisa melihat
jelas. (Maklum, pengelihatan saya sebenarnya minus 1 ½.) Nah, keajaiban muncul
ketika tiba-tiba, di bawah kami ada “selembar” bayangan hitam bergerak. Cukup
dekat. Baru saya bisa melihat dengan jelas: itulah ikan manta. Kaget juga ikan
ini berenang lumayan dekat dengan kami.
Ikan manta yang lewat. Ini yang mengambil gambar Kak Mat. |
Kak Mat memberi kode ke teman saya untuk menyerahkan kamera. Dia lalu
mengejar ikan manta untuk memfotonya. Saya sih cuma sempat melihat dia melesat
ke bawah dan lalu sudah tak terlihat lagi. Jadinya saya kembali melihati ikan
manta lain yang lebih kecil yang lewat dekat-dekat situ. Menurut teman saya
yang sudah jago snorkeling, Kak Mat mengejar ikan manta itu ke dasar laut
dengan gesit, dan teman saya itu sampai tidak sanggup mengikuti kelincahan Kak
Mat.
Setelah ikan manta pergi, kami lalu menghabiskan waktu dengan berfoto ria sampai
tiba waktunya untuk melanjutkan perjalanan. Seperti biasa, saya sempat jauh
dari rombongan (maklum, masih bingung caranya belok kiri dan kanan), jadi saya
sempat harus ditarik Kak Mat dulu untuk berkumpul bersama rombongan.
Cara naik dari lautnya cukup membuat deg-degan. Karena arus cukup deras dan
ini di tengah laut, maka kapal akan mendatangi kami sambil melemparkan tali,
dan kami harus menangkap tali itu. Sambil berpegangan pada tali, kami akan
melepas seluruh peralatan snorkeling, menyerahkan ke kru yang ada di atas
kapal, lalu mengangkat diri dengan bantuan tali sampai dapat berpijak di tangga
di samping kapal. Pegangan talinya bersamaan, tapi naik ke kapalnya bergiliran.
Waktu masih terapung menunggu kapal datang, rasanya sih biasa. Begitu saya
terpaksa berusaha maju untuk menangkap tali (dan sukses tanpa bantuan orang
yah!) baru saya menyadari bahwa arusnya lumayan kencang. Sambil terseret-seret,
saya melepas peralatan snorkeling dan naik ke atas kapal. Dengan selamat,
tentunya. Hehehe ...
Satu jam perjalanan dari Manta Point, kami tiba di Pulau Gili Laba. Kapal
merapat di pinggir pantai. Di sini tidak ada dermaga. Jadi naik turun kapal
harus nyemplung ke air laut sekitar selutut. Di sini kami snorkeling lagi.
Lautnya sangat dangkal dan banyak karang yang bisa dilihat. Di sini kami
bertiga snorkeling sendiri tanpa dipandu Kak Mat. Karena dangkal, maka saya
baru memakai sepatu katak setelah masuk ke air. (Biasanya dipakai dulu, baru
nyemplung.) Memakainya pun seperti memakai sepatu biasa, satu-satu, lalu
kemudian mengapungkan diri. Entah kenapa, di sini saya tiba-tiba bisa maju
dengan tenang. Saya melewati ikan-ikan dan terumbu karang. Yay, akhirnya bisa
menavigasi badan di atas air! Kami berputar-putar dan foto-foto sampai puas.
Kak Mat memanggil kami dari atas kapal untuk bersiap karena kami akan trekking
ke salah satu puncak bukit di Pulau Gili Laba.
Salah satu pemandangan bawah air di Gili Laba. |
Sementara kami berganti baju yang kering, salah seorang awak kapal
mempersiapkan hidangan yang menyegarkan kami: pisang goreng! Begitu pisang
goreng terhidang, begitu pula pisang goreng habis karena kami semua kelaparan.
Sambil menunggu waktu yang pas untuk naik ke atas bukit, kami menyempatkan diri
untuk tidur-tiduran dan bersantai sejenak.
Sekitar jam 16:30 kami berjalan meninggalkan kapal menuju ke puncak salah
satu bukit terdekat. Dari atas bukit ini, kami bisa melihat selat kecil yang
membatasi Pulai Gili Laba dan Pulau Komodo. Lama perjalanan ke puncak sekitar
setengah jam. Itupun juga karena salah satu teman sempat kecapaian di tengah
jalan dan kami beristirahat lumayan lama. Jarak tempuh sebenarnya pendek, tapi
tingkat kecuramannya lumayan juga. Kadang jalan setapak bisa menanjak melebihi
45°. Untuk tiga
anak kota besar yang jarang olah raga seperti kami, perjalanan ke puncak bukit
ini terasa cukup melelahkan – dan mengingatkan kami bahwa kami terlalu banyak
duduk diam di kantor. Huh!
Pulau Komodo, dan selat kecil yang memisahkannya dengan Gili Laba. Foto diambil dari Gili Laba. |
Akan tetapi, begitu tiba di puncak, bukit. Seluruh rasa capai langsung
hilang. Pemandangan di Pulau Gili Laba itu b a g u s b a n g e t !! Arus air yang mengalir deras
melewati selat kecil menuju ke dalam teluk terlihat jelas. Gradasi warna biru
di laut, dan juga garis-garis arus air, terlihat seperti sapuan kuas pelukis di
air. Indah sekali. Nggak rugi kami berkeringat menuju ke puncak bukit.
Karena sudah terlalu sore, maka kami tidak sempat menuju ke bukit yang
satunya lagi untuk mendapatkan sunset di laut. Tapi tidak masalah. Foto-foto di
bukit sudah bagus. Turunnya, kami tidak melewati jalan terjal tadi, melainkan
jalan landai yang ada di sebelah barat bukit. Di sini kami melewati padang
rumput yang luas dan juga semak-semak. Lengkap sudah trekking kami, ada
tanjakan curam, batu-batu karang, rumput, dan semak. Saat sudah mulai gelap,
kami pun tiba di kapal.
Sunset di Pulau Gili Laba. |
Setelah mandi, kami pun makan malam. Malam itu, kami menginap di atas
kapal. Kata kedua teman saya, mereka kesulitan tidur nyenyak. Untung saya kebo, dimanapun saya berada, saya bisa tidur dengan tenang. Saya
hanya bangun dua kali karena kipas angin suaranya berisik.
Di kapal kami listrik dihasilkan oleh panel solar. Jadi kapal kami
sebenarnya tidak terlalu berisik. Ada beberapa kapal lain yang ada di dekat
kami. Kapal-kapal yang lebih besar dari kami. Kapal-kapal itu berisik karena
mereka menyalakan genset. Salah satu kapal, katanya menggunakan AC. Tapi kapal
dengan AC sudah pasti berisik karena harus pakai genset. Tenaga surya kurang
kuat untuk menyalakan AC.
Oh ya, untuk menghemat listrik, maka terminal listrik (colokan listrik),
lampu dan kipas angin, serta pompa air tawar untuk mandi hanya dinyalakan sesuai
permintaan. Dan, sekali menyala sebaiknya langsung dimanfaatkan secara
maksimal. Misalnya, kalau mandi langsung berurutan tanpa jeda untuk menghemat
listrik pompa air, atau men-charge kamera dan handphone bersamaan. Kalau
kehabisan listrik, kan kami sendiri yang susah.
Kapal kami. Foto ini aslinya gelap karena diambil di waktu malam. |
Kamar tidur di waktu malam panas. Kipas angin yang sangat kecil tidak bisa
mendinginkan kamar, makanya sebenarnya lebih baik pintu kamar dibuka. Tapi
karena kami bertiga perempuan semua, apa boleh buat, keamanan nomer satu. Pintu
kamar ditutup dan kami berpanas-panasan dengan mengandalkan kipas angin kecil
yang berisik itu. Hal yang menyenangkan dari tidur di kapal adalah: tidak ada
nyamuk ataupun serangga kecil lainnya. Itu saja.
(bersambung)
0 Komentar:
Posting Komentar