Kali ini, saya akan mengisahkan tentang pengalaman saya, yang tidak bisa
berenang, snorkeling untuk pertama kalinya. Jadi kalau judulnya adalah
“terapung-apung”, itu tidak salah! Soalnya saya memang cuma mengapung-ngapung
saja dengan pelampung sambil menikmati keindahan terumbu karang di pulau-pulau
di barat pulau Flores ini.
Dua teman saya bisa berenang dan memang gemar snorkeling. Mereka minat
banget untuk melihat-lihat terumbu karang di sekitaran Flores yang konon
kabarnya aduhai. Saya, yang tidak bisa berenang, tadinya cuma berminat untuk
duduk-duduk di tepi pantai saja atau trekking di dekat-dekat situ. Untung saya
berubah pikiran dan jadinya ikutan snorkeling. Rugi besar, jalan-jalan di lepas
pantai Labuhan Bajo tanpa mengintip keindahan taman lautnya!
Pulau-pulau di barat Flores, dilihat dari pesawat. |
Hari I : Labuan Bajo (Gua Batu Cermin dan Wisata Kuliner Kampung Ujung)
Saya memang sudah membeli tiket jauh-jauh hari. Di bulan Agustus 2013, saya
sudah membayar tiket PP Jakarta – Labuan Bajo untuk perjalanan ini. Paling
tidak harganya masih masuk akal. Dan, masih ada sekian bulan untuk mengumpulkan
uang untuk membiayai seluruh kebutuhan selama jalan-jalan.
Labuan Bajo terletak di bagian barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Dulunya kota ini adalah kota nelayan biasa. Berkat Taman Nasional Komodo yang
menyimpan keindahan alam dan fauna yang dikenal di seluruh dunia, turis-turis
berdatangan meramaikan kota ini. Kota ini merupakan pintu masuk wisatawan yang
akan berkunjung ke Pulau Komodo.
Pesawat berangkat dari Jakarta jam 6:20 WIB dan tiba di Denpasar jam 09:10
WITA. Transit. Berangkat dari Denpasar jam 10:20 WITA dan tiba di Labuan Bajo
jam 11:40 WITA. Untung tiba di Labuan Bajo siang hari. Masih ada waktu untuk
jalan-jalan di sekitaran Labuan Bajo sebelum bersiap berangkat ke pulau-pulau
esok hari.
Saat saya tiba, Bandara Komodo Labuan Bajo sedang renovasi. Rencananya
bandara akan diperluas agar dapat menerima pesawat yang lebih besar dan dapat
menampung lebih banyak pengunjung. Karena sedang renovasi, saya maklum kalau
suasananya sangat tidak nyaman. Pintu keluar bandara lebih mirip seperti pintu
keluar pasar karena jalannya sempit dan kiri-kanannya seng. Orang-orang yang
berkerumun menambah kesan “pasar”-nya.
Jenis pesawat yang bisa mendarat di Bandara Komodo, Labuan Bajo. |
Memang saat ini hanya pesawat ukuran kecil saja yang dapat mendarat di
Labuan Bajo. Itu, pesawat yang ada baling-baling besar di sayapnya. Pesawat
yang saya naiki adalah jenis ATR-72 500 yang total jumlah kursi penumpangnya hanya
78. Di setiap barisnya, hanya ada empat kursi: dua di kiri jalan dan dua di
kanan jalan. Pintu penumpang hanya ada di bagian belakang, dan orang-orang
benar-benar harus antre untuk keluar ataupun masuk ke dalam pesawat.
Untung sekali ada kenalan yang bersedia menjemput kami dari bandara. Taksi
yang ada di sini adalah mobil sewa. Jangan harap bisa melihat armada taksi yang
umum dilihat di bandara-bandara besar. Tidak terlihat tanda-tanda kendaraan
umum seperti bus atau angkot di dekat-dekat bandara. Kalau tiba di Labuan Bajo
dengan pesawat dan tidak dijemput siapa-siapa, mau tidak mau pilihannya hanya
taksi tembak atau ojek.
Seluruh kegiatan turisme di Labuan Bajo berpusat di sekitar pelabuhan.
Artinya, seluruh operator tur, penyelenggara kursus dan tur diving, tempat
makan-makan, dan hotel-hotel juga adanya di sini. Kalau tujuannya adalah untuk
liburan ke pulau-pulau (P. Rinca, P. Komodo, P. Bidadari, dan lain-lain) maka
Anda pasti akan menginap di dekat pelabuhan. Bahkan, untuk tujuan lain seperti
Kelimutu atau Wae Rebo, kemungkinan akan menginap dahulu di sekitaran
pelabuhan. Perjalanan dari bandara ke pelabuhan lamanya sekitar 15 menit.
Pelabuhan di Labuan Bajo. |
Karena dijemput, maka kami bisa berjalan-jalan dulu ke tujuan lain sebelum
masuk hotel. Tujuan kami siang itu adalah ke Gua Batu Cermin. Gua Batu Cermin
letaknya masih di dalam kota Labuan Bajo, sehingga cukup dekat dari bandara. Perjalanan
dari bandara ke Gua Cermin Batu dapat ditempuh dalam 15 menit.
Gua Batu Cermin pertama kali ditemukan tahun 1951 oleh Theodore Verhoven,
seorang pastor dan arkheolog Belanda. Ia menemukan fosil-fosil hewan laut dan
koral, lalu mengambil kesimpulan bahwa dulunya daerah ini berada di dasar laut.
Menurut guide kami, saat pertama kali ditemukan, gua ini memang masih tergenang
air. Gua Batu Cermin sendiri sebenarnya adalah lorong di bawah bukit batu yang
gelap. Bukit batu yang menjulang dengan ketinggian sekitar 70 m ini terlihat
seperti sebongkah batu karang raksasa.
Pohon bambu khas Flores. |
Untuk menuju ke gua, kami harus melewati taman dengan pohon-pohon bambu
yang merupakan tanaman endemik Flores. Tanaman bambu ini unik, karena
cabang-cabangnya saling menyilang sehingga dari jauh bentuknya menyerupai semak
berduri raksasa. Bambu yang berada di kiri kanan jalan setapak membentuk
semacam lorong bambu yang bisa melindungi pejalan kaki dari sinar matahari.
Dari taman bambu, kami tiba di bukit batu dan mulai menaiki tangga batu untuk
menuju ke mulut gua. Untuk masuk ke dalamnya, kami harus ditemani oleh seorang
guide dan harus membawa senter serta menggunakan helm. Senter dan helm
disediakan oleh guide. Senter dibutuhkan karena di dalam gua sangat gelap, sedangkan
helm karena langit-langit gua kadang sangat pendek sehingga kalau salah gerak
kepala bisa terantuk stalagtit. Karena gua ini gelap dan relatif sempit, maka jumlah
orang yang masuk tidak bisa terlalu banyak. Untuk rombongan besar (misalnya 20
orang) pasti akan bergiliran.
Bukit batu, dengan celah menuju ke Gua Batu Cermin. |
Yang istimewa dari gua ini adalah celah di langit-langit di salah satu bagian
gua yang dapat menjadi pintu masuk berkas cahaya matahari yang nampak kebiruan.
Kabarnya, kalau musim hujan, air yang merembes di dinding gua dan menggenang di
dasar gua akan memantulkan cahaya sehingga menjadi seperti cermin. Itulah
sebabnya gua ini disebut sebagai Bua Batu Cermin. Fenomena berkas cahaya ini
juga tidak terjadi setiap saat, hanya di pagi hari menjelang siang saja.
Kebetulan, kami datang pada saat yang tepat! Saat itu sekitar jam 11 siang,
dan ada satu titik cahaya yang muncul. Berkas cahaya yang jatuh ke dasar gua menjadi
semacam spotlight di panggung. Berkas cahaya yang berwarna kebiruan memang
menjadi pemandangan yang indah setelah bergelap-gelap di dalam gua. Kalau musim
hujan, mungkin refleksi cahaya yang ditimbulkan akan lebih bagus.
Berkas cahaya matahari yang jatuh ke dinding gua. |
Selain berkas cahaya, hal menarik lain dari gua ini adalah fosil-fosil
hewan laut dan koral yang ada di dinding gua. Ada fosil penyu, fosil ikan, dan
juga fosil koral. Sayangnya, belum ada penelitian ilmiah yang mendalam tentang
asal-muasal fosil-fosil tersebut. Di
dalam gua, kita juga bisa menjumpai beberapa ekor kelelawar dan laba-laba
besar. Kalau berminat berkunjung ke Gua Batu Cermin, disarankan pagi atau
menjelang siang supaya bisa melihat masuknya berkas cahaya matahari ke dalam
gua.
Kami makan siang di rumah makan bernama Pesona Bali. Lho? Kok Bali? Kurang
tahu juga kenapa pemiliknya justru memberikan nama pulau lain. Yang jelas,
makan siang di sini tidak rugi karena pemandangannya yang bagus. Rumah makan
ini berada di atas bukit dan menghadap ke pantai, jadi pengunjung bisa makan
sambil memandangi kapal-kapal yang hilir mudik di pelabuhan.
Setelah makan, kami langsung menuju ke hotel. Untuk malam ini, kami menginap
di Hotel Gardena. Kamar-kamar di sini bentuknya lebih berupa bungalow. Hotel
ini terletak di sisi bukit yang menghadap langsung ke pelabuhan. Pemandangannya
dijamin membuat terpukau. Tapi, karena ini kompleks bungalow di bukit, jangan
harap ada lift yang mengantar kita ke kamar dengan santai. Kamar kami terletak
di atas bukit. Untuk mencapai kamar, kami masih harus mendaki kurang lebih 8
menit. Tapi begitu kami sampai di depan kamar, kami langsung disambut oleh
pemandangan pelabuhan yang mantap! Yah, tidak rugi kami harus naik turun bukit
untuk keluar masuk hotel.
Pemandangan pelabuhan, dilihat dari depan kamar kami. |
Setelah istirahat sejenak dan mandi, kami lalu turun bukit untuk
jalan-jalan di sekitar pelabuhan. Pelabuhan ini adalah pusat kegiatan di Labuan
Bajo. Kapal barang, ferry, kapal pesiar, dan kapal nelayan semuanya ada di
sini. Ada pasar ikan dan tempat lelang ikan juga. Di sepanjang jalan ada banyak
hostel dan operator tour. Bahkan ada beberapa pengumuman seperti “Depart to
Komodo Island every morning” atau “Need one more person for Rinca tour tomorrow at 8”.
Ada juga toko barang oleh-oleh, tetapi jumlahnya tidak banyak. Justru lebih banyak
toko-toko kebutuhan umum (untuk penduduk) seperti toko tas, toko baju, toserba,
bank, atau barang-barang plastik dan besi. Di sepanjang jalan, yang banyak
bersliweran adalah turis asing dan penduduk lokal. Agak sedih juga kenapa turis
Indonesia masih kurang jumlahnya di sini.
Wisata Kuliner Kampung Ujung. |
Kami makan malam di Kampung Ujung. Nama lengkapnya Wisata Kuliner Kampung
Ujung. Di sini pedagang baru mulai buka lapak sekitar jam 6 sore. Ada banyak
pilihan makanan. Ada ikan bakar, sop ikan, bakso, mie ayam, nasi goreng, ayam
goreng, juice, dan es buah. Ikan bakar sudah pasti menjadi favorit turis di sini. Kalau berminat, kita
dapat memilih sendiri ikan yang akan dibakar atau dibuat sop. Ikan-ikan itu
disusun di dalam coolbox atau kotak kaca dengan es, dan pengunjung tinggal
menunjuk ikan mana yang diplih. Semua ikan di sini enak, karena masih segar dan
hidupnya di air yang tidak terkena polusi. Ikan bakar disajikan dengan lalapan,
sambal plecing lengkap dengan sayurannya, dan terong goreng. Untuk hidangan
pencuci mulut, buah yang paling sering disajikan adalah pepaya.
Sop ikan dan ikan bakar, hidangan utama di Kampung Ujung. |
Tapi favorit saya adalah es teler. Es teler di sini tidak sama dengan Es Teler
77 di Jakarta. Es teler di sini terdiri dari agar-agar, kelapa, dan kacang,
yang dicampur dengan serutan es, susu kental putih, dan susu kental coklat. Kacangnya
keras seperti camilan biasa, jadi kriuk-kriuk di mulut. Rasanya enak sekali. Di
Labuan Bajo tidak ada makanan lokal khas, kecuali ikan bakar. Ikan bakar di
sini pun, sambalnya hampir sama dengan sambal ikan bakar di Bali. Jadi, es
teler itu saja yang menjadi satu-satunya kenangan kuliner khas Labuan Bajo bagi
saya.
Di luar Kampung Ujung, ada juga beberapa tempat makan lain. Kalau hobi
minum bir, di Labuan Bajo terdapat beberapa bar dan tempat minum. Kalau ingin
makan makanan barat, ada dua rumah makan Italia yang memang dimiliki oleh orang
Italia. Tapi tempat makan warungan adanya ya di Kampung Ujung.
Salah satu sudut di dekat pelabuhan Labuan Bajo. |
Di luar deretan tempat makan di Kampung Ujung dan toko serta kantor agen
travel di sekitar pelabuhan, saya rasa tidak ada banyak tempat yang bisa
dilihat di sini. Ada beberapa titik sunset yang bagus, misalnya Paradise Bar and
Restaurant (agak jauh dari pelabuhan) atau di Laprima Hotel dan Jayakarta Hotel
(juga agak jauh dari pelabuhan). Akan tetapi di daerah pelabuhan sendiri,
sunset tidak terlalu bagus. Masalahnya, pelabuhan dikelilingi oleh beberapa
pulau kecil sehingga matahari biasanya turun di balik salah satu pulau itu. Jadi
tidak ada pemandangan sunset, adanya adalah langit senja yang berangsur-angsur
menjadi gelap.
Sunset. Matahari tenggelam di balik pulau, dilihat dari Kampung Ujung. |
(bersambung)
Halo, kenapa tidak di info rincian biaya? Saya ada rencana kesana, tapi buta soal rincian biaya mengenai trip 1 day snorkeling dan keliling pulau. Ada info harga dan tips nya? Terima kasih
BalasHapusHalo Adri! Untuk info harga bisa lihat di bagian 4 dari tulisan ini yah. (Ini baru bagian 1). Saya ambil paket yang sewa kapal semalam, karena kalau mau ke Pulau Komodo memang harus menginap - jaraknya lumayan jauh.
HapusKalau cuma mau snorkeling + lihat hewan komodonya sehari (tidak menginap di kapal), ya hanya bisa ke Pulau Rinca. Harga paket bervariasi, lebih murah kalau rombongan (tidak private). Kalau nggak salah, di pinggir jalan bisa ada penawaran group (ke Rinca) yang harganya cuma USD 20 per orang, tapi itu mungkin karena pesertanya banyak.