Asyik! Jalan-jalan lagi! Kali ini menyeberang
lautan ke Tanah Minang untuk ... jalan-jalan dan wisata kuliner! Menginap di
Padang selama dua malam, tapi jalan-jalannya kemana-mana. Berikut perjalanan
kami ...
Hari 1 : Sawahlunto
Berangkat dari Jakarta sekitar jam 9 pagi, tiba di
bandar udara Internasional Minangkabau sekitar jam 10:30 pagi. Sekitar jam 11
siang kami keluar bandara. Tanpa ditunda-tunda, kami langsung bergerak ke
Sawahlunto. Untuk transportasi, kami memutuskan untuk menyewa mobil selama tiga
hari penuh. Karena kami berempat, biaya bisa dibagi merata. Lumayan, kan.
Selain itu, tidak terlalu banyak waktu terbuang karena menunggu kendaraan umum.
(Belakangan kami juga nyadar kalau sopir kami itu suka melambatkan mobil dan
membelokkan mobil ke jalan-jalan yang tidak perlu. Makanya kami tidak bisa
pergi ke banyak tempat. Lain kali harus lebih hati-hati dalam memilih mobil
rental.)
Sawahlunto terletak sekitar 95 kilometer dari kota
Padang. Perjalanan kami dari bandara ke Sawahlunto sekitar 2,5 jam, dengan
berjalan lambat-lambat karena hujan dan kabut. Sawahlunto terletak di area
perbukitan, jadi tidak heran kalau perjalanan kami juga harus menembus kabut.
Ada dua tempat yang kami kunjungi di Sawahlunto, yaitu Museum Gudang Ransoem
dan Lubang Mbah Soero.
Museum Goedang Ransoem |
Museum Gudang Ransoem dulunya adalah dapur umum
untuk orang rantai, yaitu para tahanan yang menjadi pekerja di tambang batu
bara di jaman Belanda. Wajan, kuali, dan tungku yang dipajang disana ukurannya
luar biasa. Maklum, jumlah orang yang diberi makan di masanya bisa mencapai
ribuan orang. Di tembok terpasang foto-foto tempo dulu yang menunjukkan
keseharian di dapur umum di masa kejayaannya. Di area museum ini juga
dipamerkan granat dari jaman perang yang ditemukan di dekat situ, dan juga ada
ruang pameran pakaian pengantin dan seni budaya dari berbagai suku/daerah di
sekitar Sawahlunto. Harga tiket masuk Rp 4.000,- per orang.
Kuali tempat memasak makanan di dapur umum tambang batu bara jaman Belanda |
Masih di jalan yang sama, setelah melewati
rumah-rumah penduduk yang dulunya adalah barak pekerja tambang, kami tiba di
Lobang Mbah Soero.
Lobang Mbah Soero adalah lubang pertama yang
dibuka sebagai jalan tambang batubara di Sawahlunto. Nama tempat ini diambil
dari nama salah satu mandor para pekerja di sini, yaitu Mbah Soero. Lubang ini
aslinya panjangnya mencapai beberapa kilometer dan bertingkat-tingkat. Akan
tetapi yang dibuka untuk turis hanya sekitar 200 m, dan hanya di tingkat
pertama (total jalan di dalam gua hanya sekitar 15 menit).
Lobang Mbah Soero, sedang ada renovasi saat kami datang |
Tadinya sempat deg-degan juga karena di internet
beredar kabar bernuansa mistis yang terkait dengan lubang tambang tersebut.
Tapi saat masuk, tidak ada rasa merinding dan tidak ada rasa takut. Lubang
tambang yang dibuka untuk wisata sudah bersih, terang (ada lampu penerangan),
dan segar (ada pipa sirkulasi udara yang baik). Jadi pengunjung bisa berjalan
dengan tenang dan meraba dinding batubara yang basah terkena rembesan air.
Kalau melewati lorong yang menurun ke tingkat di bawah (tingkat dua), terdengan
suara aliran air karena tingkat-tingkat yang di bawahnya dipenuhi oleh air
rembesan dari sungai Ombilin.
Bagian dalam Lobang Mbah Soero, dengan dinding batu bara asli |
Di dalam gua ini juga bisa foto-foto, jadi masih
bisa narsis di dalam gua. Jumlah orang yang boleh masuk per jamnya terbatas,
karena masalah sirkulasi oksigen di dalam gua. Untung waktu kami datang,
pengunjungnya hanya grup kami saja.
Di dekat gua, ada Info Box, yaitu gedung informasi
yang juga merangkap sebagai museum kecil untuk memberikan informasi tambahan
tentang lubang Mbah Soero. Di sini ada patung para pekerja tambang, dan juga
foto-foto orang rantai yang dipekerjakan secara paksa di sini. Ada juga pameran
sisa-sisa rantai dan perlengkapan yang dipergunakan para pekerja ini.
Info Box di areal Lobang Mbah Soero |
Karena saat meninggalkan gua hari sudah menjelang
sore, maka kami kembali ke Padang untuk check in hotel. Sepanjang perjalanan
saya masih sempat menikmati lagi kota Sawahlunto. Di kota ini ada banyak
gedung-gedung peninggalam kolonial Belanda. Selain itu, di jalan juga masih
dapat ditemui rumah gadang yang nampak tua namun terurus dengan baik. Di tengah
kota, terlihat Silo yang masih berdiri kokoh dari jaman kolonial dulu, dan di
atas bukit ada tulisan “Sawahlunto” bak di Hollywood.
Hari 2: Istana Pagaruyung dan Bukittinggi
Hari ini jadwalnya padat. Soalnya mau ke Istana
Pagaruyung dan ke Taman Panorama Ngarai Sihanok. Walaupun begitu, karena nuansanya
liburan, tetap saja semua orang bangunnya kesiangan! Berangkat dari hotel jam
07:00 pagi, makan pagi sebentar, lalu langsung berangkat ke Batusangkar.
Tujuannya adalah untuk melihat Istano Basa Pagaruyung, yang merupakan tempat
kediaman raja-raja Minangkabau jaman dahulu kala. Akan tetapi di perjalanan
kami sempat mampir-mampir sebentar di tempat wisata lain. Di perjalanan menuju
Istana Paguruyung, kami melewati Lembah Anai dan Danau Singkarak.
Air terjun Lembah Anai, difoto dari dalam mobil yang melaju |
Lembah Anai adalah deretan bukit di Padang Panjang,
di jalan utama penghubung antara kota Padang dan kota Bukittinggi. Landmark dari Lembah Anai adalah Air
Terjun Lembah Anai yang letaknya persis di pinggir jalan. Orang yang sedang
melakukan perjalanan dari Padang ke Bukittinggi dapat menikmati air terjun ini,
bahkan tanpa perlu menghentikan mobilnya. Di dekat air terjun ini ada jembatan
rel kereta api yang sudah tidak digunakan lagi.
Jalan raya Padang-Bukittinggi, dengan latar belakang rel kereta api tua di Lembah Anai |
Tepat sebelum menuju ke Batusangkar, tempat Istana
Pagaruyung, kami berbelok sebentar menuju danau Singkarak. Danau Singkarak
dikenal oleh turis sebagai tempat Tour de Singkarak, pertandingan sepeda di
alam terbuka. Di bidang kuliner, danau ini dikenal sebagai tempat penangkapan
ikan bilih, yang bisa dijadikan kudapan dan lauk. Saat kami tiba di tepi danau,
cuaca mendung dan sedikir berkabut, sehingga pantai di seberang tidak dapat
terlihat dengan jelas. Rasanya seperti menghadap laut tenang, dengan batas cakrawala
jauh di mata – tapi dingin.
Danau Singkarak |
Dari Danau Singkarak, barulah kami melanjutkan
perjalanan ke Istana Pagaruyung. Istano Basa Pagaruyung yang ada sekarang
sebenarnya adalah replika dari istana aslinya yang sudah habis terbakar di
tahun 2007. Di sini pengunjung bisa menyewa pakaian tradisional Minangkabau dan
berfoto-foto. Ada juga sisa-sisa barang-barang dari istana aslinya yang sempat
diselamatkan saat terjadi kebakaran di tahun 2007. Pemandangan di sini bagus
banget. Kalau berkunjung, jangan sampai melewatkan kunjungan ke lantai 3 untuk
memfoto pemandangan di sekitar istana. Harga tiket masuk Rp 7.000,- Untuk sewa
pakaian tradisional, biayanya Rp 30.000,-, belum termasuk foto oleh tukang foto
di situ. Ada juga penyewaan kuda di luar istana, dengan harga tersendiri.
Istano Basa Pagaruyung |
Setelah puas berfoto-foto di Istano Basa
Pagaruyung, kami melanjutkan perjalanan ke Taman Panorama Bukittinggi. Tujuan
utamanya adalah melihat Ngarai Sihanok yang termahsyur keindahannya itu. Di
perjalanan, terutama di area Batusangkar, kami banyak menjumpai rumah-rumah
tradisional yang terawat dan masih dihuni. Rumah gadang yang ada di
Batusangkar, menurut saya, jauh lebih bagus dibandingkan yang ada di Sawahlunto.
Di Bukittinggi, selain rumah gadang, ada juga rumah-rumah jaman kolonial. Oh
ya, di tengah jalan kami menyempatkan diri mampir ke Pandai Sikek untuk mencari
oleh-oleh kain tenun dan sarung khas Minangkabau.
Karena kami makan siang di Pasar Wisata
Bukittinggi, di daerah Pasar Ateh, maka kami berkesempatan untuk mampir ke Jam
Gadang dan berfoto-foto di situ. Jam Gadang adalah landmark kota Bukittinggi, yang mana semua wisatawan yang datang ke
sini wajib berfoto dengan Jam Gadang ini. Di sekitar Jam Gadang, banyak penjual
makanan, termasuk nasi kapau dan sate khas Bukittinggi. Untuk bersantai sambil
makan dan mengobrol, tempat ini cocok untuk dijadikan pilihan.
Jam Gadang di Bukittinggi |
Dari Jam Gadang, kami naik kereta kuda (delman)
menuju ke Taman Panorama/Lobang Jepang. Jalan di sekitar pasar sangat macet,
dan kereta kuda memerlukan waktu sekitar 15-20 menit untuk mengantar kami tiba
di Taman Panorama. Taman Panorama adalah taman yang dibangun oleh pemerintah
setempat sebagai tempat wisata dan tempat menikmati keindahan Ngarai Sihanok.
Ngarai Sihanok, difoto dari Taman Panorama |
Ngarai Sihanok adalah lembah curam yang ada di
Kabupaten Agam, dan menjadi batas kota Bukittinggi. Di dasar ngarai ada sungai
Sihanok yang juga menjadi obyek wisata tersendiri. Di Taman Panorama juga ada Lobang
Jepang yang merupakan bunker yang dibangun di masa penjajahan Jepang. Lobang
Jepang ini sebenarnya panjang, namun yang menjadi area turis hanya sampai
dinding ngarai Sihanok yang tepat berada di bawah Taman Panorama. Menurut
penulis, Taman Panorama ini kurang terawat. Kalau dimaksudkan untuk tujuan
wisata nasional, masih banyak yang harus dirapikan dari taman ini. Tiket masuk
ke Taman Panorama dan Lobang Jepang Rp 8.000,-
Ngarai Sihanok, difoto dari dasar ngarai |
Keluar dari Taman Panorama, hujan turun. Jadi kami
tidak sempat pergi jauh-jauh. Cukup makan sore di salah satu rumah makan di
dasar ngarai sambil menikmati tebing-tebing yang masih alami, dan lalu mampir
membeli oleh-oleh khas Bukittingi sebelum kembali ke Padang. Oh ya, dalam perjalanan menuju tempat beli oleh-oleh, kami melewati rumah tempat kelahiran Bung Hatta. Lumayan, tanpa sengaja dapat deh, satu tempat bersejarah di sini.
Rumah kelahiran Bung Hatta |
Hari 3: Pantai Carocok dan Puncak Langkisau
Hari terakhir liburan. Jadi harus dimaksimalkan!
Tujuan terakhir kami adalah Pantai Carocok. Jam 9 pagi berangkat dari hotel, keliling
kota Padang sebentar, baru kemudian lanjut ke daerah Painan, tempat di mana
Pantai Carocok berada. Tapi sebelum keliling bareng-bareng naik mobil dengan
teman-teman, saya memutuskan untuk bangun pagi dan jalan-jalan di Pantai Padang.
Pantai Padang di pagi hari |
Pantai Padang adalah pantai sunset, karena
menghadap ke barat. Kalau pagi, tempat ini tidak terlalu ramai. Tapi kalau sore
hari, warung dan pedagang makanan berjajar di sepanjang pantai. Sepeda motor
berjajar parkir di sepanjang jalan, dan orang lalu-lalang sambil menikmati
makanan atau sekedar jalan-jalan. Pagi hari di Pantai Padang enak untuk jogging
atau jalan santai. Pantai Padang adalah pantai berbatu dengan dinding batu
buatan untuk memecah ombak dan mencegah abrasi.
Jembatan Siti Nurbaya |
Kota Padang adalah kota bisnis, bukan kota wisata.
Tempat pemberhentian yang menarik di sini adalah Jembatan Siti Nurbaya dan
daerah Pecinan yang masih menyimpan banyak kuil cina dan rumah-rumah dari jaman
dahulu kala. Tapi begitu keluar Padang, ke arah utara maupun selatan,
pemandangannya membuat berdecak kagum.
Pulau di seberang Pantai Carocok |
Pantai Carocok terletak di selatan kota Padang. Perjalanan
ditempuh sekitar 2 jam. Pantai Carocok istimewa dibandingkan pantai-pantai lain
umumnya karena pantai ini memiliki pulau-pulau kecil yang landai dan berpasir
putih. Pulau-pulau ini jaraknya hanya 10 menit naik kapal kecil, jadi masih
terlihat jelas dari bibir pantai. Air laut di sini tenang, sehingga cocok untuk
segala jenis wisata air, termasuk banana
boat dan waterskiing.
Pantai Carocok yang berbatu-batu sedimen dan berkarang |
Walaupun pulau-pulaunya indah, Pantai Carocok
sendiri tidak sepenuhnya berpasir putih. Sebagian besar areal pantai justru
dipenuhi karang dan batu-batu sedimen. Untuk berjalan di atas karang-karang
itu, dibangun jembatan permanen yang memungkinkan pengunjung berjalan di atas
karang-karang dan mengamati kerang-kerang dan ikan-ikan kecil, tanpa perlu
menginjak karang yang tajam-tajam itu. Untuk yang hobi kuliner, pantai ini
cocok untuk menjadi tujuan wisata. Ada banyak warung makan ada di sini. Oh ya,
tiket masuk harganya Rp 5.000,-
Dari Pantai Carocok, kami melanjutkan perjalanan
ke Puncak Bukit Langkisau, untuk melihat pemandangan garis pantai Sumatera
Barat. Puncak Langkisau adalah tempat olah raga paralayang. Di puncak bukit
ini, ada “landasan” tempat persiapan untuk “terbang”, dan juga windsock yang menjadi alat petunjuk arah
angin. Pemandangan di sini, asli, bagus banget! Terutama pemandangan Pantai
Salido dan Pantai Sago. Kalau bisa datang ke sini seharian, boleh juga mencoba
olah raga paralayang!
Pemandangan dari Puncak Bukit Langkisau |
Dari Puncak Langkisau, kami kembali ke Padang
sebentar untuk menambah belanja oleh-oleh, lalu berangkat ke bandara untuk
pulang kembali ke Jakarta. Sebenarnya, selain tempat wisata, Sumatera Barat
juga afdol untuk menjadi tempat wisata kuliner. Tak ketinggalan, kami juga
mencicipi berbagai hidangan khas Suamtera Barat yang membuat terbayang-bayang
sampai sekarang. Untuk wisata kulinernya, akan dibahas khusus di artikel
berikutnya. Nyam!
(selesai)
ini paket liburan yg asik :D
BalasHapusinformasi yg sangat berguna..
kunjungi juga kami di Tour De Singkarak : Sport & Island 4D 3N
makasii..
Salam..izin promot kat laman ni,kami sinar alam wisata tour and travel di padang bukittingggi indon,bila tuan/puan nak merancang melancong kat padang bukittinggi kami menyediakan perkhidmatan pakej percutian dan sewa pelbagai kereta dengan harga jimat dan berbaloi.
BalasHapusWassap +6285356000747
Emel sinaralamwisata1409@gmail.com
Website www.sinaralamwisata.com