Penulis berfoto dengan latar belakang relief di Candi Borobudur. |
Candi Mendut
Kalau datang ke arah Candi Borobudur dari kota
Yogyakarta, maka candi pertama yang kita temui adalah Candi Mendut. Posisi
candi ini sekitar 3 kilometer sebelum candi Borobudur. Perjalanan kami dari
hotel ke candi ini sekitar satu jam lebih sedikit.
Candi Mendut. |
Candi Mendut letaknya tepat di pinggir jalan, jadi
tidak akan bisa terlewatkan begitu saja. Di sekitar Candi Mendut ada banyak
kios-kios cinderamata. Kalau berminat membeli kaos, atau barang-barang lain,
bisa dapat harga yang lebih murah dibandingkan di Candi Borobudur. Tapi kalau
dari pilihan, memang tidak sebanyak di pasar di areal Candi Borobudur. Oh ya, tiket masuk kompleks Candi Mendut Rp 3.000,-, sudah termasuk biaya masuk ke Candi Pawon. (Di tiket tertulis kedua nama candi tersebut.)
Candi Mendut adalah candi Budha. Di dalam candi terdapat
tiga patung Budha dalam pencitraan yang berbeda-beda. Sedangkan di dinding luar
candi, ada banyak relief-relief indah yang mengisahkan cerita-cerita tentang
kebajikan. Di dekat candi ada lapangan rumput luas, yang mana di tengahnya ada
sebatang pohon beringin tua. Tempat ini memang sejuk dan menyenangkan. Tak
heran, orang mendirikan Vihara dan tempat pertapaan agama Budha tepat di
sebelah areal candi.
Stupa di areal Vihara Mendut. |
Areal Vihara ini terbuka untuk umum dan gratis. Disini ada
banyak patung Budha dan ornamen buddhist. Ada patung Budha berbaring juga lho!
Di tengah taman, ada stupa besar dan patung Budha dalam posisi lotus. Memang
suasananya cocok untuk meditasi dan menenangkan diri.
Candi Borobudur
Memang kurang rasanya, kalau pergi ke kota
Yogyakarta tanpa mengunjungi Candi Borobudur. Candi ini dikenal namanya di
seluruh dunia sebagai salah satu keajaiban dunia. Tidak heran, tempat ini
banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara. Selama di areal Candi Borobudur,
saya bertemu dengan turis-turis yang berbicara dalam bahasa Jepang, Korea,
Itali, dan tentu saja bahasa Inggris. Dan masih ada bahasa lain yang saya tidak
bisa mengira-ngira asalnya.
Candi Borobudur. |
Candi Borobudur adalah candi Budha terbesar di
dunia yang didirikan di abad ke sembilan. Menurut sejarah, candi ini dibangun
oleh wangsa Syailendra. Wangsa Syailendra adalah salah satu dinasti penguasa di
pulau Jawa yang diduga masih ada kaitannya dengan kerajaan Sriwijaya di
Sumatera. Mengenai bagaimana persisnya metode pembangunan candi ini, hingga
sekarang belum ada teori yang berhasil menjelaskannya.
Patung-patung Budha di salah satu sudut Candi Borobudur. |
Tiket masuk areal candi harganya Rp 30.000,-. Dari pintu gerbang ke Candi Borobudur itu
sendiri, wisatawan harus berjalan melewati taman luas yang hijau. Jalannya
lumayan jauh, yah! Taman ini rapi dan bersih. Kalau mau duduk-duduk sambil
ngobrol, tempat ini cocok banget. Ada juga kereta mini yang dapat membawa kita
untuk lebih dekat lagi ke situs candi. Tetapi kereta hanya beroperasi kalau
kuotanya sudah dipenuhi. Saat kami bertanya, katanya minimal harus ada lima
penumpang baru mereka dapat diberangkatkan. Kalau ingin bersepeda, di sini juga
ada persewaan sepeda.
Untuk mencapai candi, wisatawan harus mendaki
tangga batu. Lumayan juga, jadi olah raga di sini. Candi Borobudur memiliki
lima tingkatan, termasuk kakinya. Di masing-masing tingkatan terdapat relief
yang menceritakan kisah tertentu. Kalau memang berminat untuk mempelajari
kisah-kisah kuno, bisa berjalan mengitari masing-masing tingkatan sesuai dengan
arah jarum jam. Tentunya akan lebih baik kalau disertai tour guide yang dapat
menjelaskan makna dari masing-masing relief. Kalau saya, jujur saja, sering
kali bingung sambungan kisah antara satu panel dengan panel yang lain.
Stupa di tingkat paling atas di Candi Borobudur. |
Di tingkat yang paling atas terdapat stupa-stupa
yang merupakan ciri khas Candi Borobudur. Stupa yang dindingnya
berlubang-lubang berisikan patung Budha dalam beberapa posisi. Salah satu
kebiasaan wisatawan yang jelek (tapi saya lakukan juga) adalah berusaha merogoh
patung Budha yang ada di dalam stupa tersebut. Keringat dan bakteri di kulit
manusia kan mempercepat perusakan batu. Tapi memang bikin penasaran sih ...
Pemandangan dari atas Candi Borobudur sangat
bagus. Kalau langit bersih, Gunung Merapi dan Merbabu bisa terlihat jelas dari
sini. Pepohonan dan areal hijau di sekitar candi juga indah dipandang,
menenangkan hati. Sebaiknya jalan ke Candi Borobudur di pagi hari. Kalau sudah
siang hari, panas menyengat. Dan karena candi ini tidak memiliki atap,
hampir-hampir tidak ada tempat berteduh dari sinar matahari.
Meninggalkan candi Borobudur, wisatawan diarahkan
untuk melewati museum Borobudur. Di sini ada pendopo yang bisa dipakai untuk
duduk-duduk istirahat, dan di dekat museum ada kamar kecil untuk wisatawan.
Kalau ingin tahu lebih lanjut tentang sejarah candi, bisa masuk sebentar dan
melihat koleksinya yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Yang menarik justru
batu-batu kuno dari areal candi yang disusun di halaman museum.
Batu-batu kuno dari areal candi, yang disusun di depan museum. |
Mendaki Borobudur adalah sebuah tantangan, dan
meninggalkan kompleks candi adalah perjuangan. Setelah museum, wisatawan
diarahkan untuk berputar-putar melewati pasar. Segala macam barang ditawarkan
di sini: pakaian, payung, gantungan kunci, tas, mainan anak, makanan, sampai
cobek batu yang kualitasnya bagus. Yang nggak kuat adalah jalannya ... jarak
tempuh menyeberangi pasar ini hampir sama dengan jarak tempuh naik ke Borobudur
dari gerbang utama. Jauh banget! Padahal begitu sampai ke tempat parkir, kita
langsung bisa melihat kalau kita hanya diputar-putar saja di jalan satu arah di
dalam pasar.
Kami menghabiskan waktu 2,5 jam jalan-jalan di
areal Candi Borobudur. Bukan hanya karena candinya yang megah dan besar, namun
juga karena reliefnya yang halus dan detil. Betah rasanya mengamati
masing-masing panel. Tidak heran orang bisa hampir seharian memutari candi ini.
Dari sini, kami berangkat menuju Candi Pawon.
Candi Pawon
Sama seperti Candi Mendut, Candi Pawon juga
dianggap sebagai bagian dari kompleks besar Candi Borobudur. Candi Pawon
ukurannya kecil, dibandingkan dengan kedua candi lainnya. Ruangan di dalamnya
bahkan harus dimasuki bergantian. Saat kami datang, candi ini sedang dibersihkan
oleh sukarelawan, jadi kami tidak bebas mengeksplorasi candi tersebut. Menurut
informasi, pembersihan candi ini merupakan bagian dari respons terhadap teguran
UNESCO atas kurang terawatnya candi-candi tersebut.
Salah satu dinding luar dari Candi Pawon. |
Di dekat Candi Pawon, ada pedagang-pedagang barang
antik. Kalau berminat mencari tongkat antik, atau patung-patung, bisa datang
kemari.
Dari sini, kami tadinya hendak ke desa wisata
produk bambu yang papan petunjuknya ada di pinggir jalan. Sayangnya, desa
wisata tersebut tidak kami temukan. Ya sudah, kami langsung menuju ke rumah
makan Jejamuran untuk makan siang.
Candi Sambisari
Sehabis makan siang, kami kembali ke kota
Yogyakarta, dan segera menuju ke daerah Kalasan. Tujuannya sebenarnya adalah
untuk menonton pertunjukan Ramayana di kawasan Prambanan. Akan tetapi, tak ada
salahnya untuk mampir ke candi lain.
Candi Sambisari terletak di Dusun Sambisari, Desa
Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman. Letaknya sebenarnya tidak
jauh dari candi Kalasan. Posisinya berseberangan jalan dengan candi Kalasan
(walau bukan tepat diseberangnya, yah). Jarak antara kedua candi ini kalau naik
mobil sekitar 15 menit sudah termasuk puter balik di jalan raya Yogya-Solo saat
tidak macet.
Kompleks Candi Sambisari. |
Candi Sambisari ini istimewa karena ditemukan di
bawah tanah. Akibatnya, untuk merekonstruksi ulang candi ini, harus dilakukan
penggalian besar-besaran. Berbeda dengan kebanyakan kompleks candi, saat
memasuki kompleks Candi Sambisari, kami justru harus menuruni tangga. Rasanya
seperti masuk ke dalam kolam.
Candi Sambisari adalah candi Hindu yang didirikan
sekitar abad ke-9. Hal ini dapat dilihat dari patung dan ornamen-ornamen yang
ada. Sebuah kejutan yang menyenangkan bagi saya untuk menemukan patung Ganesha
di tembok belakang candi ini. Maklum, saya penggemar patung Ganesha.
Candi Kalasan
Tepat saat kami meninggalkan Candi Sambisari,
hujan mengguyur dengan derasnya. Akibatnya, rencana untuk mampir ke Candi
Kalasan pun batal. Kami hanya sempat melihat dari balik jendela mobil saja.
Sayang, padahal candi ini cukup unik karena di dalamnya ada ruangan besar yang
membuatnya menyerupai tempat tinggal. Selain itu, Candi Kalasan merupakan salah
satu candi Budha tertua di area Yogyakarta dan sekitarnya. Candisari terletak
di Dusun Kalibening, Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.
Candi ini tidak akan terlewatan oleh siapapun yang melakukan perjalanan dari/ke
Solo dan Yogyakarta lewat jalan raya Yogya-Solo karena posisinya yang paling
hanya 500 meter dari tepi jalan raya. Untuk membayar kekecewaan kami, kami memutuskan
untuk mampir ke Rumah Makan Ayam Goreng Mbok Berek Kalasan untuk makan malam.
Candi Kalasan di saat hujan. |
Sendratari Ramayana
Malam itu, kami sepakat untuk menonton Sendratari
Ramayana. Kalau cuaca cerah dan tepat di jadwal yang telah ditentukan, kita
dapat menonton Sendratari Ramayana di panggung terbuka dengan latar belakang
Candi Prambanan. Sayangnya, saat kami ke Yogya, jadwal panggung terbukanya
tidak cocok dengan jalan perjalanan kami. (Lagi pula, ide untuk menonton ini
juga baru muncul setelah kami mendarat di bandara.) Jadi kami harus puas dengan
panggung di dalam ruangan.
Untuk membeli karcis pertunjukan, tidak bisa langsung
datang ke tempat pertunjukan. Harus pesan dulu via telepon dan membayar lewat
ATM atau transfer bank. Jadi pagi-pagi kami sudah menelepon untuk memesan
karcis. Sayangnya hari itu, karena kami keasyikan jalan-jalan, kami lupa
mentransfer uang. Maka dengan penuh rasa kekhawatiran kami langsung datang ke
tempat pertunjukan tepat sebelum acara dimulai. Ternyata ... karcis di kelas
yang telah kami pesan sudah habis! Yang tersisa adalah kelas VIP yang harganya
Rp 250.000,- Hahaha! Ya sudah, apa boleh buat. Kalau berminat untuk menonton
sendratari tersebut, sebaiknya lihat dulu di internet jauh-jauh hari untuk
memastikan jadwalnya dan memesan tiketnya.
Adegan sayembara untuk menikahi Dewi Sinta di bagian awal sendratari. |
Tempat pertunjukan penuh, saudara-saudara! Semua
tempat duduk terisi. Walaupun saat itu bukan peak season liburan, ternyata sendratari ini laris juga. Nggak
kebayang kalau mau menonton pertunjukan ini di jaman liburan anak sekolah atau
di hari libur! Tidak hanya wisatawan lokal, ada banyak pula wisatawan
mancanegara duduk dan menonton di sini.
Pertunjukan tari ini memang bagus dan menghibur.
Saya kagum dengan pemeran Hanoman, yang tidak pernah berhenti bergerak.
Kebanyakan pemainnya masih muda-muda namun terlihat profesional, dan penari
putrinya cantik-cantik. Kalau bikin pertunjukan di kota budaya, memang lebih
mudah menyaring pemain agar mendapatkan yang terbaik! Untung juga duduk di
kelas VIP, depan sendiri pula. Jadi saya tidak melewatkan sedikitpun detil
karena semuanya berlangsung tepat di depan mata saya.
Adegan Dewi Sinta membakar diri untuk membuktikan kesuciannya. |
Sendratari ini cukup lama, sekitar dua jam. Antara babak pertama dan babak kedua, ada jeda istirahat sekitar 15 menit. Waktu istirahat itulah, saya berkesempatan melihat Candi Prambanan di malam hari. Dibawah sorotan lampu, candi terlihat seperti menyala di tengah malam. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Sekitar jam 21:30 pertunjukan selesai dan kami pulang
ke hotel.
Candi Prambanan, dilihat dari tempat sendratari, di malam hari. |
Jalan Malioboro dan Alun-alun Keraton Yogyakarta di Malam Hari
Berhubung teman saya belum pernah melihat keraton
sebelumnya, dan besok kami sudah tidak ada waktu lagi, maka sesampainya di
hotel kami langsung jalan untuk menuju alun-alun dengan melewati jalan
Malioboro. Walau sudah malam, bukan berarti jalanan sepi. Tetap saja ada sepeda
motor dan becak berseliweran. Pedagang pakaian dan cinderamata beralih menjadi
pedagang makanan lesehan. Ada penjual ayam bakar dan juga penjual gudeg.
Malioboro di waktu malam juga tetap meriah.
Pasar Beringharjo di malam hari. Meriah! |
Di jalan Malioboro ada Plaza Malioboro untuk
penggemar mall, dan ada banyak toko-toko batik. Kalau mau membeli pakaian di
sini, pilihan di lapak pinggir jalan sama banyaknya dengan pilihan di toko.
Hanya saja, belanja di toko lebih enak karena tidak perlu senggol-senggolan
dengan orang lewat. Tempat yang terlihat meriah karena lampu-lampu di malam
hari adalah Pasar Beringharjo dan Tempat Wisata Kampung Ketandan, yang
merupakan daerah pecinan di situ. Kalau siang hari, tempat-tempat ini lebih
meriah lagi dipenuhi orang-orang yang berbelanja.
Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949. |
Di perempatan menuju alun-alun, ada beberapa
tempat wisata – yang hanya bisa kami lihat dari luar karena sudah terlalu
malam: Museum Benteng Vredeburg dan Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949. Selain
itu, di sini terdapat banyak gedung-gedung tua, seperti gedung kantor pos,
gedung Bank Indonesia, dan Gedung Bank Negara Indonesia. Daerah ini disebut
juga dengan Kawasan Nol Kilometer Yogyakarta. Walau sudah malam hari, tempat
ini tetap ramai dengan anak-anak muda yang duduk dan nongkrong di pinggir
jalan.
Keraton Yogyakarta di malam hari. |
Dari perempatan itu, kami menyeberang dan menuju
ke areal alun-alun, dengan melewati gapura dua lapis. Sesampai di alun-alun,
kami hanya berjalan melewati dua pohon beringin di alun-alun dan kemudian tiba
di depan Museum Keraton Yogyakarta. Kemudian kami berputar-putar sebentar
sebelum kemudian pulang kembali ke hotel dan tidur.
Pasar Beringharjo - Belanja di Hari Terakhir
Tanggal 29 Januari 2014. Ini hari terakhir kami di sini. Pesawat kami
berangkat jam 11:00, jadi kami tidak punya banyak waktu. Teman saya ingin membeli
batik di Pasar Beringharjo, jadi jadwal pagi ini adalah berbelanja di pasar
saja. Saya sih tidak membeli apa-apa, cukup menemani saja. Walau masih pagi,
sekitar jam 8, pasar sudah ramai dengan orang-orang yang berbelanja batik.
Mereka tidak salah memilih tempat, karena pilihan batik di pasar ini sangat
bervariasi dan kualitasnya juga beragam. Semua jenis pilihan tersedia. Harga
juga bervariasi tergantung bahan dan pembuatannya. Untuk ukuran orang Jakarta,
harga batik di sini jauh lebih murah. Kalau untuk ukuran lokal, mungkin ada
tempat yang lebih murah lagi, tapi saya tidak tahu. Oh ya, harus siap-siap
menawar kalau berminat berbelanja di sini. Beli borongan bisa lebih
menguntungkan dibandingkan beli satuan.
Di Pasar Beringharjo. |
Setelah puas berbelanja, kami kembali ke hotel
dengan naik becak. Harga becak Rp 10.000,- dari Pasar Beringharjo ke hotel kami
di area Dagen. Nampaknya, kalau hanya membawa penumpang dari area satu ke yang
lain, namun masih di sekitaran Malioboro, harga sewa adalah Rp 10.000,-. Kalau
tujuannya untuk membeli bakpia Pathok, maka barulah becak bersedia menawarkan
jasa dengan harga Rp 5.000,-. Kalau keluar areal Malioboro, harganya berlipat
lagi. Jadi jangan tertipu dengan tawaran-tawaran murah tukang becak.
Dari hotel, kami berangkat ke bandara dengan menggunakan
taksi, dan pada pukul 10:30 sudah duduk manis di bandara. Selamat jalan
Yogyakarta! Berakhirlah liburan kali ini ...
hallo, blognya informative banget nich !!!
BalasHapusboleh tau sewa mobil dari mana yach? berapa jam per hari ? berapa harganya? dan apa ada nomor telpon buat kontak ? thks u
Waktu itu, untuk rental mobil kami cek satu-satu iklan di yogyes.com. Cari yang murah. Kalau harga, sorry, sudah nggak inget lagi.
Hapus