Luweng Sampang
Sudah dari lama, teman seperjalanan saya penasaran
dengan Luweng Sampang. Makanya, hari ini kami berminat untuk ke situ. Hari ini
kami menyewa mobil untuk jalan-jalan seharian. Kalau pakai kendaraan umum,
takut nggak keburu. Sayang, kan, sudah jauh-jauh ke Jogja, cuma dapat dua-tiga
tempat wisata karena habis waktu di jalan?
Luweng Sampang terletak di desa Sampang, Kecamatan
Gedangsari, Gunungkidul. Desa ini letaknya di perbatasan antara D.I. Yogyakarta
dan Jawa Tengah. Walau masuk daerah D.I. Yogyakarta, untuk menuju Luweng
Sampang nampaknya lebih mudah melalui Klaten, yang sudah masuk Jawa Tengah.
Jadi kalau dari kota Yogyakarta mau ke Luweng Sampang, harus keluar masuk
perbatasan beberapa kali.
Luweng Sampang. Air terjun dengan batuan raksasa yang bercorak seperti kue lapis. |
Baik penumpang maupun sopir belum pernah ke Luweng
Sampang, dan patokan kami hanyalah blog orang-orang yang sudah pernah ke sana.
Jadi, sama seperti kisah-kisah di blog-blog itu, kami juga nyasar. (Jujur saja,
hampir semua blog pribadi yang saya kunjungi lebih banyak menceritakan
pengalaman nyasarnya daripada tentang Luweng Sampang itu sendiri.)
Kami menuju desa Sampang dari Klaten ke arah
selatan. Pak Sopir berpegangan pada petunjuk di googlemaps yang sudah dia
hafalkan dari warnet di dekat rumahnya. Kalau kami para penumpang, berpatokan
pada blog-blog orang tadi. Dan inilah yang jadi sumber nyasar kami. Desa-desa
di daerah gunung kidul kan nggak selalu ada di googlemaps, yang ada kecamatan.
Jadi yang kami kejar kecamatannya dulu. Masalahnya, kecamatan Gedangsari ini
ternyata bentuknya memanjang ... dan kami datang ke ujung yang salah.
Tipikal jalanan di daerah Gunungkidul. |
Jadi, dari Klaten, kami ke arah selatan, menuju ke
arah desa Wedi, lalu terus ke arah Cawas, arah timur. Nah, pas nanya orang,
malah disuruh balik arah. Ternyata kami kelewatan. Harusnya dari desa Wedi,
kami ambil jalan ke arah Gantiwarno (yang sebetulnya adalah kecamatan lain yang
berbatasan di dekat desa Sampang ini). Jadilah kami berhenti dan bertanya di
setiap perempatan dan pertigaan jalan.
Berangkat jam 8:30 dari hotel, sampai di Luweng
Sampang jam 11:00. Ini akibat dari nyasar. Tapi kami tidak menyesal karena
pemandangannya bagus! Kalau yang belum tahu apa itu Luweng Sampang, bisa
dilihat di gambar. Luweng Sampang adalah air terjun yang konon kabarnya adalah
salah satu tempat pertapaan Sunan Kali Jaga. Di balik air terjun, ada ceruk
yang memang bisa dimasuki orang. Menurut penjaganya, sampai sekarang masih
banyak orang yang bertapa semalaman di sini untuk mendapatkan karir dan rejeki.
Tentunya saya tidak bertanya-tanya lebih lanjut tentang perihal persyaratan
semedi ini. Soalnya tujuan utama kami kan bukan ngalap berkah, melainkan foto-foto.
Bebatuan di sungai yang merupakan kelanjutan dari air terjun di Luweng Sampang. |
Karena kami datang di tengah musim hujan, namun di
hari yang cerah, pemandangannya sangat bagus. Airnya jernih dan cukup banyak.
Kabarnya, kalau musim kemarau airnya kecoklatan dan sedikit. Lumayan lama juga
kami foto-foto di sini. Setelah puas, kami lanjut ke arah selatan untuk
jalan-jalan di pantai!
Kabupaten Gunungkidul selama ini selalu identik
dengan kekeringan. Padahal dibalik itu, tersimpan keindahan alam yang mengagumkan.
Untuk membantu perekonomian setempat, nampaknya ada dorongan untuk
“menciptakan” tempat wisata di masing-masing desa. Hampir sepanjang jalan kami
menemukan papan petunjuk untuk tempat wisata. Ada agrowisata, ada air terjun,
ada gua, dan juga gunung. Di perjalanan ke arah Wonosari, kami melewati tempat
wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Karena masalah waktu, kami tidak masuk
kemari. Tapi, kapan-kapan boleh juga nih!
Tempat wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. |
Pantai Sundak, Krakal, Drini, Sepanjang, Kukup, dan Baron
Dari Luweng Sampang, melewati Wonosari, kami
menuju ke selatan. Menjelang area pantai, ada pos retribusi dari pemerintah
daerah yang menjual karcis masuk obyek wisata Gunungkidul. Harga tiket Rp
4.000,- per orang. Di tiket yang dijual tertulis pantai Baron, Kukup,
Sepanjang, Drini, Krakal, dan Sundak. Nantinya, di setiap pantai-pantai itu
akan ada pos retribusi parkir yang harganya Rp 5.000,- per mobil (ada karcis
resmi).
Berangkat dari Luweng Sampang jam 11:30, sampai di
pantai pertama kami jam 13:00. Pantai yang pertama kami kunjungi adalah pantai
Sundak. Pantai Sundak adalah pantai pasir putih yang indah dan bersih. Waktu
kami kemari, pengunjungnya sangat sedikit. Warung makan juga sedikit. Tapi
kalau dari dilihat dari tempat parkirnya yang luas, harusnya di akhir pekan
tempat ini dipenuhi orang.
Pantai Sundak dengan pasir putihnya yang halus. |
Dari pantai Sundak, kami menuju ke pantai Krakal.
Perjalanan hanya sekitar 15 menit dengan mobil. Pantai Krakal juga berpasir
putih, tapi tidak selandai pantai Sundak. Selain itu, di sini lebih banyak
bangunan semi permanen untuk warung dan rumah makan. Nampak lebih siap untuk
menjadi tujuan wisata. Kami makan siang di sini. Walau kebanyakan rumah
makan/warung tutup atau buka namun sepi, ada satu rumah makan yang ramai.
Warung Makan Bu Supilah namanya. Waktu kami datang saja, mereka sedang mempersiapkan
makanan dalam kotak kardus. Dan ada beberapa orang dengan seragam instansi
pemerintah sedang makan siang di sana. Tidak salah juga, karena ikan bakar di
sini memang enak.
Pantai Krakal. Di sini bisa makan siang enak! |
Dari pantai Krakal, kami melanjutkan perjalanan ke
pantai Drini. Di tengah jalan, kami menyempatkan diri untuk membeli buah
srikaya di pinggir jalan. Rp 10.000,- harusnya dapat 7 buah, tapi ditambahi
oleh penjualnya menjadi sekitar 12 buah. Sopir kami cuma tertawa saja waktu
kami cerita. Katanya, “Mbak nggak nawar sih, mereka jadi nggak enak hati kalau
cuma ngasih sedikit.” Tapi mungkin juga karena sepi. Sepanjang perjalanan, kami
hanya bertemu sedikit wisatawan.
Pantai Drini juga berpasir putih. Di sini ada
banyak kapal nelayan. Area pantai ini cukup panjang. Ada tebing tinggi di salah
satu sisi, dan ada batu karang besar yang membentuk pulau kecil di dekat
pantai. Pemandangannya bagus, dan ada daerah yang menyerupai teluk kecil yang
landai. Bisa berenang-renang dengan tenang di teluk kecil ini, tanpa takut terkena ombak laut selatan yang ganas.
Pantai Drini; di sini ada teluk kecil yang aman untuk berenang-renang. |
Dari pantai Drini, kami menuju ke pantai
Sepanjang. Perjalanan sekitar 10 menit. Pantai Sepanjang sedikit istimewa
dibandingkan pantai lain, karena ada jalan aspal yang memanjang di pinggir
pantai, dan warung-warung makan berjajar di sepanjang jalan itu. Warung-warung
itu umumnya berupa lesehan dan menghadap ke arah pantai. Jadi, orang bisa langsung memarkirkan mobil di dekat warung makan pilihannya dan makan di situ sambil menikmati deburan ombak. Di pantai lain, tempat parkir mobil agak jauh dari warung makan di tepi pantai. Kalau malam hari,
mungkin nikmat menyantap ikan bakar sambil melihat laut di sini.
Pantai Sepanjang, dengan warung-warung lesehan tepat di bibir pantai. |
Selanjutnya kami ke pantai Kukup. Jaraknya sekitar
10 menit dari pantai Sepanjang. Pantai Kukup sudah mengenal konsep jebakan
turis. Dari tempat parkir ke bibir pantai, kami harus melewati jalan yang
kiri-kanannya warung penjual makanan dan suvenir. Yang banyak dijual adalah
kepiting asin dan keripik rumput laut. Di sini pasirnya putih tapi kasar, tidak
sehalus pasir di pantai Sundak. (Ini menurut saya, yah.) Pemandangannya bagus,
ada karang besar yang membentuk pulau dan ada tebing yang hijau ditumbuhi
berbagai jenis tanaman. Pantai ini tidak hanya putih, namun juga hijau. Ada
banyak tanaman sejenis pandan yang tumbuh hingga tepi pantai. Di sini, ada
lebih banyak pelancong dibandingkan di pantai-pantai sebelumnya.
Pantai Kukup yang hijau. |
Dari pantai Kukup, kami ke pantai Baron. Seingat
saya, dulu waktu masih kecil pantai Baron ini yang pertama kali menjadi tempat
wisata. Waktu saya datang di Januari lalu, ingatan saya tidak salah. Pantai ini
ramai. Ada banyak penjual buah, penjual makanan, pelancong, dan ada banyak
nelayan. Tapi kalau dari segi keindahan, pantai ini kalah dengan pantai-pantai
yang sebelumnya sudah saya datangi. Di pantai Baron, pasirnya lebih coklat, dan
areanya sempit, karena pantai Baron adalah teluk yang kiri-kanannya adalah bukit hijau
yang lumayan tinggi. Selain itu, karena kami datang saat sore hari, pantai
dipenuhi perahu nelayan yang hanya menyisakan sedikit ruang untuk
berjalan-jalan.
Pantai Ngobaran
Dari pantai Baron, kami ke pantai Ngobaran. Pantai
Ngobaran tidak berada di areal pantai yang sama. Letaknya lebih ke barat lagi.
Perjalanan dari pantai Baron ke pantai Ngobaran sekitar 45 menit. Pantai
Ngobaran tidak sama dengan pantai-pantai yang tadi kami kunjungi. Kalau
sebelumnya kami mendatangi pantai yang landai, maka pantai Ngobaran adalah
pantai dengan tebing yang lumayan terjal. Saat kami tiba di pantai Ngobaran,
sudah menjelang sunset. Air sedang pasang, jadi tidak mungkin untuk turun tebing
menuju ke pantai.
Tempat ibadat penganut Kejawan di Pantai Ngobaran. |
Khasnya pantai Ngobaran adalah pura dan tempat
ibadat umat Kejawan. Kalau kita datang ke kompleks tempat ibadat Kejawan, kita
akan menemukan prasasti (modern) yang menjelaskan bahwa tempat itu adalah
tempat ziarah untuk Prabu Brawijaya V dan Raja Majapahit VII. Di sini juga ada
patung-patung yang wujudnya menyerupai tokoh-tokohperwayangan. Kalau mau ke
puranya, masih harus berjalan mendaki tebing. Katanya ada tempat ibadah umat
agama lain, tapi saya tidak melihatnya (atau tidak tahu bedanya). Di sini kami
bertemu dengan beberapa wisatawan lokal yang berniat foto-foto sunset. Jadi,
begitu matahari mulai mendekati cakrawala, semua orang langsung menuju ke tepi
tebing untuk foto-foto.
Sunset di Pantai Ngobaran. |
Sebelum matahari benar-benar tenggelam, kami sudah
berangkat menuju kota Yogyakarta. Bukan apa-apa, karena belum hafal jalan di
area situ, dengan jalanan perbukitan khasnya Gunungkidul yang berkelok-kelok,
kami tidak mau terjadi apa-apa sepanjang perjalanan. Setelah sekitar 2 jam
perjalanan, kami pun tiba kembali di kota Yogyakarta.
Perempatan Tugu
Begitu sampai di kota Yogyakarta, kami langsung
mencari tempat makan. Setelah berunding, pilihan jatuh ke gudeg. Karena
warung-warung gudeg yang terkenal di dekat UGM (Gudeg Bu Ahmad, Gudeg Yu Djum)
sudah tutup semua, maka akhirnya pilihan dijatuhkan ke Gudeg Tugu.
Gudeg Tugu,
yang terletak di perempatan tugu. Gudeg di sini lebih berkuah, hampir sama
dengan gudeg Solo. Berbeda dengan gudeg Yogya yang cenderung kering dan
berwarna gelap. Gudeg Tugu bukan warung, melainkan lesehan pinggir jalan di
emperan toko, dengan penjual yang duduk di pojokan halaman rumah di bawah atap
seng. Gudeg ini hanya buka sore hingga malam hari, jadi memang cocok untuk yang
hobi nongkrong di pinggir jalan malam-malam. Walaupun tempatnya seadanya,
rasanya enak dan pelanggannya banyak. Dari tempat makan ini, kami menyempatkan
diri jalan ke perempatan tugu, yang jaraknya tidak sampai lima menit jalan
kaki.
Tugu Yogyakarta. Malam-malam pun orang berfoto ria di sini. |
Tugu di perempatan tugu ini sering menjadi icon
ataupun simbol kota Yogyakarta. Tugu ini dibangun oleh Sultan Hamengkubuwana I,
dan dianggap sebagai patokan arah saat sultan hendak bermeditasi ke arah gunung
Merapi. Saat kami mengunjungi tugu, ada banyak orang sedang foto-foto juga di
situ. Sekitar jam 10 malam, kami pun kembali ke hotel untuk beristirahat.
Cerita tambahan, yah. Sekitar jam 11 malam kami
merasakan ada gempa. Gempanya lumayan kuat. Kebetulan kami memang belum tidur.
Kami pun buru-buru keluar kamar. Ada satu keluarga yang panik turun melewati
tangga darurat, sambil membawa anak mereka yang menangis keras-keras karena
ketakutan. Untung kami di lantai 3. Kalau yang di lantai 5, pasti lebih capek
lagi turun tangganya. Pusat gempat ada di daerah Kebumen, jadi sebetulnya
lumayan jauh dari Yogyakarta. Hanya saja, yang namanya gempa pasti bikin panik
orang-orang.
Tepat waktu habis gempa, sebelum keluar kamar, saya sempat menelepon ke
resepsionis, bertanya, “Mas, baru saja gempa yah?” Mas-mas di resepsionis
menjawab, “Di sini nggak kerasa Mbak. Tapi tadi ada tamu yang juga menanyakan
hal yang sama.” Dan begitu sampai di lantai dasar, saya iseng tanya ke petugas yang ada, ternyata kebanyakan juga tidak merasakan gempa. Oo... gempanya tidak terasa di lantai dasar.
~bersambung~
0 Komentar:
Posting Komentar