Hari
4
25
Desember 2013
Little
India dan Fort Canning Park: Hari Terakhir di Singapura
Hari
ini, ada satu hal yang tidak boleh saya lewatkan: misa Natal berbahasa latin di St.
Joseph’s Church. Karena tujuan saya datang ke Singapura adalah merayakan Natal,
sudah pasti misa di gereja tidak boleh terlewatkan. Karena misa baru dimulai
pukul 11:00, saya punya waktu untuk packing.
Packing?
Iya, lah! Supaya tidak perlu membayar lebih, saya hendak check out sebelum
berangkat ke gereja dan menitipkan koper ke resepsionis supaya bisa
berjalan-jalan dengan tenang. Enaknya hostel untuk backpackers, pihak manajemen
sudah tahu betul sifat-sifat para backpackers sehingga mereka memang memberikan
jasa penitipan koper gratis untuk penghuni yang datangnya sebelum waktu
check-in atau yang masih ingin belum mau membawa pergi kopernya meskipun sudah
check-out. Selesai beres-beres dan check-out, saya pun berjalan menuju ke
gereja.
Misa
dimulai tepat jam 11:00. Jangan tanya bagaimana lagu-lagunya, soalnya saya
nggak bisa ngikuti. Seumur-umur, saya belum pernah ikut misa bahasa latin!
Untung homilinya pakai bahasa Inggris, kalau tidak saya udah bengong sepanjang
misa satu setengah jam ini. Pastur yang mempersembahkan misa menginformasikan
kalau misa yang diselenggarakan ini menggunakan gaya misa yang diselenggarakan
di tahun 60-an. Dia juga menyambut para turis (yang rupanya merupakan bagian
cukup besar dari umat yang berkumpul saat itu) yang merayakan Natal di
Singapura.
Interior St. Joseph's Church. Ini sebelum misa dimulai. |
Kalau
diingat-ingat, misa ini persis seperti cerita ayah saya atau guru agama saya di
SMP tentang misa jaman dulu. Pasturnya menghadap ke arah tabernakel dan
membelakangi umat. Perkecualian adalah saat homili. Umat hampir-hampir tidak
terlibat di dalam misa, kecuali untuk berdiri dan duduk. Walau umat bisa ikut
menyanyi, tapi posisinya lebih sebagai pelengkap saja.
Selesai
misa, saya berjalan menuju Fort Canning Park. Jalan kaki? Yap, soalnya jaraknya
lumayan dekat. Satu jam jalan kaki, itu sudah termasuk berhenti untuk foto-foto
dan mampir ke Gereja Armenia serta Singapore Philatelic Museum. Oh ya, saya
juga melewati Freemason’s Hall, Peranakan Museum, dan Bible House, tapi saya
tidak masuk ke ketiga tempat tersebut. Kalau tidak pakai berputar-putar untuk
melewat tempat-tempat tadi, sebenarnya setengah jam juga cukup untuk berjalan
dari St. Joseph’s Church ke Fort Canning Park, soalnya sebenarnya saya
melewati jalan masuk ke taman tersebut sampai dua kali.
Singapore Philatelic Museum |
Untuk
masuk ke Singapore Philatelic Museum sebenarnya seharusnya bayar. Akan tetapi,
menyambut Natal, museum tersebut dibuka gratis di tanggal 25 Desember kemarin.
Tentunya sebagai penggemar perangko, saya tidak melewatkan kesempatan ini untuk
melihat-lihat perangko yang dikoleksi di museum tersebut.
Fort
Canning Park terletak di sebuah bukit yang konon dulunya disebut Bukit Larangan
oleh para penduduk asli Singapura. Saat Sir Raffles pertama kali datang ke
Singapura, para penduduk ketakutan untuk mengantarkannya ke bukit ini karena
dianggap keramat. Menurut bukti arkheologis, bukit ini memang merupakan tempat
istana kerajaan Temasek yang sempat berkembang maju di abad ke-14. Disini ada
tempat yang disebut sebagai Keramat Iskandar Syah, yang dianggap sebagai makam
dari raja terakhir kerajaan Temasek yaitu Iskandar Syah. Tapi ngomong-ngomong
soal larangan, di tengah taman kota ini ada tempat penyimpanan cadangan air
negara (waduk) yang dijaga ketat dan orang-orang yang tidak berkepentingan
dilarang untuk mendekat.
Salah satu bagian dari Fort Canning Park. |
Fort
Canning Park pada dasarnya adalah taman luas yang memiliki banyak pohon-pohon
asli (yang kabarnya sudah ada dari jaman kerajaan Temasek masih aktif) dan
taman-taman kecil dengan tema tertentu. Untuk pasangan yang berminat untuk
bermesraan, tempat ini ideal untuk berduaan karena banyak tempat yang
tersembunyi dibalik pepohonan. Adapun untuk kelompok penduduk yang hendak
beraktivitas, pemerintah membangun beberapa gazebo dan tempat duduk dimana
penduduk bisa berkegiatan seperti perkumpulan remaja, kegiatan latihan tari,
dan lain-lain.
Fort Canning Center. |
Tempat
yang paling cocok untuk foto-foto adalah Fort Canning Green, yaitu halaman luas
di depan bangunan tua yang disebut sebagai Fort Canning Center, dan Raffles
Terrace. Rafflece Terrace adalah halaman dari rumah Sir Raffles di area ini.
Waktu saya berkunjung, Raffles House sedang digunakan untuk acara kawinan, jadi
tidak bisa dimasuki dengan leluasa.
Adapun
Fort Canning sendiri adalah benteng pertahanan kerajaan Inggris saat pertama
kali menguasai Singapura. Sisa-sisa benteng ini ada di belakang Fort Canning
Center. Battle Box dan Fort Gate adalah dua tempat yang banyak dikunjungi oleh
wisatawan.
Raffles Terrace, di depan Raffles House. |
Dari
Fort Canning Park, saya melewati Stamford Green dan menuruni eskalator (Benar!
Tangga berjalan di ruangan terbuka di tengah taman!) menuju National Museum of
Singapore. Saya tidak masuk ke sini, tapi cukup foto-foto di halaman depan.
Saat itu, sedang ada pameran seni modern yang diikuti oleh beberapa seniman
ASEAN.
Karena
saya sudah kelaparan, saya langsung ke Dhoby Ghaut MRT Station, menuju ke
Little India. Sesuai rencana, hari ini saya hendak makan siang di Little
India, karena sebelumnya sudah makan di Bugis dan Chinatown. Biar lengkap
petualangannya.
Saat
saya berkunjung ke Singapura, di Little India sedang dibangun MRT Station baru.
Jadi ada beberapa daerah yang ditutup dan di beberapa tempat ada banyak
kumpulan pekerja bangunan yang semuanya adalah orang India.
Abdul Gaffoor Mosque. |
Tempat
saya makan siang adalah sebuah warung India muslim yang letaknya persis di
sebelah Abdul Gaffoor Mosque, yang mendapatkan Architecture Heritage Award dari
pemerintah Singapura di tahun 2003. Arsitektur mesjid ini perpaduan antara Arab
dan India. Dibandingkan masjid-masjid lain di Singapura, secara arsitektur
bangunan ini yang paling menarik. Saya makan salah satu pastry goreng daging
yang harganya hanya SGD 0.70! Sudah mengenyangkan. Rasanya sih biasa banget,
malah kebanyakan minyak. Oh ya, tempat saya makan ini adalah tempat makan murah
meriah. Saya makan bersama dengan para tukang bangunan yang sedang
beristirahat. Saya satu-satunya yang perempuan (dan bukan India) di situ. Satu
hal yang menarik di sini adalah, saat saya tanya makanan apa yang dijual di
situ pakai bahasa Inggris, yang jaga kebingungan. Saat saya tanya pakai bahasa
Indonesia, eh ... penjaganya malah bisa menjawab pakai bahasa Melayu.
Di
daerah saya makan ini ada beberapa rumah makan murah meriah. Di seberang jalan
ada rumah makan khas Jawa Timuran. (Lah!) Ada juga beberapa hostel backpacker
di dekat-dekat situ.
Setelah
makan, saya langsung berjalan menuju kuil-kuil Hindu yang utama di Little India
ini. Untuk itu, saya harus kembali ke Little India MRT Station sebelum berbelok
ke arah kuil-kuil tersebut. Yang unik dengan Little India MRT Station adalah,
di dekat situ ada Kerbau Hotel, ada Kerbau Road, dan ada Buffalo Road. Oh ya,
di dekat situ ada pusat perbelanjaan elektronik dan ada banyak tempat makan.
Sri Vadapathira Kaliamman Temple |
Setelah
nyasar-nyasar, akhirnya saya tiba di Sri Vadapathira Kaliamman Temple dan Sri
Srinivasa Perumal Temple. Sri Vadapathira Kaliamman Temple pertama kali
didirikan sekitar tahun 1870 untuk menghormati Dewi Kaliamman. Saat saya
datang, kuil ini tidak menerima pengunjung. Sri Srinivasa Perumal Temple
didirikan tahun 1855 untuk menghormati Dewa Perumal (Dewa Wisnu). Saat saya
datang, kuil ini menerima pengunjung. Gopuram kuil ini tinggi dan ukirannya
detil. Tak heran Sri Srinivasa Perumal Temple termasuk dalam monumen nasional
Singapura.
Saat
saya datang, pengurus Sri Srinivasa Perumal Temple sedang bersiap-siap untuk
menyelengarakan Puja, atau perayaan rutin mereka. Jadi saya tidak bisa
sembarangan memfoto-foto interior kuil tersebut. Ada orang yang sedang
menata-nata bunga dan dedaunan, ada pula yang sedang menyiapkan kain-kain,
entah untuk apa.
Sri Srinivasa Perumal Temple |
Dari
Little India saya jalan kaki menuju Arab Street di Bugis. Jaraknya tidak
terlalu jauh, hanya saja tidak terlalu nyaman karena melewati tempat
pembangunan MRT Station yang baru. Sebelum kembali ke hostel untuk mengambil
koper, saya mampir ke rumah makan Zamzam yang terkenal itu untuk makan Murtabak
Rusa seharga SGD 10. (Porsinya besar, bisa untuk berdua. Kalau mau yang lebih
murah, boleh coba Murtabak lain. Pilihan rasanya: Mutton, Beef, Chicken, dan
Sardine. Harganya mulai SGD 6.) Rumah makan ini letaknya persis di seberang
Sultan Mosque, jadi tidak mungkin terlewatkan.
Selesai
makan, saya kembali ke hostel untuk mengambil koper dan bergerak menuju
bandara. Saat saya mengambil koper, waktu sudah menunjukkan jam 18:30. Pesawat
saya berangkat jam 20:25 jadi saya masih punya cukup waktu kalau antrean check
in dan imigrasi lama.
Kolam ikan koi di Changi Airport. |
Jam
19:30 saya sudah sampai bandara. Dan setelah urusan imigasi selesai, saya masih
sempat jalan-jalan keliling Changi Airport. Changi Airport adalah tempat yang
menyenangkan untuk menunggu keberangkatan ataupun transit. Ada internet station
gratis, ada bioskop mini yang memutar film-film box office, ada taman terbuka
di atap, dan ada taman dengan kolam ikan koi di lantai satu. Buat yang mau
minum kopi atau makan, food court juga ada.
Akhirnya
setelah waktunya tiba, saya boarding ke pesawat dan meninggalkan Singapura.
Selesailah liburanku yang singkat. Masih ingin liburan lagi ...
(Selesai.)
0 Komentar:
Posting Komentar